Laman

Jumat, 07 Oktober 2011

TEORI BELAJAR HUMANISME

A. Sejarah Teori Humanisme
Humanisme muncul pada zaman Renaissance (± 1450-1600). Humanisme sendiri lahir di Italia. Pusatnya terletak di Florence. Yang menjadi pelopornya adalah Petrarca dan Boccacio. Pengikutnya disebut dengan kaum Humanist, karena mereka menuju ke arah tercapainya peradaban lama (humanitas) (Djumhur, 1959).

B. Ciri Teori Belajar Humanisme
Ciri humanisme adalah Tuhan sebagai pusat norma tertinggi ditinggalkan orang. Cita-cita manusia dicari pada manusia sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan, keindahan, dicari dan didapatkan pada manusia pula.
Ciri-ciri khusus teori belajar humanisme :
1. Mementingkan manusia sebagai pribadi
2. Mementingkan kebulatan pribadi
3. Mementingkan peranan kognitif dan afektif
4. Mengutamakan terjadinya aktualisasi diri dan self concept
5. Mementingkan persepsual subjektif yang dimiliki tiap individu
6. Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah laku sendiri
7. Mengutamakan insight (pengertian) (Suprayogi, 2005).

Gambar 1. Aktualisasi Diri
(Sumber: Tabloid Penabur Jakarta No. 25 THN. VII Sembilan Peristiwa Belajar Gagne Edisi Maret - April 2009 hal.9 oleh Yuli Kwartolo)

C. Tujuan Pendidikan Humanisme
Tujuan pendidikan humanisme sendiri diarahkan pada pembentukan manusia berani, bebas, dan gembira. Manusia berani berarti: manusia yang percaya kepada diri sendiri bukan taat kepada kekuasaan Tuhan. Berani pula untuk memperoleh kemashyuran, yang telah dicita-citakan oleh ahli-ahli filsafah pada Zaman Yunani dan Romawi. Manusia bebas, artinya lepas dari ikatan gereja dan tradisi, berkembang selaras, individualistis, bukan manusia kolektivitas dan terikat seperti pada abad pertengahan. Manusia gembira menunjukkan dirinya kepada kenikmatan duniawi, bukan kepada keakhiratan seperti pada abad pertengahan (Djumhur, 1959).
Selain tujuan yang disebutkan di atas, humanism mempunyai tujuan untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya (Afif, 2010).
Tujuan utama pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, dengan cara membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.

D. Tokoh Teori Humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanisme secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow, dan Carl Rogers.
a. Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967), mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku peserta didik dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan peserta didik yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa peserta didik untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

b. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
1. Suatu usaha yang positif untuk berkembang
2. Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar peserta didik belum terpenuhi.



c. Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. Experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan peserta didik. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan peserta didik secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh peserta didik sendiri, dan adanya efek yang membekas pada peserta didik.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Peserta didik tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Peserta didik akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanisme yang penting diantaranya ialah :
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan peserta didik
2. Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik
4. Menghargai peserta didik
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari peserta didik)
7. Tersenyum pada peserta didik

E. Implikasi Teori Belajar Humanistik
Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas si fasilitator. Guru/ pendidik merupakan fasilitator, pembimbing yang menjadi mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah pedagogik pembebasan (Tilaar, 2000:44), ialah pedagogik yang memberdayakan peserta didik dalam rangka membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Dalam koteks ini, pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasi manusia.
Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Sekaitan dengan itu, proses pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan agar potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan fitrahnya, peserta didik dapat menyumbangkan kemampuannya untuk pengembangan dirinya, pengembangan masyarakat, dan seterusnya untuk negaranya, serta kehidupan umat manusia pada umumnya. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.



F. Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Peserta Didik
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.
3. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri
4. Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5. Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestapeserta didik
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

G. STRATEGI PEMBELAJARAN NILAI YANG HUMANIS
Penggunaan strategi pembelajaran untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan /atau kebangsaan, pemilihan materi pembelajaran supaya dipusatkan pada suatu rangkaian masalah-masalah kemanusiaan yang harus didiskusikan bersama antara guru dan siswa. Masalah-masalah tersebut dipilih untuk menimbulkan konflik-konflik kognitif, yakni rasa tidak puas mengenai apa yang benar dan menimbulkan perbedaan pendapat yang merangsang aktifitas berfikir di antara siswa. Guru menciptakan diskusi di antara siswa pada tingkat kemampuan yang berbeda. Guru mendukung dan menjelaskan argumen-argumen yang dikemukakan oleh siswa, kemudian menjelaskan argumentasi yang berada satu tahap lebih baik. Guru menantang dengan menggunakan situasi-situasi baru dan menjelaskan semua argumen dari satu tahap yang melampaui tahap sebelumnya, demikian seterusnya.
Di Sekolah, pendekatan humanisme menuntut terciptanya iklim pembelajaran yang menghormati dan menjunjung persamaan hak, peraturan yang menjamin bahwa setiap siswa tanpa diskriminasi memiliki akses ke jaminan hukum yang sama dan diperlakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, ada upaya terarah pada pencapaian keadilan sosial, solidaritas bagi anggotaanggota masyarakat sekolah yang paling lemah. Dengan ungkapan lain, institusi pendidikan yang humanis memiliki kerangka aturan serta konstitusional yang inklusif, yang tidak berdasarkan pada pandangan satu golongan atau kelompok saja, melainkan yang dapat diterima oleh semua anggota dari golongan atau kelompok manapun sebagai anggota institusi, sehingga mereka merasa sejahtera tanpa takut terancam identitas dan kekhasan masing-masing.
Guru yang humanis memiliki sikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, melihat berbagai kemungkinan. Bersikap positif terhadap siswa, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan siswa.
Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan siswa walaupun ia sendiri kurang menyetujuinya, serta mampu melihat yang positif di balik perbedaan. Pendidikan nilai yang humanis akan tercipta jika sekolah memfasilitasi tindakan-tindakan kemanusiaan secara nyata bagi seluruh warganya. Program ini dapat dilakukan secara terjadwal, misalnya dalam semester, bulanan, maupun mingguan.
Tercapainya misi pendidikan demikian berkaitan erat dengan kurikulum, penyediaan sarana, buku teks, media/sumber belajar dan pendekatan pembelajaran. Kurikulum formal dijabarkan ke dalam kurikulum instruksional berupa seperangkat skenario pembelajaran pada jam-jam pertemuan sebagai bentuk implementasi kurikulum. Interaksi pembelajaran yang tergelar dalam sesi-sesi pembelajaran sebagai kurikulum eksperiensial berkaitan dengan apa yang dikerjakan guru, apa yang dikerjakan siswa, dan bagaimana interaksi keduanya. Pengalaman belajar tidak sebatas mengacu pada GBPP, namun lebih pada proses keterbentukan berbagai pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang tersurat dan tersirat sebagai tujuan utuh pendidikan (R. Joni, 2007). Perspektif perkembangan siswa penting sebagai kerangka pikir pembelajaran (developmentally appropriate practice) (Gardner, 1995; R. Joni, 2007).
Untuk itu, pembelajaran semestinya dilakukan sesuai dengan taraf perkembangan siswa dengan menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik. Strategi pembelajaran integrated learning, cooperative learning, pembelajaran berpijak pada konsep awal siswa, melalui penilaian portofolio, melakukan refleksi, semua ini sangat dianjurkan dalam strategi pembelajaran yang humanis. Pembelajaran demikian disamping mampu mencapai tujuan pembelajaran (instructional effects), tujuan ikutan (nurturants effects) yang berupa pengembangan nilai juga dapat dicapai (Joyce & Weil, 1992).

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu & Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta:Rineka Cipta
Joyce, B. and Weil. 1992. Model of Teaching. Englewoods Cliffs. Prentice Hall. Inc.
Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Jogja: Penerbit Andi
Natawidjaya, Rochman & Moein Moesa. 1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Depdikbud
Pidarta, Made. 2008. Landasan Kependidikan. Jakarta:Rineka Cipta
Sugihartono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jogja: UNY Press.
Tilaar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, HAR. 2000. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar