Laman

Jumat, 07 Oktober 2011

TEORI BELAJAR

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME
Menurut teori behaviorisme, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar (Budiningsih, 2008).
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama (Budiningsih, 2008).
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas ”mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar (Budiningsih, 2008).







TEORI BELAJAR HUMANISME

1. Pendahuluan
Humanisme muncul pada zaman Renaissance (± 1450-1600). Humanisme sendiri lahir di Italia. Pusatnya terletak di Florence. Yang menjadi pelopornya adalah Petrarca dan Boccacio. Pengikutnya disebut dengan kaum Humanist, karena mereka menuju ke arah tercapainya peradaban lama (humanitas) (Djumhur, 1959).
Tujuan pendidikan humanisme sendiri diarahkan pada pembentukan manusia berani, bebas dan gembira. Manusia berani berarti: manusia yang percaya kepada diri sendiri bukan taat kepada kekuasaan Tuhan. Berani pula untuk memperoleh kemashyuran, yang telah dicita-citakan oleh ahli-ahli filsafah pada Zaman Yunani dan Romawi. Manusia bebas, artinya lepas dari ikatan gereja dan tradisi, berkembang selaras, individualistis, bukan manusia kolektivitas dan terikat seperti pada abad pertengahan. Manusia gembira menunjukkan dirinya kepada kenikmatan duniawi, bukan kepada keakhiratan seperti pada abad pertengahan. (Djumhur, 1959).
Selain tujuan yang disebutkan diatas, humanisme mempunyai tujuan untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. (Afif, 2010)
Tujuan utama pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, dengan cara membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
2. Ciri-Ciri Pembelajaran Humanisme
Ciri-ciri umum pembelajaran secara humanisme adalah sebagai berikut :
a. Mementingkan manusia sebagai pribadi
b. Mementingkan kebulatan pribadi
c. Mementingkan peranan kognitif dan afektif
d. Mengutamakan terjadinya aktualisasi diri dan self concept
e. Mementingkan persepsual subjektif yang dimiliki tiap individu
f. Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah laku sendiri (Suprayogi)

3. Tokoh-Tokoh Teori Humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanisme secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

3.1 Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku peserta didik dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan peserta didik yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa peserta didik untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

3.2 Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
1. suatu usaha yang positif untuk berkembang
2. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar peserta didik belum terpenuhi.
a. Kebutuhan Jasmaniah
b. Kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih
c. Kebutuhan Harga Diri
d. Kebutuhan Aktualisasi Diri
e. Kebutuhan Estetis

3.3 Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan peserta didik. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan peserta didik secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh peserta didik sendiri, dan adanya efek yang membekas pada peserta didik.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Peserta didik tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Peserta didik akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanisme yang penting diantaranya ialah :
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan peserta didik
2. Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik
4. Menghargai peserta didik
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari peserta didik)
7. Tersenyum pada peserta didik
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos peserta didik, meningkatkan angka konsep diri peserta didik, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta peserta didik menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
4. Implikasi Teori Belajar Humanisme
4.1 . Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
a. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
b. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
g. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik yang lain.
h. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik
i. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

5. Aplikasi Teori Humanisme Terhadap Pembelajaran Peserta didik
Aplikasi teori humanisme lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanisme adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
3. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri
4. Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5. Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestapeserta didik
Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

TEORI BELAJAR KOGNITIF

Teori belajar selalu dihubungkan dengan stimulus-respons dan teori-teori tingkah laku yang menjelaskan respons makhluk hidup dihubungkan dengan stimulus yang didapat dalam lingkungannya. Proses yang menunjukkan hubungan yang terus menerus antara respons yang muncul serta rangsangan yang diberikan dinamakan suatu prosess belajar.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa teori belajar sangat erat kaitannya dengan dunia psikologi. Teori belajar merupakan salah satu cabang dari psikologi yaitu psikologi perkembangan. Psikologi perkembangan merupakan cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi. Ada 4 pendekatan dalam teori psikologi perkembangan, salah satunya adalah kognitif (Herry, 2011).
Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak muncul kritik terhadap behaviorisme. Banyak keterbatasan dari behaviorisme dalam menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan dengan belajar. Banyak pakar psikologi waktu itu yang berpendapat behaviorisme terlalu fokus pada respons dari suatu stimulus dan perubahan perilaku yang dapat diamati.
Kognitivis mengalihkan perhatiannya pada “otak”. Mereka berpendapat bagaimana manusia memproses dan menyimpan informasi sangat penting dalam proses belajar. Akhirnya proposisi (gagasan awal) inilah yang menjadi fokus baru mereka. Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih cenderung perluasannya, khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental yang bisa mempengaruhi proses belajar. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa
belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa,
pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Mereka meneliti bagaimana manusia
memproses informasi dan membentuk representasi mental dari orang lain, objek, dan kejadian. (Fajar, 2010).
Menurut teori kognitifisme, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Gerakan ini tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif terhadap lingkungan, melainkan sebagai makhluk yang selalu berfikir (Homo sapiens). Paham kognitivisme ini tumbuh akibat pemikiran-pemikiran kaum rasionalisme.Dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar.
Berikut adalah ciri-ciri dari aliran kognitivisme:
1. mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
2. mementingkan keseluruhan daripada bagian-bagian
3. mementingkan peranan kognitif
4. mementingkan kondisi waktu sekarang
5. mementingkan pembentukan struktur kognitif
6. mengutamakan keseimbangan dalam diri manusia
7. mengutamakan insight (pengertian, pemahaman) (Herry, 2011).

Kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori penemuan Bruner dan teori kognitif Bandura.

1. Teori Gestalt
Menurut teori Gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006).
Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu: (1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain (Sukmadinata, 2007).

2. Teori Medan (Field theory)
Teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun kognitif. Teori medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang menekankan keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu selalu
berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang digambarkan oleh Kurt Lewin sebagai berikut:



Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu saja ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk ke dalam medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis berikutnya (Sukmadinata, 2007).
Menurut Lewin (Sanjaya, 2006), beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah dalam belajar adalah:
a) Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif.
b) Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ekstern).

3. Teori Belajar Kognitif Piaget
Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal, yaitu:
a) Tahap sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi sedikit mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bena-benda lain.
b) Tahap pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan motorik. Pada masa ini anak menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek. Misalnya seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang sat berada dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan mengatakan bahwa air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
c) Tahap operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama dalam kondisi yang berbeda.
d) Tahap operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami perkembangan penalaran abstrak.

4. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002).

5. Teori Penemuan Bruner
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007).

6. Teori Belajar Kognitif Gagne
Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu:
(1) Fase – fase pembelajaran
(2) Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes
(3) Kondisi atau tipe pembelajaran
(4) Kejadian-kejadian instruksional

7. Teori Belajar Kognitif Vytgosky
Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.

8. Teori Kognitif Bandura
Albert Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan perilaku. Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Tanpa Tahun. Teori Belajar Humanisme Kognitivisme. Educational Technolog i Documents, Surabaya State University (Online).(http://data.tp.ac.id/dokumen/teori+belajar+humanisme+kognitivisme+filetype%3Ado, diakses tanggal 18 Agustus, 2011)

Ahmadi, Abu & Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Budiningsih, C. Asri JURNAL PENELITIAN ILMU PENDIDIKAN Volume 3 No. 2 September 2010

Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Jogja: Penerbit Andi

Natawidjaya, Rochman & Moein Moesa. 1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Depdikbud

Pidarta, Made. 2008. Landasan Kependidikan. Jakarta:Rineka Cipta

Sugihartono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jogja:UNY Press.

Suprayogi, Ugi. Pendidikan Usia Lanjut. 2005...
Djaali. 2007. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara

Herry. 2011. Teori Pembelajaran kognitifisme, (online), (http://theresiaherry.blogspot.com/2011/04/teori-pembelajaran-kognitifisme.html, diakses pada tanggal 20 Agustus 2011)

Muhaimin, et.al. 2002. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher

Tidak ada komentar:

Posting Komentar