Laman

Minggu, 13 Mei 2012

EVOLUSI DAN AGAMA

Oleh: 
 Ahmad Fauzi                          (209341420894) 
Linda Tri Antika                     (209341417443)

Latar Belakang
Kata evolusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit). Sedangkan lawan katanya adalah kata revolusi, yaitu perubahan yang terjadi secara cepat, tiba-tiba (radikal) pada suatu sistem. Kata evolusi mulanya digunakan pertama kali oleh seorang filsuf Inggris, Herbert Spencer pada tahun 1850 melalui bukunya yang berjudul “Social Static” (Bertenz, 1975), sehingga kata evolusi pada mulanya tidak berkaitan dengan pembahasan di bidang biologi. Namun, saat ini, kata evolusi merupakan kata yang berkaitan erat dengan biologi, bahkan menjadi bahasan yang dianggap termasuk paling menarik dalam bidang biologi.
            Charles Darwin merupakan seorang yang disebut sebagai Bapak Evolusi dalam dunia biologi karena meskipun bukan dia yang pertama kali mengenalkan kata evolusi dalam dunia biologi, tetapi teorinya mengenai evolusi makhluk hiduplah yang paling dapat diterima bila dibandingkan dengan teori evolusi makhluk hidup yang dikemukakan oleh tokoh lain, semisal J. B. Lammarck. Dalam teorinya, Charles Darwin menyatakan bahwa evolusi organik terjadi dikarenakan peristiwa seleksi alam.
            Terlepas dari kata “evolusi”, sebenarnya jauh sebelum Darwin mempublikasikan teorinya melalui karyanya yang berjudul ”On The Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races” pada tahun 1859,  konsep seleksi alam dan adaptasi ternyata sudah diperkenalkan oleh ilmuwan muslim asal Irak, Al-Jahiz yang hidup pada tahun 781-869 M melalui bukunya yang berjudul “Kitab Al-Hayawan” (buku tentang kehidupan binatang). Dalam bukunya tersebut, Al-Jahiz mengemukakan teori struggle for existence (berjuang untuk tetap hidup) yang dapat dikatakan mirip dengan konsep survival of the fittest pada teori evolusi Darwin (Davies, 2008).
            Dalam perkembangannya, teori evolusi Darwin dianggap menentang ajaran agama. Teori evolusi bersama dengan teori penciptaan tata surya yang terjadi secara kebetulan dan teori “S” dipandang sebagai teori yang tidak menganggap adanya Tuhan, sehingga dalam perkembangannya tersebut, teori evolusi, khususnya yang dicetuskan oleh Darwin mendapat tantangan dari golongan agamawan. Untuk membahas lebih dalam permasalah tersebut, maka kami menyusun makalah ini. Makalah ini akan membahas hubungan evolusi biologi dengan agama.



Teori Evolusi Biologis
            Istilah evolusi biologis lebih mengarah kepada ide yang menjelaskan bahwa  makhluk hidup pertama merupakan hasil dari evolusi molekul anorganik. Asal-usul kehidupan berasal dari sintesis dan akumulasi monomer organik pada kondisi abiotik. Agregat molekul yang dihasilkan secara abiotik adalah protobion. Sel-sel hidup dapat berasal dari protobion. Protobion tak dapat melakukan reproduksi, namun dapat mempertahankan lingkungan kimia di dalamnya dan menunjukkanciri-ciri hidup lainnya yaitu metabolisme. Sedangkan teori evolusi itu sendiri menurut Widodo, dkk (2003) adalah teori yang menerangkan proses perubahan yang terjadi pada makhluk hidup. Teori Evolusi biologi sendiri adalah sebuah teori yang berupaya untuk menyelidiki penyebab (dan proses) terbentuknya keragaman spesies yang kita lihat saat ini. Evolusi berasumsi bahwa pada awalnya hanya terdapat satu atau sedikit spesies dimuka bumi milyaran tahun lalu.
Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin,namun sebenarnya evolusi telah berakar sejak zaman Aristoteles. Namun demikian, Darwinlah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Teori evolusi juga turut berkembang mengikuti waktu. Pada awalnya, Darwin menyatakan bahwa seleksi alam merupakan penyebab utama terjadinya evolusi, namun pandangan tersebut berubah setelah beberapa dekade. Pengembangan dan penyempurnaan Teori Seleksi Alam Darwin tersebut dikenal dengan Neo Darwinisme yang menjelaskan bahwa seleksi alam hanyalah berperan sebagai faktor penuntun yang menentukan arah perubahan yang terjadi pada makhluh hidup (Widodo, dkk., 2003).
Dalam karyanya yang berjudul ”On The Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races” pada tahun 1859, Darwin mengemukakan bahwa makhluk hidup yang ada saat ini berasal dari moyang yang sama dan mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Namun, dalam karyanya tersebut, Darwin tidak menjelaskan bagaimana makhluk pertama muncul di muka bumi. Penjelasan mengenai asal usul makhluh hidup di paragraf awal tadi adalah penjelasan dari ide yang dikemukakan oleh seoarang biologiwan asal Rusia, Alexander Oparin pada tahun 1930an.
Terlepas dari Teori Evolusi Darwin, sebenarnya jauh sebelum Darwin mencetuskan teorinya, ada tokoh lain yang telah mencetuskan teori yang mirip dengan evolusi, seleksi alam, dan adaptasi. Tokoh tersebut adalah Al-Jahiz. Al-Jahiz merupakan seorang pakar biologi Irak yang hidup pada abad ke-9. Sederet teori penting dalam biologi itu dipaparkannya dalam Kitab Al-Hayawan (Buku tentang Binatang) (Davies, 2008). Dalam karyanya yang terdiri dari tujuh volume itu, Al-Jahiz  menguraikan dan mengupas lebih dari 350 jenis binatang. Dalam karyanya itulah, Al-Jahiz menguraikan teori evolusi secara umum.  Teori itu didasarkan pada pengaruh lingkungan terhadap binatang. Selain itu, ia juga sudah memikirkan dampak lingkungan terhadap keberlangsungan hidup binatang. Inilah cikal bakal teori Struggle for Existence. Pada buku itu pula, al-Jahiz menguraikan ide seleksi alam dan rantai makanan. ‘’Binatang terlibat dalam sebuah perjuangan untuk mempertahankan hidupnya; mencari makanan, menghindar jadi mangsa, dan ber kembang biak. Faktor-faktor lingkungan memengaruhi organisme untuk mengembangkan karakteristik baru guna menjamin tetap bertahan hidup, kemudian bertransformasi menjadi spesies baru,’‘ demikian bunyi teori Stuggle for Existence yang tertulis dalam Kitab al-Hayawan (Republika, 2009).
Dalam era saat ini, ada tiga kelompok manusia yang terlibat dengan teori evolusi, yaitu
a.           Kelompok yang pro evolusi dan tidak mempercayai adanya kuasa Tuhan
b.          Kelompok menolak dengan keras teori evolusi dengan latar agama (kreasonis)
c.           Kelompok yang menerima teori evolusi dan percaya terhadap kuasa Tuhan dibalik kejadian evolusi.

 Penyebab Teori Evolusi Sulit Ditermia oleh Beberapa Kaum Beragama
Ajaran agama mulai menolak teori evolusi yang dibawa Darwin hanya karena Darwin mengatakan kehidupan muncul dengan sendirinya melalui kecelakaan atau kebetulan, padahal inti dari teori evolusi adalah perubahan suatu organisme secara bertahap. Kontroversi teori evolusi adalah karena teori dianggap bertentangan dengan agama. Evolusi dianggap akan mengesampingkan atau bahkan mereduksi ajaran agama. Beberapa orang dengan dasar agama ingin menjatuhkan teori evolusi. Padahal mereka sendiri belum paham dengan benar atau bahkan belum mempelajari secara keseluruhan perkembangan teori evolusi. Mereka menerbitkan buku dan film yang dapat mempengaruhi pembaca dan penonton film tersebut untuk membenci teori evolusi dan menancapkan keyakinan bahwa orang beragama tidak boleh menerima evolusi karena dengan menerima kebenaran evolusi, mereka dianggap tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Dengan pengemasan bahasa yang menarik dan mudah dicerna, saat ini banyak masyarakat dunia yang terpengaruh oleh karya-karya orang-orang tersebut.
Beberapa poin yang mereka jadikan poin untuk menyerang teori evolusi dalam karya mereka menurut kami, antara lain adalah mereka menyatakan evolusi tidak pernah di observasi secara langsung, evolusi melanggar Hukum Kedua Termodinamika, tidak ada fosil transisi, teori evolusi menyatakan bahwa kehidupan asal dan proses evolusi terjadi oleh kejadian yang acak, serta mereka menyatakan evolusi hanyalah sebuah teori, dan hal tersebut tidak pernah dibuktikan. Padahal kelima poin tersebut adalah pemahaman yang salah (miskonsepsi) mengenai teori evolusi yang sangat perlu diluruskan agar miskonsepsi tentang teori evolusi tidak semakin meluas. Namun, sayangnya sudah banyak masyarakat yang tidak menyadari miskonsepsi tersebut.
Biologiwan mendefinisikan evolusi adalah perubahan gen pool suatu populasi. Satu contoh adalah suatu serangga/hama yang berubah menjadi resisten terhadap suatu pestisida setelah manusia menggunakan pestisida tersebut selama beberapa tahun. Hampir semua kreasonis mengetahui fakta evolusi tersebut. Munculnya spesies baru dari proses evolusi sebanarnya sudah diobservasi/diamati oleh beberapa ilmuwan, baik dalam laboratorium maupun di alam. Andai para ilmuwan tidak pernah mengamati munculnya spesies secara evolusi dengan pengamatan langsung, masihlah salah bila dikatakn evolusi itu tidak pernah teramati. Sesuatu dikatakan bukti bukanlah hanya sebatas apa yang dilihat dan diamati mata manusia secara langsung. Bukti evolusi pun dapat dilihat dari temuan fosil, perbandingan anatomi, sekuens genetic, distribusi geografis makhluk hidup, dan lain sebagainya.
Poin evolusi hanyalah sebuah teori dan belum pernah dibuktikan merupakan poin yang sering disuarakan oleh para penentang teori evolusi. Padahal, seperti yang telah kita pelajari di bangku kuliah, seseorang tidak dengan mudah menciptakan suatu teori. Teori merupakan kumpulan dari beberapa prinsip, yang mana prinsip merupakan kumpulan dari beberapa konsep, dan konsep sendiri kumpulan dari beberapa fakta. Sehingga teori pastinya mengandung fakta yang terbukti kebenarannya. Dan yang lebih penting di sini adalah teori evolusi merupakan satu-satunya teori kehidupan yang telah lolos banyak uji ilmiah hingga saat ini.
                 Beberapa poin lain, seperti evolusi melanggar hokum termodinamika, ataupun tidak ada fosil transisi sebenarnya juga merupakan kesalahan konsep yang perlu diluruskan. Munculnya pernyataan teori evolusi melanggar hokum kedua termodinamika karena kesalahan pengertian mereka mengenai makna hokum kedua termodinamika. Sedangkan mengenai fosil transisi, sebenarnya banyak temuan fosil transisi yang sudah dipublikasikan di forum ilmiah. Namun, mereka mungkin kurang mengikuti perkembangan penuman fosil-fosil baru yang ditemukan oleh para arkeolog. Mungkin saja, mereka juga salah mengartikan pengertian fosil transisi. Mereka menganggap fosil transisi harus memberikan gambaran fosil yang bentuknya di antara dua spesies yang berbeda atau percampuran antara dua spesies. Padahal, perubahan makhluk hdup yang dipelajari dalam teori evolusi adalah perubahan yang terjadi dikit demi sedikit, bukanlah perubahan radikal yang dapat mengakibtkan suatu spesies menghasilkan keturunan yang bentuknya terlihat jelas berbeda dengannya.

Hubungan Teori Evolusi dengan Islam
  Sebagian umat Islam saat ini banyak yang menolak dengan keras teori evoulusi. Hal tersebut terjadi karena kesalahpahaman mereka tentang teori evolusi. Salah satu kesalahpahaman mereka tentang teori evolusi adalah dengan menyatakan teori evolusi mempercayai bahwa manusia mempunyai nenek moyang kera. Hal tersebut adalah satu kesalah yang fatal karena Darwin sendiri tidak pernah mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Beberapa dari mereka menyalahkan Darwin dan menganggap Darwin sebagai biangnya ateisme, padahal Darwin bukanlah ateisme, melainkan Darwin adalah seorang agnostik.
  Untuk menjadi muslim bukanlah berarti harus menolak Darwin. Fakta menarik dari isu evolusi adalah  bahwa justru Islam lah yang telah lama membicarakan teori evolusi jauh hari sebelum Darwin dilahirkan. Al-Jahiz, Ibnu Khladun, dan Ibnu Miskawaih merupakan segelintir dari sekian banyak ilmuwan muslim yang telah mengungkapkan tentang makhluk yang terus berevolusi jauh sebelum teori evolusi Darwin muncul. 
Abu Utsman Amr atau Al-Jahiz, seorang ilmuwan muslim abad 9, dalam Kitab Al-Hayawan (buku hewan) telah menjelaskan teori survival sebagai dasar dari mekanisme evolusi dan seleksi alam. Al-Jahiz berpendapat bahwa suatu spesies akan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda dan akhirnya melahirkan spesies baru. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan punah, dan yang beradaptasi akan sukses melanjutkan keturunanannya.
  Ibnu Miskawayh, seorang ilmuwan muslim di abad 10, bahkan menjelaskan teori evolusi dengan sangat mendetail dan mengkombinasikannya dengan metafisika sebagai sebuah siklus "Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roojiun/ Sesungguhnya kita dari Allah dan kepada-Nya kita kembali". Dari Allah, bahwa mula-mula Allah menciptakan zat, kemudian zat itu berevolusi menjadi gas, gas berevolusi menjadi air, air berevolusi menjadi mineral, mineral berevolusi menjadi tumbuhan (teori ini berdasarkan pada surat Nuh), tumbuhan berevolusi menjadi hewan, hewan berevolusi menjadi manusia, manusia berevolusi menjadi nabi, nabi berevolusi menjadi malaikat, dan malaikat akhirnya kembali kepada Allah. Pandangan mengenai evolusi biologi yang berlanjut ke evolusi spiritual ini begitu populer di abad pertengahan.
Ibnu Khaldun dalam kitab Muqadimmah yang sangat populer baik di kalangan muslim maupun barat juga menjesalkan mengenai evolusi. Berawal dari mineral yang berevolusi menjadi tumbuhan, kemudian hewan, dan manusia. Ibnu Khaldun menyebut secara eksplisit evolusi manusia dari makhluk yang lebih rendah yaitu sejenis kera (jadi yang mengatakan manusia berasal dari kera bukanlah darwin tapi ilmuan muslim masa lalu). Jika evolusi bertentangan dengan Al-Quran, apakah tidak aneh kalau para ilmuwan muslim tersebut masih beragama Islam pada saat itu?
  
Sikap Kita terhadap Isu Teori Evolusi dengan Agama
Seseorang tidak dapat dikatakan ateis bila dia menerima adanya evolusi.  Ada prinsip dasar yang membedakan agama dengan evolusi. Agama adalah menyangkut kepercayaan yang dapat dipercayai atau tidak dan diyakini atau tidak, sedangkan evolusi berhubungan dengan sains, sesuatu yang dapat diterima dengan logis atau tidak. Sains dapat diuji secara ilmiah dan hasilnya harus dapat diprediksi. Sedangkan agama meyakini adanya kekuatan supranatural yang tidak dapat diprediksi.
  Evolusi bukanlah agama. Agama bersifat statis dan sains tidak bersifat dogmatis. Sifat agama pun adalah mengklaim kebenaran mutlak yang tentu saja tidak ada dalam sains. Sains bersifat empiris, masalahnya bukan dipercaya atau tidak pada suatu teori, termasuk teori evolusi, tetapi apakah teori tersebut dapat diterima sebagai suatu yang logis dan sesuai dengan fakta yang dapat diamati atau tidak. Dalam sains, sesuatu dianggap ada kalai sesuatu itu dapat diamati dengan pancaindra. Dengan prinsip tersebut, ruh, jin, bahkan Tuhan dianggap tidak ada karena tidak dapat diamati menggunakan pancaindera.
  Tujuan sains adalah untuk menjelaskan suatu gejala alam secara logis berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh manusia. Teori evolusi hingga saat ini dapat menjelaskan dengan paling tepat gejala alam mengenai keanekaragaman makhluk hidup dan adanya fosil-fosil yang ditemukan dengan perkiraan umur yang berbeda. Hal yang menarik dalam sains dan yang membedakannya dengan agama adalah kebenaran dalam sains bersifat relarif karena sains merupakan sesuatu yang berkembang (dinamis, bukannya statis). Dalam hal teori evolusi, bisa saja penemuan satu saja fosil baru dapat menumbangkan teori ini.
Evolusi tidak menyangkal tentang keberadaan Tuhan. Lebih tepatnya, tidak ada alasan untuk mempercayai Tuhan tidak berperan dalam proses evolusi. Tidak sedikit ilmuwan percaya terhadap adanya Tuhan dan menerima kebenaran teori evolusi. Evolusi dapat dianggap sebagai cara Tuhan dalam menciptakan keanekaragaman makhluk hidup yang ada saat ini.

Pandangan Darwin terhadap Adanya Tuhan
Dalam Widodo, dkk (2003) disebutkan bahwa Darwin tetap mengakui Tuhan yang menciptakan makhluk-makhluk hidup. Kalimat yang paling akhir di bukunya “The Origin of Spesies by Means of Natural Selection” (1859) adalah:
“There is grandeur in this view of life, with its several power, having been originally breathed by the Creator into a few forms or into one, and that, whilst the planet has gone cycling on according to the fixed law or gravity, form so simple a beginning endless most beautiful and most wonderful have been and are being evolved.”
Dan dalam bab yang berjudul “Kehidupan dan Pekerjaan Darwin” dari buku K.F Vaas “Darwinisme dan Ajaran Evolusi” (1956) dapat kita jumpai kutipan dari kalimat-kalimat Darwin yang artinya sebagai berikut:
“Adalah sesuatu maksud yang sama agungnya dari Tuhan Yang Maha Esa asli yang sedikit saja, yang telah diciptakan olehNya, sudah dapat berkembang terus, daripada untuk mengira bahwa harus ada tindakan-tindakan penciptaan yang baru untuk mengisi lowongan-lowongan yang masih terbuka di barisan makhluk hidup yang terjadi karena hukum-hukum Tuhan” (Widodo, dkk, 2003).
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Darwin mengakui bahwa segala yang ada di bumi telah diciptakan oleh Sang Pencipta menjadi beberapa bentuk atau bentuk tunggal. Evolusi tidak mengajak orang menjadi materialistik dan tidak perlu seseorang menjadi lemah imannya setelah mempelajari evolusi.

Pandangan Islam terhadap Evolusi
Dalam keyakinan agama, keseluruhan yang ada digolongkan atas: Khalik, yakni Allah yang menjadikan (menciptakan), dan makhluk, yaitu segala yang dijadikan (diciptakan) oleh allah. Dengan demikian, segala macam makhluk, baik makhluk hidup maupun makhluk tak hidup (benda mati) terjadi atas kehendak Allah. Terjadinya jenis-jenis makhluk hidup secara evolusi pun atas kehendak Allah (Widodo,dkk, 2003).
Mengenai kejadian makhluk-makhluk hidup secara evolusi atas kehendak Allah, bisa timbul pertanyaan : Karena Tuhan itu Maha Kuasa, mengapa Tuhan tidak menciptakan jenis-jenis makhluk hidup itu secara langsung? Mengapa harus melewati waktu yang lama? (Widodo, dkk, 2003).
Dalam keyakinan agama, Tuhan itu Maha Esa. Tidak hanya Dzat-Nya, tetapi juga Sifat-Nya, Cara-Nya menciptakan. Tuhan menciptakan tidak seperti cara manusia bekerja, sebab Tuhan Maha Kuasa, kuasa menciptakan segala sesuatu sesuai dengan keagunaganNya. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai kuasa Allah menciptakan segala sesuatu di alam.

 
Artinya: “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (AQS. Al-Hasyr: 24).


 
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak” (AQS. Ar-Ruum: 20).

Hubungan antara Adam dan Homo sapiens
Dalam Widodo, dkk (2003) dijelaskan bahwa Homo sapiens berasal dari perkembangan makhluk hidup dengan jenis yang bukan Homo sapiens yang sebelumnya juga berasal dari jenis makhluk hidup yang lebih rendah lagi tingkatannya. Secara biologis, Homo sapiens masih memiliki struktur hewan dan mewarisi sejumlah instink serupa yang terdapat pada hewan. Tetapi Homo sapiens adalah satu-satunya makhluk hidup yang istimewa, memiliki otak (brain) yang khas bersifat manusia sempurna. Ada perkembangan yang tiba-tiba melonjak dalam kemampuan intelek yang dimiliki Homo sapiens disbanding dengan jenis-jenis makhluk hidup sebelumnya, seolah-olah perkembangan evolusi biologis, yaitu evolusi fisik manusia ditempatkan dalam tingkatan kedua dibandingkan perkembangan inteleknya (Widodo, dkk, 2003).
Namun, dalam agama tidak mengenal istilah Homo sapiens dalam kitan sucinya karena istilah ini baru muncul dalam abad 18 hasil pikiran untuk diberikan pada kelompok manusia tertentu dalam pembicaraan ilmiah. Dalam biologi, khususnya taksonomi atau sistematik, yaitu ilmu yang menggolong-golongkan makhluk hidup, maka suatu jenis makhluk hidup, maka suatu jenis makhluk hidup paling sedikit diberi nama dengan dua kata latin, misalnya Homo sapiens. Pemberian nama makhluk hidup dengan dua kata (binominal nomenclature) tersebut gunanya untuk memudahkan dalam mempelajari atau menggolongkan makhluk hidup. Berdasarkan hal ini maka istilah Adam yang terdiri hanya dari satu kata tidak dipergunakan dalam taksonomi (Widodo, dkk, 2003).
Adam adalah nama yang diberikan kepada manusia pertama yang diciptakan oleh Allah, kemudian menurunkan semua manusia di zaman ini. Adam adalah makhluk (manusia) yang bisa berfikir taraf konsepsi, mempunyai kemampuan berfikir abstrak, dan dapat dibebani tanggung jawab moral dan spiritual, sehingga Adam dapat menerima ajaran dari Tuhan.
Teori evolusi biologis mencoba menjelaskan bahwa dalam perkembangan evolusi makhluk hidup pada suatu ketika tercapai makhluk hidup yang mempunyai ciri-ciri yang dimiliki Adam. Makhluk hidup demikian oleh ilmu pengetahuan diberi nama Homo sapiens. Jadi, dapat diartikan bahwa Adam adalah Homo sapiens yang pertama, dan manusia di zaman ini dapat disebut keturunan Adam atau termasuk jenis Homo sapiens.
Dalam Al-Qur’an Surat Nuh ayat 14 :
 
Artinya : Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian”. (AQS. Nuh: 14).

Ayat di atas ditafsirkan oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs. (1967) di dalam Tafsir Qur’an yang disusun keduanya bahwa Allah menciptakan manusia melalui beberapa tingkatan pertumbuhannya, mulai dari tanah, air mani, segumpal daging, lahir sebagai bayi, kanak-kanak, meningkat umur dewasa dan sampai kepada usia yang sangat tua dan seterusnya meninggal dunia dan dibangkitkan kembali. Juga berarti menurut keduanya bahwa hidup manusia dari zaman ke zaman senantiasa berjalan sepanjang evolusinya.

Dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun: 12-14
 
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”.


 
Artinya : “Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)”.


 
Artinya : “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”.


 
Artinya: “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati”.


 
Artinya: “Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat”.
Ayat-ayat di atas menegaskan Kemahakuasaan Allah. Jikalau Allah menghendaki, Allah kuasa untuk menjadikan jenis-jenis makhluk hidup secara penciptaan khusus (Special creation). Tetapi juga karena Allah Maha Kuasa dan kalau dikehendaki-Nya, maka kuasa juga Allah untuk menciptakan jenis makhluk hidup secara evolusi.
            Berhubungan dengan polemik apakah Adam merupakan manusia pertama atau bukan dan apakah sebelum Adam ada makhluk serupa Adam yang diciptakan oleh Allah atau tidak, tidak terlalui dijelaskan secara jelas oleh Al-Quran. Namun, sebenarnya, bila diperhatikan, pada surat Al-Baqarah, kita dapat sedikit merenungkan kedudukan Adam sebagai manusia pertama.

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".” (Al-Baqarah: 30)

Ayat-ayat tersebut memunculkan wacana bahwa seolah-olah malaikat mempunyai pengalaman mengamat-amati sepak terjang sang khalifah. Tampaknya malaikat khawatir akan masa depan khalifah baru yang bernama Adam itu, seandainya perilaku destruktif akan menghancurkan tatanan taqdis dan tasbih malaikat. Kita hanya bisa menduga-duga kategori khalifah yang seperti apakah yang telah (dan akan) melakukan perbuatan tercela itu. Tidak ada keterangan yang jelas perihal khalifah versi malaikat yang dimaksud. Tampaknya Q.s. al-Baqarah: 30 menghendaki bahwa penciptaan khalifah berikutnya adalah untuk mereformasi dan merehabilitasi “Adam-Adam” sebelumnya. Dengan kata lain, Allah hendak mengganti khalifah perusak yang tanpa tatanan hukum Allah itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak keturunannya kelak yang berlandaskan tatanan hukum Allah.
Ada riwayat yang mengasumsikan bahwa iblis atau jin sebagai khalifah sebelum Adam. Qatadah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menduga, bahwa khalifah yang dimaksud adalah khalifah dari golongan jin yang diduga berbuat kerusakan. Asumsi ini berdasarkan analisis ayat yang menerangkan bahwa jauh sebelum manusia diciptakan, Allah telah menciptakan jin (Ibn-Katsir, Qishashul Anbiya’, hlm. 2). Benar bahwa jin (dan malaikat) diciptakan sebelum Adam berdasarkan Q.s. al-Hijr: 26-27, namun apakah mereka, khususnya para jin berperan sebagai khalifah di muka bumi? Pendapat para sahabat tersebut tampaknya hanyalah praduga saja. Lagi pula tidaklah mungkin bumi yang kasat mata ini diwariskan kepada para jin yang tidak kasat mata. Bentuk pengelolaan semacam apakah seandainya para jin yang berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini.
            Khalifah sebelum Adam dan khalifah yang hendak diciptakan Allah ini adalah khalifah yang benar-benar berasal dari golongan manusia. Perhatikan ayat berikut ini: Dan Dialah yang telah menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat ‘iqab-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (Q.S. Al-An’am: 165). Ayat tersebut kembali menegaskan bahwa sesungguhnya Allah adalah pencipta para khalifah di muka bumi ini.
Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis tentang ragam manusia sebelum Homo Sapiens, tampaknya selaras dengan karakter “destruktif” sebagai yang digambarkan malaikat. Namun, bukankah karakter hominid memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai struktur fisik yang hampir mirip manusia (kalau tidak ingin dikatakan hampir mirip kera). Mereka tercipta dengan volume otak yang kecil yang dengan sendirinya perilakunya pun cenderung tanpa tatanan manusiawi atau bersifat kebinatangan sehingga mereka disebut sebagai perusak yang mungkin itulah yang dikhawatirkan oleh malaykat. Mereka tidak layak disebut sebagai khalifah. Sementara itu, khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai “duta” Allah untuk mengelola bumi ini.

1 komentar: