Laman

Kamis, 22 Desember 2011

MIKROBIOLOGI INDUSTRI


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Mikrobiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang perikehidupan makhluk-makhluk kecil yang hanyakelihatan dengan mikroskop (bahasa Yunani: micros = kecil, bios = hidup, logos = kata atau ilmu). Makhluk-makhluk kecil itu disebut dengan mikroorganisme, mikroba, protista, atau jasad renik. (Dwidjoseputro, 1998)
Ilmu pengetahuan tentang mikroorganisme dapat diamalkan guna menambah kesejahteraan hidup manusia. Sesuai dengan itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai mikrobiologi industri yang merupakan salah satu dari cabang ilmu mikrobiologi.
Mikrobiologi industri merupakan suatu usaha memanfaatkan mikrobia sebagai komponen untuk industri atau mengikutsertakan mikrobia dalam proses. Mikrobia dalam industri menghasilkan bermacam produk, diantaranya adalah antibiotic dan pakan ternak. (Hidayat, 2006)
            Berdasarkan latar belakang diatas, dalam makalah ini akan dibahas mengenai mikrobiologi industri yang meliputi mikrobia penghasil antibiotika, pakan ternak dan mekanisme produksinya.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa masalah, yaitu
1.      Bagaimanakah peran mikroba dalam proses pembuatan antibioka ?
2.      Bagaimanakah mekanisme kerja mikroba dalam pembuatan antibiotika ?
3.      Bagaimanakah peran mikroba dalam proses pembuatan pakan ternak ?
4.      Bagaimanakah mekanisme kerja mikroba dalam proses pembuatan pakan ternak ?

C.    TUJUAN
Dalam makalah ini diharapkan mencapai beberapa tujuan, yaitu
1.      Untuk mengetahui peran mikroba dalam proses pembuatan antibioka
2.      Untuk mengetahui mekanisme kerja mikroba dalam pembuatan antibiotika
3.      Untuk mengetahui peran mikroba dalam proses pembuatan pakan ternak
4.      Untuk mengetahui  mekanisme kerja mikroba dalam proses pembuatan pakan ternak.

BAB II
PEMBAHASAN
Suatu mikroorganisme dianggap layak digunakan dalam industri, bukan saja mampu menghasilkan substansi yang menarik, tetapi harus lebih dari itu. Mikroorganisme harus tersedia sebagai biakan murni, sifat genetiknya harus stabil, dan tumbuh dalam biakan berskala-besar. Biakan juga harus dapat dipelihara dalam periode waktu yang sangat panjang di laboratorium dan dalam ‘plant’ industri.
Biakan tersebut lebih disukai jika dapat menghasilkan spora dan bentuk sel
reproduktif lain sehingga mikroba mudah diinokulasikan ke dalam fermentor besar. Karakteristik penting yang harus dimiliki mikroorganisme industri yaitu
harus tumbuh cepat dan menghasilkan produk yang diharapkan dalam waktu yang
relatif singkat, karena alasan sebagai berikut:
1.      Alat-alat yang digunakan pada industri berskala besar termasuk mahal, hal tersebut tidak menjadi masalah (secara ekonomi) jika produk dapat dihasilkan dengan cepat;
2.      Jika mikroorganisme tumbuh dengan cepat, kontaminasi fermentor akan berkurang;
3.      Jika mikroorganisme tumbuh dengan cepat, akan lebih mudah mengendalikan berbagai faktor lingkungan dalam fermentor.
Sifat penting lain yang harus dimiliki mikroorganisme industri adalah:
a)      Tidak berbahaya bagi manusia, dan secara ekonomik penting bagi hewan dan tumbuhan.
b)      Harus non-patogen dan bebas toksin, atau jika menghasilkan toksin, harus cepat di-inaktifkan. Karena, ukuran populasi besar dalam fermentor industri, sebenarnya tidak memungkinkan menghindari kontaminasi dari lingkungan luar fermentor, suatu patogen yang ada akan mampu mendatangkan masalah.
c)      Mudah dipindahkan dari medium biakan. Di laboratorium, sel mikroorganisme pertamakali dipindahkan dengan sentrifugasi, tetapi sentrifugasi bersifat sulit dan mahal untuk industri skala-besar.
d)     Mikroorganisme lebih disukai jika berukuran besar, karena sel lebih mudah dipindahkan dari biakan dengan penyaringan (dengan bahan penyaring yang relatif murah). Sehingga, fungi, ragi, dan bakteri berfilamen, lebih disukai. Bakteri unisel, berukuran kecil sehingga sulit dipisahkan dari biakan cair.
e)      Terakhir, mikroorganisme industri harus dapat direkayasa secara genetik. Dalam bioteknologi mikroorganisme tradisional peningkatan hasil diperoleh melalui mutasi dan seleksi. Mutasi akan lebih efektif untuk mikroorganisme dalam bentuk vegetatif dan haploid, dan bersel satu. Pada organisme diploid dan bersel banyak mutasi salah satu genom tidak akan menghasilkan mutan yang mudah diisolasi. Untuk fungi berfilamen, lebih disukai yang menghasilkan spora, karena filamen tidak mampu mempermudah rekayasa genetika. Organisme juga diharapkan dapat direkombinasi secara genetik, juga dengan proses seksual dan beberapa jenis proses paraseksual. Rekombinasi genetik memungkinkan penggabungan genom tunggal sifat genetik dari beberapa organisme. Teknik yang sering digunakan untuk menciptakan hibrid, bahkan tanpa siklus seksual adalah fusi/penggabungan protoplasma, menyertai regenasi sel vegetatif dan seleksi progeni hibrid. Bagaimanapun, beberapa strain industri sudah diperbaiki secara genetik tanpa menggunakan rekombinasi genetika. (Kusnadi, tanpa tahun)

1. ANTIBIOTIK
Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang merupakan gabungan dari kata anti (lawan) dan bios (hidup). Kalau diterjemahkan bebas menjadi "melawan sesuatu yang hidup". Antibiotika di dunia kedokteran digunakan sebagai obat untuk memerangi infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau protozoa. Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak diturunkan dari produk mikroba.
Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba yang menyebabkan infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, antibiotika tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Yang harus selalu diingat, antibiotika hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat membunuh virus. Karena itu, penyakit yang dapat diobati dengan antibiotika adalah penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Cara kerja obat antibiotik ini dapat dibedakan menjadi tiga:
- bakteri akan dicegah tingkat pertumbuhannya
- bakteri dimusnahkan, tetapi secara secara materi(physical) masih ada
- bakteri dimusnahkan dan selnya dihancurkan (Setyaningsih, 2011)
            Antibiotika merupakan produk metabolisme sekunder. Meskipun hasilnya relatif rendah dalam sebagian besar industri fermentasi, tetapi karena aktivitas terapetiknya tinggi maka menjadi memiliki nilai ekonomik tinggi, oleh karena itu antibiotika dibuat secara komersial melalui fermentasi mikroba. Beberapa antibiotika dapat disintesis secara kimia, tetapi karena kompleksitas bahan kimia antibiotika dan cenderung menjadi mahal, maka tidak memungkinkan sintesis secara kimia dapat bersaing dengan fermentasi mikroorganisme.
Penggunaan antibiotika secara komersial, pertamakali dihasilkan oleh fungi berfilamen dan oleh bakteri kelompok actinomycetes. Daftar sebagian besar antibiotika yang dihasilkan melalui fermentasi industri berskala-besar, dapat dilihat pada Tabel 1.1. Seringkali, sejumlah senyawa kimia berhubungan dengan keberadaan antibiotika, sehingga dikenal famili antibiotik. Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimianya (Tabel 1.1). Sebagian besar
antibiotika digunakan secara medis untuk mengobati penyakit bakteri, meskipun sebagian diketahui efektif menyerang penyakit fungi. Secara ekonomi dihasilkan lebih dari 100.000 ton antibiotika per tahun, dengan nilai penjualan hampir mendekati $ 5 milyar.
Tabel 1.1 Beberapa antibiotika yang dihasilkan secara komersial
(Sumber:Brock & Madigan,(1991 dalam Kusnadi (tanpa tahun)

Tahap-tahap menuju produk komersial
Suatu antibiotika yang dihasilkan secara komersial, pada awalnya harus berhasil diproduksi pada fermentor industri berskala-besar. Salah satu gugus-tugas penting adalah pengembangan efisiensi metode pemurnian. Metode elaborasi (yang terperinci) sangat penting dalam ekstraksi dan pemunian antibiotika, karena jumlah antibiotika yang terdapat dalam cairan fermentasi hanya sedikit (Gambar 1.1).
 
Gambar 1.1 Seluruh proses ekstraksi dan pemurnian antibiotik
(Sumber:Brock & Madigan,1991 dalam Kusnadi (tanpa tahun)
Jika antibiotika larut dalam pelarut organik yang tidak dapat bercampur dengan air, maka pemurniannya relatif lebih mudah, karena memungkinkan untuk mengekstraksi antibiotika ke dalam suatu pelarut bervolume kecil, sehingga lebih mudah mengumpulkan antibiotika tersebut. Jika antibiotika tidak larut dalam pelarut, selanjutnya harus dipindahkan dari cairan fermentasi melalui adsorpsi, pertukaran ion, atau presipitasi secara kimia. Pada semua kasus, tujuannya untuk memperoleh produk kristalin yang sangat murni, meskipun sejumlah antibiotika tidak mudah terkristalisasi dan sulit dimurnikan.
Masalah yang berhubungan adalah, kultur sering menghasilkan produk akhir lain, termasuk antibiotika lain, dalam hal ini penting mengakhiri proses dengan suatu produk yang hanya terdiri dari antibiotik tunggal. Pemurnian secara kimia mungkin dibutuhkan untuk mengembangkan metode dalam rangka menghilangkan produk sampingan yang tidak diharapkan, tetapi dalam beberapa kasus hal tersebut penting untuk ahli mikrobiologi untuk menemukan strain yang tidak menghasilkan senyawa kimia dan tidak diharapkan.

1.1  Klasifikasi Antibiotik
Dalam beberapa hal mekanisme kegiatan antibiotik sukar diterangkan, karena beberapa alasan, seperti :
  1. Kesulitan menetapkan gangguan tersebut sebagai pengaruh sekunder atau primer.
  2. Kebanyakan antibiotik merupakan substansi kimia yang rumit dan sering tidak mungkin disintesis secara kimia, se-hingga sulit membuat antibiotik bertanda radioaktif.
  3. Reaksi esensiil yang diblokir, mungkin belum diketahui dengan jelas.
  4. Metabolisme organisme berbeda satu sama lain walaupun pada prinsipnya sama, sehingga mekanisme kegiatan pada satu organisme, mungkin bukan cara antibiotik tersebut menghambat pertumbuhan organisme lainnya (Usman,1992).
Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri dapat bermacam-macam, namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat perkembangan bakteri. Oleh karena itu mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat dijadikan dasar untuk mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut:
1.    Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin,  Oxasilin.
a)      Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada enzim DD-transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan Penicillin) hanya efektif terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran terluar (outer membran) yang terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak mampu menembus dinding peptidoglikan.
b)      Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan Penicillin V, merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk penyakit-penyakit seperti sifilis, listeria, atau alergi bakteri gram positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun karena Penicillin merupakan jenis antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan telah membawa dampak resistansi bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian Penicillin tetap digunakan selain karena harganya yang murah juga produksinya yang mudah.
c)      Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya bersifat bakterisidal. Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat sintesis dinding sel. Bacitracin digunakan untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin digunakan untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus. Adapun Polymixin B digunakan untuk bakteri gram negatif.
d)     Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki mekanisme kerja yang hampir sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Normalnya sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin Binding Protein) yang akan berikatan dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk membentuk jembatan peptidoglikan. Namun keberadaan antibiotik akan membuat PBP berikatan dengannya sehingga sintesis dinding peptidoglikan menjadi terhambat.
e)      Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran dinding peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif.
f)       Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik bakterisidal yang digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan Methicillin dan Oxacillin biasanya untuk bakteri gram positif yang telah membentuk kekebalan (resistansi) terhadap antibiotik dari golongan Beta-laktam.
g)      Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki spektrum sasaran yang lebih luas, yaitu Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat bakterisidal.

2.  Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid, Lincosamides, Metronidazole.
a)      Quinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan demikian akan menghambat replikasi dan transkripsi DNA.  Quinolone lazim digunakan untuk infeksi traktus urinarius.
b)      Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan cara berikatan dengan β-subunit dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada akhirnya sintesis protein. Rifampicin umumnya menyerang bakteri spesiesMycobacterum.
c)      Nalidixic acid merupakan antibiotik bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja yang sama dengan Quinolone, namun Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit demam tipus.
d)     Lincosamides merupakan antibiotik yang berikatan pada subunit 50S  dan banyak digunakan untuk bakteri gram positif, anaeroba Pseudomemranous colitis. Contoh dari golongan Lincosamides adalah Clindamycin.
e)      Metronidazole merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan berefek menghambat sintesis DNA.

3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline, Chloramphenicol,  Kanamycin, Oxytetracycline.
a)      Macrolide, meliputi Erythromycin dan Azithromycin, menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis, namun dalam konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi. Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus.
b)      Aminoglycoside meliputi Streptomycin, Neomycin, dan Gentamycin, merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri gram negatif.
c)      Tetracycline merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal 16S-30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein. Namun antibiotik jenis ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan gigi menjadi berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati.
d)     Chloramphenicol merupakan antibiotik bakteriostatis yang menghambat sintesis protein dan biasanya digunakan pada penyakit akibat kuman Salmonella.

4.   Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Contohnya antara lain Ionimycin dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel. 

5.  Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.
a)      Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat, di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein. Biasanya Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserriameningitis.
b)      Trimetophrim juga menghambat pembentukan DNA dan protein melalui penghambatan metabolisme, hanya mekanismenya berbeda dari Sulfonamide. Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase yang seyogyanya dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi tetrahidrofolat (THF).
c)      Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine) merupakan antibiotik yang dikenal sebagai purin-antagonis dan analog-glutamin. Azaserin mengganggu jalannya metabolisme bakteri dengan cara berikatan dengan situs yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga mengganggu pembentukan glutamin yang merupakan salah satu asam amino dalam protein.

1.2  Contoh Antibiotik
1.1.1        Penisilin
Penisilin merupakan salah satu antibiotik yang paling efektif selama empat decade ini. Peningkatan kebutuhan medis akan penisilin telah membuka peluang bagi pengembangan industri pembuatan penisilin secara komersial yang menuntut peningkatan kualitas dan kuantitas dari penisilin yang dihasilkan. Perbaikan kualitas dan kuantitas penisilin dapat tercapai apabila parameter-parameter metabolik dari proses fermentasi adalah optimum (Maya,2002).
Penisilin merupakan campuran asam organik berstruktur komplek yang diisolasi sebagai garam-garam natrium, kalium dan kalsium. Pensilin dihasilkan selama pertumbuhan dan metabolisme kapang Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Kultur yang sama dapat menghasilkan beberapa macam molekul penisilin antara lain penisilin G dan penisilin V (Husein,1982). Dewasa ini dikenal 5 jenis penisilin hasil proses fermentasi . Penisilin G merupakan penisilin yang paling banyak diproduksisecara komersial dewasa ini (Maya,2002).
Sebagai strain penghasil antibiotika salah satunya adalah Penicillium chrysogenum.  Ada beberapa alasan penelitian ini menggunakan antimikroba ini, antara lain adalah
1.      Mikroorganisme ini menghasilkan antibiotik Penisilin dengan cara  proses fermentasi.
2.       Mikroorganisme ini mempunyai spektrum yang sangat luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif  serta  beberapa jamur dengan daya toksisitas yang rendah.
3.      Antibiotik penisilin dikenal sebagai antibiotik β-laktam merupakan inhibitor spesifik terhadap sintesis dinding sel bakteri.
4.      Situs aksi antibiotika ini adalah transpeptidase dan D-alanin karboksipeptidase, yang mengkatalis polimerisasi rantai peptidoglikan (1)(3)(7) (Viena ,dkk.2003).
Menurut Maya (2002), Penisilin diproduksi secara komersial dengan menggunakan bahan baku utama berupa glokosa, laktosa, dan cairan rendaman jagung. Mineral-mineral yang digunakan adalah NaNO3, Na2SO4, CaCO3, KH2PO4, MgSO4, 7H2O, ZnSO4, dan MnSO4. Untuk meningkatkan yield dan modifikasi tipe penisilin yang akan dihasilkan, maka kedalam media fermentasi ditambahkan juga precursor, misalnya phenylacetic acid yang digunakan untuk memproduksi penisilin G. Cairan rendaman jagung adalah media fermentasi dasar yang terdiri dari asamamino, polipeptida, asam laktat dan mineral-mineral. Kualitas cairan rendaman jagung sangat bergantung pada derajat pengenceran hingga diperoleh  konsentrasi yang diinginkan, sedangkan besarnya jumlah nutrient dan alkali yang ditambahkan kedalam media dasar disesuaikan dengan jumlah media fermentasi dasar ini.
Kemudian Maya (2002) dalam makalahnya juga mendeskripsikan proses pembuatan penisilin. Proses fermentasi penisilin didahului oleh tahapan seleksi strain Penicillium chrysogenum pada media agar di laboratorium dan perbanyakan pada tangki seeding. Penicillium chrysogenum yang dihasilkan secara teoritis dapat mencapai konversi yield maksimum sebesar 13 – 29 %. Media fermentasi diumpankan ke dalam fermentol pada suasana asam (pH 5,5).Proses fermentasi ini diawali dengan sterilisasi media fermentasi melalui pemanasan dengan steam bertekanan sebesar 15 lb (120 0C) selama ½ jam. Sterilisasi ini dilanjutkan dengan proses pendinginan fermentol dengan air pendingin yang masuk ke dalam fermentol melalui coil pendingin.
Fermentol yang digunakan merupakan fessel vertikal bertekanan yang terbuat dari carbon steel dan dilengkapi dengan coil pemanas, coil pendingin, pengaduk tipe turbin dan sparger yang berfungsi untuk memasukkan udara steril.
Saat temperatur mencapai 75oF (24 oC), media ini diinokulasi pada kondisi aseptic dengan mengumpankan spora-spora kapang Penicillium chrysogenum. Selama proses fermentasi berlangsung dilakukan pengadukan, sementara udara steril dihembuskan melalui sparger kedalam fermentol. Proses fermentasi ini akan berlangsung secara batch terumpani selama 100 – 150 jam dengan tekanan operasi 5 – 15 psig. Temperatur operasi dijaga konstan selama fermentasi penisilin berlangsung dengan cara mensirkulasikan air pendingin melalui coil. Busa-busa yang terbentuk dapat diminimalkan dengan penambahan agen anti-foam. Kapang aerobic dibiarkan tumbuh selama 5 – 6 hari saat gas CO2 mulai terbentuk.
Ketika penisilin ini dihasilkan jumlahnya telah maksimum, maka cairan hasil fermentasi tersebut didinginkan hingga 28 oF (2 oC), dan diumpankan kedalam rotary vacum filter untuk memisahkan miselia dan penisilin. Miselia akan dibuang, sehingga diperoleh filtrat berupa cairan jernih yang mengandung penisilin. Untuk mendapatkan penisilin yang siap dikomsumsi, maka tahapan dilanjutkan dengan proses ekstraksi dan kristalisasi.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi fermentasi penisilin, yaitu
a.       Pengaruh Faktor Lingkungan
Fermentasi pensilin sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi proses dan lingkungannya. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan penisilin ini antara lain adalah : Temperatur, pH, Sistem Aerasi, Sistem Pengadukan, Penggunaan zat anti busa, dan upaya pencegahan kontaminasi pada medium.
b.      Temperatur
Fermentasi untuk pembuatan penisilin akan menghasilkan produk yang maksimum apabila temperatur operasi dijaga pada 24oC. Temperatur berkaitan erat dengan pertumbuhan mikroorganisme, karena kenaikan temperatur dapat meningkatkan jumlah sel mikroorganisme baru. Apabila temperatur sistem meningkat melebihi temperatur optimumnya, maka produk yang dihasilkan akan berkurang, karena sebagian dari media fermentasi akan digunakan oleh mikroorganisme untuk mempertahankan hidupnya.
c.       pH
Pengaturan pH dilakukan untuk mencegah terjadinya fluktuasi pH sistem. Menurut Moyet dan Coghill kehilangan penisilin dapat terjadi pada pH dibawah 5 atau pH diatas 7,5. PH medium dipengaruhi oleh jenis dan jumlah karbohidrat (glukosa atau laktosa) dan buffer. Karbohidrat akan difermentasi menjadi asam-asam organik. Fermentasi glukosa yang berlangsung cepat akan menurunkan pH, sedangkan laktosa terfermentasi dengan sangat lambat sehingga perubahan pH berlangsung lambat pula. Konsentrasi gula hasil fermentasi ini berfungsi mempertahankan kenaikan pH agar tetap lambat. Larutan buffer dapat digunakan untuk mempertahankan pH sistem. Kalsium  karbonat merupakan senyawa yang sering digunakan untuk tujuan ini. Kalsium karbonat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pH sistem saat ditambahkan media fermentasi.
d.      Aerasi
Aerasi yang cukup merupakan hal penting untuk memaksimalkan penisilin, sebab aerasi dapat menghasilkan oksigen yang dihasilkan oleh kapang Penicillum chrysogenum untuk metabolismenya. Aerasi pada fermento diberikan melalui proses pengadukan atau dengan tekanan sebesar 20 lb/in2 akan mengurangi penisilin yang dihasilkan.
e.       Pengadukan
Pemilihan jenis pengaduk dan kecepatan pengadukan yang sesuai akan memperbaiki hasil penisilin ketika laju aerasi konstan. Kecepatan pengadukan proses fermentasi umumnya berkisar pada range 250 – 500 cm/detik. Pembentukan busa yang berlebihan selama proses fermentasi dapat dieliminasi dengan penambahan tributinit sutrat. Secara umum, busa akan menurunkan pH apabila konsentrasinya terus bertambah.
f.       Sterilisasi
Kontaminasi dapat dihindarkan dengan cara sterilisasi  sistem perpipaan, fermentol, dan peralatan lain yang kontak langsung dengan penisilin. Uap panas umumnya digunakn untuk sterilisasi media fermentasi dan peralatan tersebut. Zat anti busa dan udara untuk aerasi juga hasus disterilkan terlebih dahulu sebelum diumpankan kedalam media fermentasi (Maya, 2002).

2. PAKAN TERNAK
Teknik produksi pakan ternak adalah serangkaian aktivitas yang melibatkan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan pakan yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh nutrisionist. Bahan pakan terdiri dari bahan organik dan anorganik. Bahan organik yang terkandung dalam bahan pakan antara lain, protein, lemak, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, sedang bahan anorganik yang dimaksud seperti calsium, phospor, magnesium, kalium, natrium dan lain sebagainya. Kandungan bahan organik ini dapat diketahui dengan melakukan analisis proximate dan analisis terhadap vitamin dan mineral untuk masing masing komponen vitamin dan mineral yang terkandung didalam bahan yang dilakukan di laboratorium dengan teknik dan alat yang spesifik.
Formulasi pakan ternak, biasanya disusun oleh seorang ahli nutrisi (nutrisionist) yang memiliki pengetahuan yang luas mengenai aspek-aspek teknis, zooteknis dan ekonomis. Paduan dari ketiga aspek diatas adalah terciptanya suatu susunan tiga atau lebih bahan baku pakan yang telah diperhitungkan target kandungan nutrisinya sehingga dapat direkomendasikan penggunaannya untuk ternak dan produk pakan tersebut harus marketable.
Nutrisionist adalah seorang ahli pakan ternak, persyaratan yang harus dimiliki adalah mengetahui kebutuhan hidup untuk setiap jenis dan periode hidup ternak, toleransi ternak terhadap zat-zat pakan tertentu, macam dan jenis pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak, faktor penghambat (antinutrisi) yang terkandung dalam bahan pakan, pengaruh musim dan lingkungan terhadap ketersedian bahan baku pakan, mampu menjamin kontinuitas produksi, mampu menjamin tidak menyebabkan ternak sakit serta mampu mengkalkulasi formula yang ekonomis dengan kualitas memenuhi standar.

2.1  Contoh Pakan Ternak
2.1.1        Silase
Silase adalah pakan yang telah diawetkan yang di proses  dari bahan baku yang berupa  tanaman hijauan , limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami lainya,   dengan jumlah kadar / kandungan air pada tingkat tertentu kemudian di masukan dalam sebuah tempat yang tertutup rapat kedap udara , yang biasa disebut dengan Silo, selama sekitar tiga minggu. Didalam silo tersebut  tersebut akan terjadi beberapa tahap proses anaerob (proses tanpa udara/oksigen), dimana “bakteri asam laktat akan mengkonsumsi zat gula yang terdapat pada bahan baku, sehingga terjadilah  proses fermentasi. Silase yang terbentuk karena proses fermentasi ini dapat di simpan untuk jangka waktu yang lama tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisi dari bahan bakunya.

Tujuan pembuatan Silase
Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa di disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai pakan bagi ternak. Sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Sayangnya fermentasi yang terjadi didalam silo (tempat pembuatan silase), sangat tidak terkontrol prosesnya, akibatnya kandungan nutrisi pada bahan yang di awetkan menjadi berkurang jumlahnya.. Maka untuk memperbaiki berkurangnya nutrisi tersbut, beberapa jenis zat tambahan (additive) harus di gunakan agar kandungan nutrisi dalam silase  tidak berkurang secara drastis, bahkan bisa meningkatkan pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi ternak yang memakannya.

Prinsip Dasar Fermentasi Silase
Prinsip dasar dari pengawetan dengan cara silase fermentasi adalah  sebagai berikut.
·      Respirasi
Sebelum sel-sel di dalam tumbuhan mati atau tidak mendapatkan oksigen, maka mereka melakukan respirasi untuk membentuk energi yang di butuhkan dalam aktivitas normalnya. Respirasi ini merupakan konversi karbohidrat menjadi energi. Respirasi ini bermanfaat untuk menghabiskan oksigen yang terkandung, beberapa saat setelah bahan di masukan dalam silo. Namun respirasi ini mengkonsumsi karbohidrat dan menimbulkan panas, sehingga waktunya harus sangat di batasi. Respirasi yang berkelamaan di dalam bahan baku silase, dapat mengurangi kadar karbohidrat, yang pada ahirnya bisa menggagalkan proses fermentasi. Pengurangan kadar oksigen yang berada di dalam bahan baku silase, saat berada pada ruang yang kedap udara yg disebut dengan Silo, adalah cara terbaik meminimumkan masa respirasi ini.

·      Fermentatsi.
Setelah kadar oksigen habis , maka proses fermentasi di mulai. Fermentasi adalah menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase. Sampai dengan kadar pH dimana tidak ada lagi organisme yang dapat hidup dan berfungsi di dalam silo.Penurunan kadar pH ini dilakukan  oleh lactic acid yang di hasilkan oleh bakteri Lactobacillus. Lactobasillus itu sendiri sudah berada didalam bahan baku silase, dan dia akan tumbuh dan berkembang dengan cepat sampai bahan baku terfermentasi. Bakteri ini akan mengkonsumsi karbohidrat untuk kebutuhan energinya dan mengeluarkan lactic acid. Bakteri ini akan terus memproduksi lactic acid dan menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase. Sampi pada tahap  kadar pH yang rendah, dimana  tidak lagi memungkinkan bakteri ini beraktivitas. Sehingga silo berada pada keadaan stagnant, atau tidak ada lagi perubahan yang terjadi, sehingga bahan baku silase berada pada keadaan yang tetap. Keadaan inilah yang di sebut keadaan terfermentasi, dimana  bahan baku berada dalam keadaan tetap , yang disebut dengan menjadi awet. Pada keadaan ini maka silase dapat di simpan  bertahun-tahun selama tidak ada oksigen yang menyentuhnya.

Bakteri ini juga sudah berada pada hijauan atau bahan baku silase lainnya, saat mereka di masukan kedalam silo. Bakteri ini mengkonsumsi karbohidrat, protein dan lactic acid sebagai sumber energi mereka kemudian mengeluarkan Butyric acid, dimana Butyric acid bisa diasosiasikan dengan  pembusukan silase. Keadaan yang menyuburkan  tumbuhnya bakteri clostridia adalah kurangnya kadar karbohidrat untuk proses fermentasi , yang biasanya di sebabkan oleh kehujanan pada saat pencacahan bahan baku silase, proses respirasi yang terlalu lama, terlalu banyaknya kadar air di dalam bahan baku. Dan juga kekurangan jumlah bakteri Lactobasillus . Itulah sebabnya kadang di perlukan penggunaan bahan tambahan atau aditive.

Ø Tahapan atau Phase yang terjadi pada proses fermentasi Silase
Proses fermentasi ini (yang biasa di sebut dengan Ensiling), berjalan dalam enam phase,   yaitu:
v Phase I
Saat pertama kali hijauan di panen, pada seluruh permukaan hijauan tersebut terdapat organisme aerobic, atau sering disebut sebagai bakteri aerobic, yaitu bacteri yang membutuhkan udara / oksigen. Sehingga pada saat pertamakali hijauan sebagai bahan pembuatan silase di masukan ke dalam silo, bakteri tersebut akan mengkonsumsi udara/oksigen yang terperangkap di dalam ruang silo tersebut. Kejadian ini merupakan sesuatu yang tidak di inginkan untuk terjadi saat ensiling, karena pada saat yang sama bakteri aerobik tersebut juga akan mengkonsumsi karbohidrat yang sebetulnya di perlukan bagi bakteri lactic acid.
Walaupun kejadian ini nampak menguntungkan dalam mengurangi jumlah oksigen di dalam silo , sehingga menciptakan lingkungan anaerob seperti yang kita kehendaki dalam ensiling, namun kejadian tersebut juga menghasilkan air dan peningkatan suhu / panas. Peningkatan panas yang berlebihan akan mengurangi digestibility  kandungan nutrisi, seperti misalnya protein. Proses perubahan kimiawi yang terjadi pada phase awal  ini adalah terurainya  protein tumbuhan, yang akan terurai  menjadi amino acid, kemudian menjadi amonia dan amines. Lebih dari 50% protein yang terkandung di dalam bahan baku akan terurai. Laju kecepatan penguraian protein ini (proteolysis), sangat tergantung dari laju berkurangnya kadar pH. Ruang lingkup silo yang menjadi acid, akan mengurangi aktivitas enzym yang juga akan menguraikan protein.
Lama terjadinya proses dalam tahap ini tergantung pada kekedapan udara dalam silo, dalam kekedapan udara yang baik maka phase ini  hanya akan bejalan beberapa jam saja. Dengan teknik penanganan  yang kurang memadai maka phase ini  akan berlangsung sampai beberapa hari bahkan beberapa minggu.
Untuk itu maka tujuan utama yang harus di capai pada phase ensiling ini adalah, semaksimum mungkin di lakukan pencegahan masuknya udara/oksigen, sehingga keadaan anaerobic dapat secepatnya  tercapai.
Kunci sukses pada phase ini adalah:
-          Kematangan bahan
-          Kelembaban bahan
-          Panjangnya pemotongan yang akan menentukan kepadatan dalam silo
-          Kecepatan memasukan bahan dalam silo
-          Kekedapan serta kerapatan silo

v Phase II
Setelah oksigen habis di konsumsi bakteri aerobic, maka phase dua ini di mulai, disinilah proses fermentasi dimulai, dengan dimulainya  tumbuh dan berkembangnya bakteri acetic – acid. Bakteri tersebut akan menyerap  karbohidrat dan menghasilkan acetic acid sebagai hasil ahirnya. Pertumbuhan acetic acid ini sangat diharapkan, karena disamping bermanfaat untk ternak ruminansia juga menurunkan  kadar pH yang sangat di perlukan pada phase berikutnya. Penurunan  kadar pH di dalam silo  di bawah 5.0, perkembangan bakteri acetic acid akan menurun dan ahirnya berhenti dan itu merupakan tanda berahirnya phase-2. Dalam fermentasi hijauan phase-2 ini berlangsung antara 24 s/d 72 jam. 

v Phase III
Makin menurunnya kadar pH akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan bakteri anaerob lainnya yang memproduksi latic acid. Maka pada phase ini latic acid akan bertambah terus.

v Phase IV
Dengan bertambahnya jumlah bakteri pada phase 3, maka  karbohidrat yang akan terurai menjadi  latic acid juga makin bertambah. Latic acid ini sangat di butuhkan dan memegang peranan paling penting dalam proses fermentasi. Untuk pengawetan yang efisien, produksinya harus mencapai 60% dari total organic acid dalam silase. Saat silase di konsumsi oleh ternak, latic acid akan di manfaatkan sebagai sumber energi ternak tersebut.
Phase 4 ini adalah phase yang paling lama saat ensiling, proses ini berjalan terus sampai kadar pH dari bahan hijauan yang di pergunakan turun terus, hingga mencapai kadar yang bisa menghentikan pertumbuhan segala macam bakteri, dan hijauan atau bahan baku  lainnya mulai terawetkan. Tidak akan ada lagi proses penguraian selama tidak ada udara/oksigen yang masuk atau di masukan.

v Phase V
Pencapaian final kadar pH tergantung dari jenis bahan baku yang di awetkan, dan juga kondisi saat di masukan dalam silo. Hijauan pada umumnya akan mencapai kadar pH 4,5, jagung  4.0. Kadar pH saja tidaklah merupakan indikasi dari baik buruknya proses fermentasi ini.
Hijauan yang mengandung kadar air di atas 70% akan mengalami proses yang berlainan pada phase 5 ini. Bukan bakteri yang memproduksi latic acid yang tumbuh dan berkembang, namun bakteri clostridia yang akan tumbuh dan berkembang. Bakteri anaerobic ini akan memproduksi butyric acid dan bukan latic acid, yang akan menyebabkan silase berasa asam. Kejadian ini berlangsung karena pH masih di atas 5.0 (Tonyu, 2008).

v Phase VI
Phase ini merupakan phase pengangkatan silage dari tempatnya /silo.
Proses yang terjadi dalam  6phase  

Phase I
Phase II
Phase III
Phase IV
Phase V
Phase VI
Umur Silase
0-2 hari
2-3 days
3-4 days
4-21 days
21 days-

lactic
Respirasi sel; menghasilkan 
CO2, panas danair
Produksi
acetic acid
dan lactic
acid
Pembetukan
acid


Pembentukan Lactic
acid


Penyimpanan Material


Pembusukan Aerobic
re-exposure
dengan  oxygen
Perubahan suhu **
69-90 F
90-84 F
84 F
84 F
84 F
84 F
Perubahan pH
6.5-6.0
6.0-5.0
5.0-4.0
4.0
4.0
4.0-7.0
Produksi yg di hasilkan

Acetic acid
dan lactic
acid bacteria
Lactic
acid
bacteria
Lactic
acid
bacteria

pembusukan
** Suhu atau temperatur sangat tergantung suhu ruangan. (Tonyu, 2008)

2.1.2        Pengolahan Jerami Padi dengan Memanfaatkan Mikroba
Kemajuan bioteknologi dengan memanfaatkan mikroba merupakan alternatif cara optimalisasi daur ulang limbah pertanian, dan teknologi starbio adalah salah satu produk bioteknologi tersebut. Starter mikroba atau starbio adalah probiotik hasil bioteknologi yang dibuat dari koloni alami mikroba rumen sapi dicampur tanah, akar rerumputan, daun serta dahan pohon tertentu. Koloni tersebut memiliki mikroba yang spesifik dengan fungsi yang berbeda-beda seperti mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik. (Mahardika, 2010)
Untuk meningkatkan kualitas limbah pertanian seperti jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia dapat digunakan starbio ternak yang dapat meningkatkan derajat fermentasi bahan organik terutama komponen serat sehingga menyediakan sumber energi yang lebih baik. Dengan fermentasi jerami padi dengan starbio menunjukkan peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak difermentasi, dimana kadar protein kasar mengalami peningkatan dan diikuti dengan penurunan kadar serat kasar.
Penggunaan starbio dalam fermentasi dapat menurunkan kadar dinding sel jerami padi. Hal ini memberikan indikasi bahwa selama fermentasi terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa jerami padi. Mikroba lignolitik dalam starbio membantu perombakan ikatan lignoselulosa sehingga selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim lignase. Fenomena ini terlihat dengan menurunnya kandungan selulosa dan lignin jerami padi yang difermentasi.
Menurunnya kadar lignin menunjukkan selama fermentasi terjadi penguraian ikatan lignin dan hemiselulosa. Lignin merupakan benteng pelindung fisik yang menghambat daya cerna enzim terhadap jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan hemiselulosa. Disamping itu fermentasi jerami padi dengan strarbio dapat melarutkan sebagian zat-zat makanan atau mineral-mineral yang sukar larut sehingga mengakibatkan meningkatnya kecernaan bahan kering dibanding jerami padi tanpa fermentasi.
Hal yang samakecernaan bahan organik juga mengalami peningkatan pada jerami padi yang difermentasi. Fenomena ini  memberi indikasi bahwa probiotik starbio dalam proses fermentasi mampu mencerna lignin dan zat-zat yang sukar larut yang terdapat dalam bahan organik.
Pelaksanaan fermentasi jerami padi dengan menggunakan starbio dan penambahan urea, terlebih dahulu dipersiapkan tempat fermentasi berupa naungan/tempat fermentasi (misalnya tiang dari bambu dan atap dari daun nipah). Prosedur pelaksanaan pengolahan jerami padi adalah
a.       Jerami padi ditumpuk 30 cm, kalau perlu diinjak-injak lalu ditaburi urea dan starbio masing-masing 0.6 %/berat jerami padi dan kemudian disiram air secukupnya mencapai kadar air 60 %, dengan tanda-tanda jerami padi diremas, apabila air tidak menetes tetapi tangan basah berarti kadar air mendekati 60 %,
b.      Tahapan point pertama diulangi hingga ketinggian mencapai ketinggian tertentu (misalnya dua meter),
c.       Tumpukan jerami padi dibiarkan selama 21 hari dan tidak perlu dibolak-balik,
d.      Setelah 21 hari jerami padi dibongkar lalu diangin-anginkan atau dikeringkan, dan
e.       Jerami padi diberikan pada ternak sapi atau dapat disimpan sebagi stok pakan. (Mahardika, 2010)

BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diamil kesimpulan, yaitu
1.      Dalam proses pembuatan antibiotika, mikroba berperan penting, adapun beberapa contoh mikroba, yaitu
2.      Mekanisme kerja mikroba dalam pembuatan antibiotika dapat terjadi melalui pemurnian dan pengekstrakan serta ada yang melalui 6 fase, contohnya penisilin
3.      Dalam proses pembuatan pakan ternak, juga dapat digunakan mikroba, contohnya silase serta pembuatan jerami.

2.      SARAN
Adapun saran yang dapat diambil dalam makalah ini adalah:
  1. Untuk penulis selanjutnya agar memperbaiki dan menggali kembali mengenai mikrobiologi industri, karena dianggap tulisan yang penulis buat masih jauh dari kata sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar