Laman

Senin, 28 Maret 2016

RUMUS BAHAGIA



Untuk kesekian ribu kalinya aku merasa bahwa kebahagiaan itu tidak selalu berbanding lurus dengan hal-hal yang bersifat simbolik; entah itu pangkat, gelar raden, pendidikan, nominal uang, dan sebagainya. Banyak orang yang mendapatkan kebahagiaan justru dari hal yang sederhana, jauh dari simbol-simbol seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tentu saja setiap orang mempunyai cara sendiri bagaimana mendapatkan kebahagiaan. Yakinku, kebahagiaan selalu sama. Artinya, setiap orang yang merasakan bahagia selalu sama rasanya. Jiwa lega, ceria, lepas, tanpa beban yang berarti.

Faktanya, aku sering merasa perlu orang lain untuk membangkitkan rasa bahagia, meskipun kata-kata bijak mengatakan bahwa kita sendirilah yang bisa menciptakan kebahagiaan itu. Tapi, aku membuktikan bahwa memang bahagia hampir selalu hadir dengan perantara orang lain. Mungkin tidak hanya aku saja, aku rasa semua orang begitu. Atau jangan-jangan memang hanya aku saja? (kriik kriik kriiiik)

Nah, maksud bahagia tidak selalu berbanding lurus dengan hal yang bersifat simbolik itu adalah bagaimana dan siapa orang lain bisa membangkitkan kita untuk berbahagia, atau setidaknya membuat hati lebih ceria. Dalam hal ini, aku memang agak egois, menganalisa orang lain kira-kira siapa yang bisa membuatku bahagia, lalu aku lebih suka berkumpul dengan mereka, tertawa bersama, saling berbagi, dan Bahagia bersama-sama. Hhmm.. Ini juga yang menyadarkanku bahwa aku adalah manusia normal, punya ego.

Sebagai subyek, aku merasa normal jika aku memiliki kecenderungan. Buktinya, ketika aku akan meninggalkan kota rantau Malang, aku justru lebih peduli dengan Ibu penjual makan langgananku di belakang kos daripada Ibu dan Bapak kosku sendiri. Bahkan, beberapa hari sebelum meninggalkan Malang, hatiku sudah merasa seperti akan patah hati meninggalkan Ibu penjual makan -Bu Tun dan putrinya, Mbak Rini-. Keakraban seperti keluarga sendiri selalu membayang-bayangi kalbu. (ciiee..)

Siapa yang tidak jatuh cinta, seorang Ibu dengan ramah dan tulusnya meladeni pembeli-pembelinya. Aku selalu merasa saat Bu Tun tersenyum, maka seluruh sel-sel dalam tubuhnya juga ikut tersenyum. Di dunia rantau tersebut, aku baru merasakan senyum semacam itu. Putrinya yang juga ramah dan baik semakin membuatku jatuh hati dengan keluarga itu. Lama-lama aku pun menjadi sangat akrab dengan mereka dan sudah seperti keluarga sendiri saja. Dan ternyata, memang terbukti sangat banyak pelanggan yang merasakan hal serupa. Aku semakin merasa normal dengan kecenderunganku terhadap orang lain.
Faktanya lagi, aku terbiasa duduk satu ruangan dengan dosen dengan gelar tertinggi, tapi ternyata aku sadar bahwa aku hadir karena adanya kepentingan akademik, baik itu kepentingan dosen yang membutuhkanku atau kepentinganku sendiri yang membutuhkan dosen. Begitu seterusnya setiap hari. Ternyata, jiwaku suka pilih-pilih lho untuk bisa lepas ~betul-betul bahagia~. (issh isshh iiisshh).
Lalu Bu Tun? Tidak hanya karena aku butuh membeli makan utuk sarapan, tapi sebenarnya jiwaku selalu haus dengan keramahan dan ketulusan beliau. Mungkin aku agak berlebihan, tapi memang itu yang aku rasakan. Padahal banyak penjual makan yang lain, tapi jiwaku tidak menangkap hal serupa seperti pada beliau.
Ya, aku dia-diam banyak belajar dari Bu Tun bahwa aku harus membiasakan tersenyum dengan tulus pada semua orang, tidak pura-pura, bukan fake smile. Namun entah apakah selama ini aku tersenyum dengan kerlingan mata –sebagai cerminan hati- yang meneduhkan seperti beliau? Ah, sudahlah. Aku tidak perlu menjelma seperti beliau hanya untuk tersenyum pada orang lain kan?

Hmm.. Sebagai efek, sebenarnya aku membiasakan diri tersenyum pada orang lain karena aku merasa sangat bahagia saat orang lain membalas senyumku. Itu saja. Kembali sadar, aku bahagia atas perantara orang lain. Aku menyimpulkan bahwa ternyata memang kebahagiaan tidak akan pernah lepas dari peran orang lain, yah.. ^^ 

Pada akhirnya, aku tetap pada keyakinanku bahwa siapapun yang merasa bahagia, maka selalu sama rasanya dengan orang lain saat bahagia. Oleh karena itu, rumus bahagia akan selalu sama sampai kapanpun. Jika aku berusaha membuat orang lain bahagia, maka aku akan bahagia. ^^

Bagaimana dengan teman-teman? Apakah punya pengalaman yang serupa? ^^

Kamis, 24 Maret 2016

Tentang Jodoh

Umur sudah matang, sudah wisuda, lalu datanglah teman membawa kertas wangi terbungkus rapi dengan plastik trasparan. Iya, undangan pernikahan. Lalu datang lagi. Lagi. whatsApp berdering, ternyata undangan lagi. Ditambah lagi celetuk teman dan keluarga, “Diundang terus, kapan ngundang? Tunggu apa lagi?”. Terciptalah sikon semacam tertekan, sesak, dan apabila diintip sel-sel di jantung saling bergulat seperti mengurai benang kusut. Dan itu wajar. -____-‘

Karena jodoh -kata Om Ari Lasso- adalah Misteri Ilahi, maka sebenarnya bukan hak kita sebagai manusia untuk menyingkapnya. Manusia hanya dilahirkan dengan kemampuannya dalam berikhtiar beriringan dengan ketetapan Allah. Kapan dan Siapa merupakan pertanyaan inti dalam masalah ini.

Kapan …

Kita harus selalu sadar bahwa jodoh termasuk amanah dari Allah. Bukankah amanah adalah sesuatu yang harus dipelihara baik-baik dan dipertanggungjawabkan? Nah, Allah Maha Tahu siapa saja hambaNya yang telah mampu mengemban amanahNya tersebut. Hhmm... Jika memang pada umur yang sudah seperempat abad belum mendapatkan jodoh, mungkin memang belum waktunya bertemu dengannya. Simple! #padahal nyesek

Jika ikhtiar dan do’a telah dilakukan, maka selanjutnya adalah tawakkal. Jangan sampai karena terburu-buru atau takut terkejar oleh teman, kita justru memakai motto “Yang penting menikah dulu, yang lain-lain urusan nanti”. Asal pilih begitu saja. Padahal, sering kita dengar kata bijak bahwa “keterburu-buruan tidak pernah memberikan kebaikan apa-apa”.

Walaupun jodoh merupakan ketetapan Allah, kita tidak seharusnya mengabaikan ikhtiar untuk mendapatkan jodoh terbaik. Toh, ini bukan lomba lari marathon, jadi tidak perlu saling mengejar. Bila sudah saatnya, jodoh akan dengan mudahnya menghampiri. Santai, dia sedang otewe. ^^

Siapa…

Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa kita tidak perlu terburu-buru dalam mendapatkan jodoh, menikah dengan konsep asal pilih. Kita berhak untuk berjodoh dengan orang baik-baik. Namun, jangan pernah menuntut mendapatkan jodoh terbaik jika kita sendiri belum menjadi pribadi yang baik. Layakkan diri kita untuk dijemput jodoh terbaik itu. Sekali menikah, menikahlah dalam keberartian. 

Perlu kita ingat bersama bahwa kadar baik atau tidak, sebenarnya hanya Allah-lah yang tahu. Bukankah yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah?. Oleh karena itu, meminta petunjuk adalah jalannya. Berdo’a, shalat. Tidak ada do’a yang tidak terjawab. Allah malu jika hambaNya kembali (dari do’anya) dengan tangan hampa. ^^

Lalu? Lain kali, jika ada undangan lagi yang menghampiri, berdo’a, “InsyaAllah tahun ini”. Aamiin ^^