Laman

Jumat, 07 Oktober 2011

MUTASI 1

MUTASI BAB I

Materi genetic DNA dan RNA bisa saja mengalami perubahan karena sebab tertentu.Berbagai keadaan atau factor dalam lingkungan memang dapat menimbulkan perubahan DNA maupun RNA. Mutasi yang dapat diwariskan diartikan sebagai proses yang dapat menyebabkan suatu perubahan pada suatu gen. (Ayala, dkk, 1989). Sumber lain menyatakan mutasi sebagai perubahan materi genetic yang dapat diwariskan dan tiba-tiba (Gardner, 1991) atau sesuatu perubahan materi genetic yang dapat diwariskan dan yang dapat diseteksi yang bukan disebabkan oleh rekombinasi genetic (Russel, 1992) atau proses yang menghasilkan perubahan struktur DNA atau kromosom (Klug dan Cummings, 1994). Jelaslah, bahwa perubahan materi genetic itulah yang disebut sebagai mutasi dan hasil perubahan itu dapat (tidak selalu) diwariskan serta yang dapat (tidak selalu) dideteksi.
Mutasi itu pada dasarnya merupakan peristiwa yang lumrah terjadi, karena materi genetic itu tersusun dari senyawa kimia (polinukleotida).Perubahan materi genetic DNA dan RNA itu dapat berupa perubahan atau pengurangan unit penyusun, perubahan susunan, perubahan jumlah, dsb.Perubahan itu dapat berlangsung tiap kali setiap ada perubahan yang memungkinkannya terjadi.

Sebab-sebab Mutasi
Secara umum penyebab mutasi (yang spontan maupun yang terinduksi) adalah keadaan atau factorfaktor lingkungan, di samping keadaan atau factor internal materi genetic.Seperti diketahui mutasi spontan adalah perubahan materi genetic yang terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas dan mutasi terinduksi adalah yang terjadi karena pemaparan makhluk hidup pada penyebab mutasi semacam radiasi pengion, radiasi ultraviolet, dan berbagai senyawa kimia.

Keadaan atau Faktor Internal Materi Genetik sebagai Sebab Mutasi
Keadaan atau factor internal materi genetic yang dapat menjadi sebab terjadinya mutasi spontan antara lain kesalahan pada replikasi DNA, misalnya yang terkait dengan tautomerisme (sebagai akibat perubahan posisi sesuatu proton yang mengubah sesuuatu sifat kimia molekul). Pada basa purin dan pirimidin, perubahan tautomerik mengubah sifat perikatan hidrogennya.Dalam hal ini, S* dapat membentuk ikatan hydrogen dengan A, demikian pula G* dengan T, T* dengan G, serta A* dengan S (Ayaladan Kiger, 1984). S*, G*, T*, dan A* adalah bentukan yang jarang dari basa S, G, T, dan A akibat tautomerisme (S* adalah tautomer dari S, G* adalah tautomer dari G, T* adalah tautomer dari T, serta A* adalah tautomer dari A).


Efek perikatan antara basa-basa purin dan pirimidin dengan pasangan tautomer tampak pada saat replikasi DNA. Dalam hal ini sewaktu pasangan tidak lazim memisah pada replikasi berikutnya, masing-masingnya akan berpasangan dengan basa komplementernya, sehingga terjadilah mutasi.

Keadaan atau factor internal materi genetic lain yang dapat pula menjadi sebab terjadinya mutasi spontan adalah “penggelembungan” unting di saat replikasi , perubahan kimia tertentu secara spontan, transposisi elemen transposable, dan efek gen mutator. Penggelembungan unting DNA di saat replikasi dapat terjadi pada unting lama (template) maupun unting baru. Jika penggelembungan berlangsung pada unting lama maka akan terjadi delesi pada unting baru. Sebaliknya, jika penggelembungan terjadi pada unting baru maka akan terjadi adisi pada unting baru tersebut. Akibat delesi ataupun adisi akan mengakibatkan terjadinya mutasi.

Banyak peristiwa kimia pada DNA yang dapat menjadi sebab terjadinya mutasi spontan.Dua contoh peristiwa kimia tersebut yang paling umum adalah depurinasi dan deaminasi basa-basa tertentu.Pada depurinasi, suatu purin (adenine dan guanine) tersingkir dari DNA karena terputusnya ikatan kimia antara purin dan gula deoksiribose.Pada deaminasi, suatu gugus asam amino tersingkir dari basa.

Dalam hubungannya dengan depurinasi, jika tersingkirnya purin itu tidak diperbaiki maka di saat replikasi ttidak terbentuk pasangan basa komplementer yang lazim. Yang terjadi adalah secara acak basa apapun dapat diadakan (pada unting baru). Dan pada proses replikasi berikut keadaan tersebut dapat menimbulkan mutasi (pergantian basa). Jika basa baru yang diadakan secara acak tadi tidak sama dengan basa yang mula-mula. Pada saat ini telah dilaporkan bahwa ribuan basa purin tersingkir melalui proses depurinasi selama suatu waktu generasi tertentu dari suatu sel Mamalia pada kondisi kultur jaringan. (Russel, 1992)
Deaminasi 5-metilsitosin, sebagaimana yang terlihat pada Gambar menghasilkan timin.Berbeda dengan deaminasi sitosin, efek deaminasi 5-metilsitosin lebih langsung karena timin adalah basa yang lazim pada DNA. Dalam hal ini produk deaminasi itu (timin) tidak dapat dideteksi oleh mekanisme perbaikan apapun untuk diperbaiki (Russel, 1992) dan sebagai akibatnya adalah bahwa deaminasi 5-metilsitosin langsung menimbulkan mutasi berupa perubahan pasangan 5m S G menjadi T A. dampak deaminasi 5-metilsitosin ini semakin terasa, karena sudah diketahui bahwa DNA makhluk hidup prokariotik maupun eukariotik mengandung sejumlah kecil basa 5m S tersebut, karena perubahan 5m S G menjadi T A akibat deaminasi tadi tidak diperbaiki, maka pada kenyataannya lokasi basa 5m S pada genom sering terlihat sebagai titik-titik panas mutasi atau mutational hot spots (Russel, 1992). Pada lokasi-lokasi itulah frekuensi terjadinya mutasi lebih tinggi daripada frekuensi rata-rata.
Pperpindahan atau transposisis elemen transposable sudah terbukti dapat berakibat terjadinya mutasi gen dan mutasi kromosom atau aberasi kromosom (Russel, 1992). Mutasi gen akibat transposisi tersebut, terjadi karena insersi ke dalam gen. Transposisi tersebut juga dapat mempengaruhi ekspresi gen dengan cara insersi ke dalam urut-urutan pengatur gen.
Bukti paling baik tentang peran serta transposisi elemen transposable sebagai salah satu sebab terjadinya mutasi yang terlihat pada Drosophilla , terbukti timbul karena insersi elemen transposable, sekalipun secara eksperimental keberhasilan perlakuan dengan elemen transposable masih jarang. Contoh-contoh alela mutan pada genom Drosophila insersi elemen transposable antara lain wsp, w a, wbf, whd,. Keempat alela mutan ini merupakan alela ganda yang terletak pada lokus white kromosom X.
Pada makhluk hidup juga dikenal adanya gen yang ekspresinya mempengaruhi frekuensi mutasi gen-gen lain. Frekuensi mutasi gen-gen lain itu biasanya meningkat. Gen-gen yang mempunyai pengaruh semacam itu disebut gen mutator. Dua contoh kelompok makhluk hidup yang sudah diketahui memiliki gen mutator adalah E. coli dan Drosophila (Ayala dan Kiger, 1984). Contoh gen mutator pada E. coli adalah mut D yang mengubah sub unit ε DNA polimerase III (Watson, dkk; 1987). Ayala dan Kiger (1984) juga menyatakan bahwa pada E. Coli mutan mut S menyebabkan terjadinya pergantian purin dengan purin lain atau pirimidin dengan pinmidin lain, maupun pergantian purin dengan pirimidin dan sebaliknya; dan mutan mut T menyebabkan terjadinya pergantian A T menjadi S G.

Keadaan atau Faktor dalam Lingkungan sebagai Sebab Mutasi
Sebagaimana yang telah dikemukakan, keadaan atau faktor dalam lingkungan dipandang sebagai penyebab mutasi spontan maupun mutasi yang terinduksi.Penyebab mutasi berupa keadaan atau faktor dalam lingkungan juga dapat dipilah menjadi yang bersifat fisik, kimiawi, maupun biologis. Masing-masing penyebab mutasi itu akan dikaji lebih lanjut.

Penyebab mutasi dalam Iingkungan yang bersifat fisik
Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik adalah radiasi dan suhu.Radiasi sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi radiasi pengion dan radiasi bukan pengion (Gardner dkk., 1991).Radiasi pengion berenergi tinggi, sedang radiasi bukan pengion berenergi rendah.Contoh radiasi pengion misalnya radiasi sinar X, radiasi sinar gamma, dan radiasi kosmik. Pada saat ini radiasi pengion diinduksi oleh sinar X, proton dan neutron yang dihasilkan mesin, maupun oleh sinar alfa, beta, dan gamma yang dibebaskan isotop radioaktif dan ekmen seperti P32, S35, Cobalt 90, dan sebagainya. Contoh radiasi bukan pengion misalnya radiasi sinar ultraviolet (UV).
Radiasi pengion mampu menembus jaringan/tubuh makhluk hidup karena berenergi tinggi.Selama menembus jaringan/tubuh makhluk hidup, sinar bertenaga tinggi ini berbenturan dengan atom-atom sehingga terjadi pembebasan elektron dan terbentuklah ion-ion positip. Ion-ion positip tersebut selanjutnya berbenturan dengan molekul lain, sehingga terjadi pembebasan elektron dan terbentuklah ion-ion positip lebih lanjut; dan melalui cara ini terbentuklah suatu sumbu ion sepanjang jalur terobosan sinar bertenaga tinggi itu (Gardner, dkk., 1991; Russel, 1992).
Pada tumbuhan dan hewan tingkat tinggi sinar UV dapat menembus lapisan sel-sel permukaan karena berenergi rendah, serta tidak menimbulkan ionisasi.Sinar UV membebaskan energinya kepada atom-atom yang dijumpai, meningkatkan elektron-elektron pada orbit luar ke tingkat energi yang lebih tinggi.Atom-atom yang memiliki elektron-elektron sedemikian dinyatakan tereksitasi atau tergiatkan.
Molekul-molekul yang mengandung atom yang berada dalam keadaan terionisasi maupun tereksitasi, secara kimiawi lebih reaktif daripada molekul yang memiliki atom-atom yang berada dalam keadaan stabil.Reaktivitas yang meningkat dan atom-atom pada molekul DNA merupakan dasar dan efek mutagenik radiasi sinar UV maupun radiasi sinar pengion (Gardner, dkk; 1991).Reaktivitas yang meningkat tersebut mengundang terjadinya sejumlah reaksi kimia, termasuk mutasi. Pada kenyataannya radiasi pengion dapat menyebabkan terjadinya mutasi gen dan pemutusan kromosom yang berakibat delesi, duplikasi, inversi, translokasi, serta fragmentasi kromosom umumnya (Gardner dkk., 1991; Russel, 1992; KIug dan Cummings, 1994).

Sinar X serta sebagian besar radiasi pengion lain dinyatakan dalam satuan unit roentgen (unit r), yang diukur dalam hubungan dengan jumlah ionisasi per unit volume pada suatu perangkat kondisi standar. Dalam hal ini I unit r adalah suatu jumlah radiasi pengion yang menghasilkan satu muatan elektrostatik pada suatu volume 1 cm3 (Gardner, dkk; 1991).Dosis penyinaran unit-unit r tidak mencakup suatu skala waktu. Dalam hubungan ini dosis yang sama dapat diperoleh melalui suatu intensitas penyinaran yang rendah selama suatu periode waktu panjang, atau melalui suatu intensitas penyinaran tinggi selama suatu periode waktu singkat. Hal tersebut sangat penting karena pada kebanyakan kajian penelitian, frekuensi mutasi titik yang diinduksi berbanding langsung dengan dosis penyinaran.Hubungan antara frekuensi mutasi letal yang terpaut kelamin yang diinduksi pada sperma Drosophila dengan dosis radiasi pengion (Gardner, dkk., 1991)

Hubungan linear antara frekuensi mutasi dan dosis radiasi tersebut penting dalam hubungannya dengan permasalahan “apakah ada suatu tingkat penyinaran yang aman” sekalipun sebenarnya tidak ada yang aman.Gambar 1.8 sesungguhnya telah memberikan gambaran penjelasannya. Ada pula penjelasan lain misalnya yang terungkap pada Drosophila (Gardner, dkk; 1991); sudah diketahui bahwa pada sperma Drosophila, penyinaran dengan dosis yang sangat rendah dalam jangka waktu yang lama (penyinaran kronik) terbukti efektif menginduksi mutasi seperti halnya yang diinduksi oleh total dosis penyinaran yang sama itu yang diberikan pada intensitas tinggi dalam jangka waktu singkat (penyinaran akut). Pada mencit, terbukti bahwa penyinaran kronik menginduksi mutasi yang lebih sedikit dibanding dengan yang diinduksi oleh dosis yang sama pada penyinaran akut. Demikian pula diketahui bahwa jika mencit diperlakukan dengan dosis penyinaran yang terputus-putus, maka frekuensi mutasi sedikit lebih rendah daripada penyinaran dengan total dosis sama yang diperlakukan tidak terputus-putus. Perbedaan frekuensi mutasi yang terjadi antara penyinaran kronik dengan penyinaran akut pada Drosophila dan mencit mungkin bersangkut paut dengan perbedaan kemampuan perbaikan DNA yang rusak.Dalam hal mi mekanisme perbaikan yang mungkin ada pada spermatogonium dan oosit mencit, tidak ada pada sperma Drosophila (Gardner, dkk; 1991).
Berkenaan dengan radiasi pengion sudah diketahui pula bahwa perubahan tekanan oksigen dan suhu, jika berhubungan dengan proses penyinaran, juga dapat mengubah mutasi secara signifikan (Gardner, dkk; 1991). Tekanan oksigen yang rendah dapat menurunkan mutasi.Oksigen dapat memperbesar efek penyinaran, tetapi hanya selama penyinaran.Oksigen memperlihatkan efek yang lebih rendah pada kondisi penyinaran tinggi dibanding pada kondisi penyinaran moderat.
Bahwa sinar UV tidak menginduksi lonisasi, hal itu sudah dikemukakan pada bagian terdahulu.Namun demikian juga sudah dikemukakan bahwa sinar UV justru menggiatkan atom-atom yang dijumpai. Dalam hubungan dengan molekul DNA, sudah diketahui bahwa senyawa yang paling digiatkan adalah purin dan pirimidin, karena kedua macam senyawa itu menyerap cahaya pada panjang gelombang 254-260 nm yang merupakan rentang panjang gelombang sinar UV (Gardner, dkk., 1991; Russet, 1992). Pada makhluk hidup bersel banyak, yang mengalami mutasi akibat radiasi UV tentu saja set-sel yang berada di permukaan tubuh.Sebatiknya pada makhluk hidup bersel satu sinar UV sudah terbukti sebagai suatu penyebab mutasi yang potensial.
Hasil penelitian ini vitro juga sudah membuktikan bahwa pirimidin, terutama timin, sangat kuat menyerap sinar UV pada panjang gelombang 254 nm, sehingga menjadi sangat reaktif (Gardner, dkk., 1991).Terungkap bahwa dua produk hasil penyerapan sinar UV oleh pirimidin adalah hidrat pirimidin dan dimer pirimidin (Perhatikan Gambar 1.9’).Beberapa kajian penelitian bahkan membuktikan bahwa efek utama dan radiasi UV adalah dimerisasi timin. Dimer timin tampaknya menimbulkan mutasi secara tidak langsung dalam dua cara yaitu: (1) dimer timin rupanya mengganggu helix ganda DNA serta menghambat replikasi DNA secara akurat, (2) kesalahan yang kadang-kadang terjadi selania proses set untuk memperbaiki DNA yang rusak, seperti DNA yang mengandung dimer timin.
Suhu sebagai sebab mutasi sudah dilaporkan, misalnya pada beberapa jenis ikan yang menginduksi terjadinya poliploidi. Laporan Svardson pada 1945 (Purdom, 1983) telah menyebutkan adanya ikan (salem) triploid yang berasal dan tetasan telur yang telah mengalami kejutan suhu dingin. Demikian pula Swamp (1959a) dalam Purdom (1983) melaporkan ikan Gasterosteus aculeatus (sticklebacks) yang triploid telah diperoleh dan hasil tetasan telur yang telah mengalami kejutan panas.Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa Swamp merupakan orang pertama yang berhasil memelihara ikan triploid hingga mencapai ukuran maksimum (Purdom, 1983).

Selain faktor radiasi dan suhu, ternyata perlakuan dengan tekanan hidrostatik juga dilaporkan dapat menginduksi terjadinya mutasi.Gillespie dan Amstrong pada 1979 telah berhasil memanfaatkan tekanan hidrostatik untuk menginduksi tnploidi pada axoloth (Wilkins dan Gosling, 1983).Yang terjadi akibat tekanan hidrostatik ini adalah penghambatan polar body karena rusaknya spindel meiosis.Pembuatan ikan triploid dengan perlakuan tekanan hidrostatik juga sudah dilakukan, misalnya pada Brachydanio rerio (Streisinger, dkk., 1981 dalam Wilkins dan Gosling, 1983) serta pada Salmo gairdneri (Onozato, 1981 b dalam Wilkins dan Gosling, 1983).Dinyatakan pula bahwa pada Salmo gairdneri perlakuan tekanan hidrostatik itu berlangsung selama 6-7 menit yang dilaksanakan pada 5-15 menit sesudah fertilisasi; tekanan hidrostatik yang diberlakukan pada Salmo gairdneri adalah sebesar 650-700 kg/cm2.

Penyebab Mutasi dalam Lingkungan yang Bersifat Kimiawi
Penyebab mutasi dalam lingkungan kimiawi disebut juga sebagai mutagen kimiawi.Dewasa ini sudah dikenal berbagai contoh mutagen kimiawi.
Mutagen-mutagen kimiawi itu dapat dipilah menjadi 3 kelompok (Russel, 1992) yaitu analog basa, agen pengubah basa (base modifying agent), dan agen penyela (intercalating agent).
Tiap kelompok mutagen kimiawi itu akan dibahas lebih lanjut.

1. Analog basa. Senyawa-senyawa yang tergolong analog basa adalah yang memiliki struktur molekul sangat minp dengan yang dimiliki basa yang lazimnya terdapat pada DNA.Dua contoh analog basa tersebut adalah 5-Bromourasil (5-Bromouracil atau yang disingkat 5 BU) dan 2-Aminopurin (disingkat 2-AP).
5-Bromourasil adalah suatu analog timin.Dalam hubungan ini posisi karbon ke-5 ditempati oleh gugus brom, padahal posisi itu sebelumnya ditempati oleh gugus metil (CH3).Keberadaan gugus brom pada posisi karbon no. 5 itu mengubah distribusi muatan serta meningkatkan peluang perubahan tautomerik (Gardner, dkk., 1991).Pada bentuk keto (yang lebih stabil) 5 BU berpasangan dengan adenine, sebaliknya pada bentuk enol (yang lebih jarang), 5-BU berpasangan dengan Guanin.
5-BU menginduksi mutasi melalui peralihan antara kedua bentukan 5-BU. Jika sesaat setelah analog basa itu diinkorperasikan dalam bentuk keto (bentuk normal), maka analog basa itu berpasangan dengan adenine. Selanjutnya, jika bentuk keto 5-BU beralih ke bentuk enol (bentuk yang jarang) selama replikasi, maka analog basa itu akan berpasangan dengan guuanin dan pada proses replikasi berikut dari pasangan G-5 BU akan muncul pasangan G-C dan bukan A-T. dalam hal ini telah terjdi suatu mutasi transisi dari G C menjadi A T, jika yang pertama kali diinkorporasikan ke DNA selama replikasi adalah 5 BU dalam bentuk enol, tetapi kemudian beralih menjadi bentuk keto.
Sebagaimana yang telah dikemukakan analog basa lain adalah 2-aminopurine (2 AP). 2 AP juga memiliki 2 bentuk lain yaitu bentuk amino (normal) serta bentuk imino (jarang). Pada bentuk amino, 2 AP berperan sebagai adenine, dan berpasangan dengan timin. Pada bentuk imino, 2 AP berperan sebagai guanine dan berpasangan dengan sitosin. Seperti 5 BU, 2 AP juga menginduksi mutasi transisi, yaitu AC menjadi G C atau G C menjadi A T, tergantung bentuknya (amino atau imino).

2. Agen pengubah basa. Senyawa yang tergolong agen pengubah basa adalah mutagen yang secara langsung mengubah struktur maupun sifat kimia dari basa. Yang termasuk kelompok ini adalah agen deaminasi, agen hidroksilasi, serta agen alkilasi.
Asam nitrat menyingkirkan gugus amino dari basa guanin, sitosin dan adenin. Perlakuan degan asam nitrit atas guanin menghasilkan xanthin yang berprilaku seperti layaknya guanin sehingga tidak ada mutasi yang terjadi.perlakuan dengan asam nitrit atas sitosin menghasilkan urasiil yang berpasangan dengan adenin sehingga terjadi mutasi transisi C G menjadi T A. Di lain pihak akibat perlakuan asam nitrit adenin berubah menjadi hypoxanthin, yang lebih berpeluang berpasangan dengan sitosin dibanding dengan timin dan sebagai akibatnya terjadi mutasi transisi A T menjadi G C.

3. Agen interkalasi. Mutagen kimia berupa agen interkalasi bekerja dengan cara melakukan insersi antara basa-basa berdekatan pada satu atau kedua unting DNA. Contoh agen interkalasi adalah proflavin, acridine, ethidium bromide, dioxin, dan ICR – 70.
Jika agen interkalasi melakukan insersi antara pasangan basa yang berdekatan pada DNA tempalte maka suatu basa tambahan dapat diinsersikan pada unting DNA baru berpasangan dengan agen interkalasi.
Setelah satu atau lebih dari satu kali berlangsungnya replikasi tanpa adanya agen interkalasi, akibat yang muncul adalah terjadinya suatu mutasi rangka karena insersi suatu pasangan basa. Jika yang terjadi adalah insersi agen interkalasi ke dalam unting baru maka sewaktu unting ganda DNA tersebut bereplikasi sesuda hilangnya agen interkalasi, akibat yang muncul adalah terjadinya suatu mutasi rangka karena delesi satu pasang basa.

Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat biologis
Mutagen yang sudah dilaporkan fag. Efek mutagenik yang ditimbulkan fag terutama berkaitan dengan integrasi DNA fag, pemutusan dan delesi DNA inang. Berkenaan dengan profag Mu dinyatakan bahwa (Watson, dkk, 1987) karena suatu gen bakteri yang diinterupsi oleh DNA Mu biasanya tidak aktif terjadilah mutasi inang bakteri yang diinersi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar