Arah sepasang mata itu menuju sudut
kamar dengan sebuah lilin menyala di sana. Lampu kamar sengaja dimatikan, ada
dugaan bahwa terang membuat senang tapi seringkali senang itu tidak membuat
bahagia. Indah sekali.
“Mengapa orang-orang di desa ini menganggap
Lia pintar, baik, sopan, dan patuh, Ayah? Padahal Lia tidak seperti yang mereka
katakan”. Tanyanya.
“Ya biarkan saja, disyukuri”,
jawab laki-laki setengah baya itu tanpa menoleh. Menaikkan kacamata, tampak
sedang menjumlahkan angka dengan kalkulator dan menulisnya.
“Emm.. Ayah, mengapa sikap Ayah padaku
masih sama seperti Lia kecil dulu? Mengapa Ayah tidak pernah marah? Bukankah Lia
sudah dewasa?”. Mendekat, berdiri, dan memijit dari belakang pundak sosok
yang sedang duduk tenang itu.
“Untuk apa memarahi orang yang tidak bersalah, Nak?”. Melanjutkan menulis.
“Untuk apa memarahi orang yang tidak bersalah, Nak?”. Melanjutkan menulis.
Mendengar jawaban itu membuatnya
tersenyum. Lantas ia berhenti memijit, memeluk pundak Ayahnya, menyandarkan
kepalanya di sana, dan dengan lirih kembali bertanya sambil tersenyum, “Maaf
Ayah, apakah semua laki-laki mudah jatuh cinta?”.
Pertanyaan itu mendiamkan tangan
yang sedang menekan tombol kalkulator. Sebagai seorang Ayah, tampaknya semua
bisa dimengerti dari pertanyaan dan mata putrinya malam itu. Sambil tersenyum,
ia melanjutkan menghitung, menulis, dan memilih untuk tidak menjawab.
Setelah ditunggu beberapa saat,
ternyata Ayahnya tetap sibuk menulis. Dalam hatinya, ia menyesal dan sangat
malu akan pertanyaannya. Tidak ada pilihan lain selain mengalihkan pembicaraan.
Ia melanjutkan memijit pundak Ayahnya.
“Ayah tahu tidak? Hipertensi bisa
disebabkan karena ada gangguan mekanisme Natium-Kalium di dalam tubuh. Jadi,
Ayah hindari makanan yang asin-asin ya. Em lupa, Ayah juga harus menghindari
minum obat tertentu, eemmm Paracetamol, Antidepresant, Decogestant. Sebagai
alternatif, Ayah bisa minum air jeruk nipis dan madu atau minum air hangat
secara rutin. Oya, kata Ibu, kemarin Ayah makan daging sapi ya? Ya sudah tidak
apa-apa, yang penting jangan banyak-banyak. Em, tapi tiap pagi sehabis subuh
tetap rutin jogging kan, Yah?”.
Sangat
panjang kalimat yang keluar jika itu menyangkut kesehatan Ayahnya yang punya
tekanan darah tinggi dan kolesterol berlebih.
“Lia
buatkan air jeruk nipis hangat campur madu sekarang, Ayah mau?”.
“Siapa
laki-laki itu, Nak? Apa Ayah kenal?”. Tanya Ayahnya tiba-tiba.
Ia
terkejut dengan pertanyaan Ayahnya. “Maaf Ayah. Maafkan Lia”.
“Ayah
tanya, apa Ayah kenal?”. Tanyanya kembali, namun tetap dengan suara yang
tenang.
“Belum.
Ayah belum kenal”.
“Kalau
begitu kenalkan pada Ayah”.
“Tapi
Ayah, Lia hanya bersahabat, tidak lebih. Lia sudah cerita pada Ibu. Kata Ibu
tidak apa-apa kalau hanya bersahabat saja dengan dia”. Jelasnya sambil
memeluk pundak Ayahnya kembali. Ia ingat besok harus kembali ke kota rantau dan
malam ini ingin menghidupkan waktu dengan keluarganya.
Tanpa
menjawab lagi, Ayahnya melanjutkan menulis. Ia kenal betul dengan putrinya. Ia
sangat mengerti sejak kecil putrinya telah ia bentuk menjadi seorang guru, sama
seperti dirinya. Tiap hari sepulang sekolah dasar, putrinya selalu mengundang
anak-anak kecil di desanya untuk belajar membaca dan berhitung. Ia selalu
mengintip di balik jendela saat putrinya berusaha keras membuat muridnya
mengerti cara menjumlahkan angka dengan teknik susun. Jika semua murid
mengerti, ia akan segera mengambil permen di sakunya lantas membagikan pada
semua muridnya. Malam harinya, ia pasti menceritakan tingkah muridnya pada Ayah
dan Ibunya. Sejak kecil pula, putrinya tidak biasa
dan tidak mungkin menyembunyikan apapun pada keluarga, terutama Ayahnya. Malam
ini, Ayahnya sangat mengerti bahwa putrinya telah jatuh cinta.
Beberapa
tahun berlalu, cinta semakin tumbuh dalam hatinya, apalagi setelah ia selalu diyakinkan
bahwa laki-laki itu sangat mencintainya dan akan menerima dia apa adanya. Ia
sadar bahwa sebenarnya hubungan itu lebih dari sahabat. Hingga suatu saat ia
kembali pada Ayahnya.
“Mengapa sebagian besar orang di
desa ini masih menganggap Lia pintar, baik, sopan, dan patuh, Ayah? Ayah kan
tahu sebenarnya Lia tidak seperti yang mereka katakan”. Tanyanya.
“Ya didengarkan saja, Nak. Tapi jangan
sekali-kali sombong karena pujian itu. Cukup bersyukur”, jawab Ayahnya
tanpa menoleh. Sejenak menaikkan kacamata, tampak sedang mengetik dengan laptop
miliknya.
“Oh ya, kata Ibu, Ayah
ditunjuk langsung menjadi kepala sekolah oleh Dinas Pendidikan. Mengapa Ayah menolak?
Bukankah itu bagus?”. Tanyanya heran, sambil memijit pundak Ayahnya. Kepala
sekolah adalah kedudukan tertinggi, dan harus memenuhi kelayakan dan
persiapan-persiapan tertentu. Kini, Ayahnya mendapat kepercayaan langsung dari
pemerintah daerha, tapi ia heran mengapa Ayahnya justru menolak.
“Ayah lebih senang mengajar”. Jawabnya singkat.
“Menurut Lia, Ayah sangat pantas
menjadi kepala sekolah”. Ia
meyakinkan Ayahnya. Tapi sebenarnya ia yakin Ayahnya punya alasan yang kuat. Ia
sadar dan bangga bahwa Ayahnya tidak pernah gila kedudukan.
Ayahnya tidak menjawab dan memilih
diam, melanjutkan mengetik.
“Ayah.. Ayah masih sama saja seperti dulu. Ayah tidak pernah marah pada Lia”. Katanya sambil mendekat dan memeluk pundak Ayahnya
“Kok mau-maunya memarahi orang yang tidak bersalah, Nak”.
Ia tersenyum atas jawaban Ayahnya,
lalu menyandarkan kepala di pundak Ayahnya, dan dengan lirih bertanya, “Maaf
Ayah, apakah semua laki-laki mudah jatuh cinta?”.
Mendengar pertanyaan putrinya,
tangan yang awalnya sibuk mengetik itu terhenti.
“Ayah, apakah memang benar semua laki-laki
mudah jatuh cinta?”.
Tanpa berkata apapun, ia biarkan
putrinya menangis sepuasnya. Ia mengingatkan bahwa besok putrinya harus kembali
belajar ke perantauan. Kala itu, ia sangat mengerti putrinya sedang berusaha
bangun dari sakitnya hati.
Dalam perjalanan menuju kota rantau,
ia membuka pesan singkat yang masuk pada handphonenya.
From: Ayah
Ketika Tuhan
mengambil sesuatu dari genggamanmu, sebenarnya Dia tidak menghukummu, Dia hanya
membuka tanganmu untuk menerima yg lebih baik.
Tiba-tiba lamunan
itu buyar seketika saat semuanya gelap. Lilin di kamarnya telah habis dimakan
api. Sebelum memejamkan mata, ia sempatkan untuk membaca pesan dari Ayahnya
kala itu, dan mengirim pesan pada Ayahnya, “Ayah, besok bangunkan Lia untuk
shalat malam ya. Sayang Ayah”.