Rabu, 20 November 2013

KLONING BERDASARKAN SUDUT PANDANG LIMA AGAMA

Kloning berasal dari kata "Klon" dalam bahasa Yunani  yang berarti ranting yang dapat mereplikasi sendiri  dan akhirnya tumbuh menjadi pohon. Kloning terjadi  secara alami dalam banyak jenis tanaman yaitu dengan cara vegetatif. Kloning adalah cara bereproduksi secara aseksual atau  untuk membuat salinan atau satu set salinan organisme  mengikuti fusi atau memasukan inti diploid  kedalam oosit (Seidel ,GE Jr., 2000 dalam Tong, W F., 2002). American Medical Association mendefinisikan kloning sebagai produksi dari organisme identik secara genetik melalui sel somatik  transfer nuklir, walaupun definisi yang lebih luas  sering digunakan untuk memasukkan produksi jaringan dan organ dari kultur sel atau jaringan menggunakan sel (Tong, W F., 2002).
Kloning dalam biologi adalah proses menghasilkan populasi serupa genetik individu identik yang terjadi di alam saat organisme seperti bakteri, serangga atau tanaman bereproduksi secara aseksual . Secara definisi, klon adalah sekelompok organisme hewan maupun tumbuhan melalui proses reproduksi aseksual yang berasal dari satu induk yang sama. Setiap anggota klon tersebut memiliki jumlah dan susunan gen yang sama sehingga kemungkinan besar fenotifnya juga sama (Rusda, M, 2003). Kloning pada tanaman dalam arti melalui kultur sel mula-mula dilakukan pada tanaman wortel. Dalam hal ini sel akar wortel dikultur, dan tiap selnya dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap.
Setelah sukses dengan teknologi kloning hewan menyusui (misalnya lahirnya domba bernama ”Dolly”), sekarang hanya tinggal menunggu waktu, timbulnya kabar yang melaporkan lahirnya manusia hasil kloning. Contohnya saja pada ”Eve”, yang dikabarkan adalah bayi perempuan pertama hasil kloning, namun kebenaran beritanya masih belum bisa dipastikan. Ada lagi berita mengenai hasil kloning permintaan dari pasangan homoseksual dari Belanda. Namun, bukti-bukti konkrit mengenai manusia hasil kloningannya sama sekali tidak ada.
Beberapa sumber menyebutkan, para peneliti tersebut beralasan bahwa hal ini menyangkut pribadi sekaligus melanggar privasi dari pendonor gen jika diberitakan secara luas. Mungkin saja, penyembunyian berita-berita seperti ini dilakukan, karena masih banyaknya kontroversi serta pro dan kontra yang terjadi di masyarakat mengenai pengkloningan manusia yang dianggap melanggar kodrat alam dan tidak sesuai dengan etika yang dianut dari agama. Proses kloning pada manusia, sebenarnya tidak memiliki banyak perbedaan dengan bayi tabung atau in vitro fertilization. Dalam proses ini, sperma sang suami dicampur ke dalam telur sang istri dengan proses in vitro di dalam tabung kaca.
Setelah sperma tumbuh menjadi embrio, embrio tersebut ditanamkan kembali ke dalam tubuh si ibu, atau perempuan lain yang menjadi ’ibu tumpang’. Bayi yang lahir secara biologis merupakan anak suami-istri tadi, walaupun dilahirkan dari rahim perempuan lain.
Proses kloning manusia dapat dijelaskan secara sederhana sebagai berikut :
1.      Mempersiapkan sel stem : suatu sel awal yang akan tumbuh menjadi berbagai sel tubuh.  Sel ini diambil dari manusia yang hendak dikloning.
2.      Sel stem diambil  inti sel yang mengandung informasi genetic kemudian dipisahkan dari sel.
3.      Mempersiapkan sel telur : suatu sel yang diambil dari sukarelawan perempuan kemudian  intinya dipisahkan.
4.      Inti sel dari sel stem  diimplantasikan ke sel telur
5.      Sel telur dipicu supaya terjadi pembelahan dan pertumbuhan.  Setelah membelah (hari kedua) menjadi sel embrio.
6.      Sel embrio yang terus membelah (disebut blastosis) mulai memisahkan diri (hari ke lima) dan siap diimplantasikan ke dalam rahim.
7.      Embrio tumbuh dalam rahim menjadi bayi dengan kode genetik persis sama dengan sel stem donor.

Produksi domba identik oleh Willadson (1986) mencetuskan berbagai perbaikan dalam teknik-teknik kloning pada berbagai spesies hewan. Hewan-hewan kloning yang dihasilkan dari transplantasi inti sel somatik telah dilaporkan pada mencit, sapi, kambing, domba, dan babi (Hine, 2004). Penelitian-penelitian yang melibatkan spesies-spesies lain terus dilakukan, lewat transplantasi inti. Walaupun hewan kloning yang dihasilkan lewat transplantasi inti sangat tidak efisien, akan tetapi fakta bahwa perkembangan kloning akan besar sekali dampaknya terhadap kehidupan manusia menyebabkan percobaan-percobaan terkait kloning masih dilakukan. Terlepas dari pro dan kontra terhadap proses kloning, pada dasarnya kloning tetap memiliki beberapa manfaat yang dapat diperoleh manusia, misalnya dalam melestarikan keanekaragaman hayati yang terancam punah. Untuk itu, perkembangan pengetahuan tentang kloning seperti proses kloning, teknik kloning, serta manfaat kloning harus dipahami secara benar.
Rusda, M., 2003, menyatakan bahwa hingga waktu ini sikap para ilmuwan, organisasi profesi dokter dan masyarakat umumnya adalah bahwa pengklonan individu yaitu pengklonan untuk tujuan reproduksi (reproductive cloning) dengan menghasilkan manusia duplikat, kembaran identik, yang berasal dari sel induk dengan cara implantasi inti sel tidak dibenarkan, tetapi untuk tujuan terapi (therapeutic cloning) dianggap etis.


Berikut ini dijelaskan pandangan lima agama terhadap penerapan kloning.

1) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA ISLAM
Hukum kloning dalam pandangan Islam sangat jelas, yang diambil dari dalil-dalil qiyas dan itjihat. Belakangan ini telah berkembang satu teknologi baru yang mampu memduplikasi makhluk hidup dengan sama persis, teknologi ini dikenal dengan nama teknologi kloning. Kloning adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia. Kloning telah berhasil dilakukan pada tanaman sebagaimana pada hewan belakangan ini, kendatipun belum berhasil dilakukan pada manusia. Tujuan kloning pada tanaman dan hewan pada dasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas tanaman dan hewan, meningkatkan produktivitasnya, dan mencari obat alami bagi banyak penyakit manusia terutama penyakit-penyakit kronis guna menggantikan obat-obatan kimiawi yang dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan manusia.
Upaya memperbaiki kualitas tanaman dan hewan dan meningkatkan produktivitasnya tersebut menurut syara’ tidak apa-apa untuk dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Demikian pula memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia terutama yang kronis adalah kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah (mandub), sebab berobat hukumnya sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan pengobatan hukumnya juga sunnah. Oleh karena itu, dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan seperti sapi, domba, onta, kuda, dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk  mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan mengembangbiakkannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit yang kronis. Oleh karena itu tidak salah jika Majma' al-Buhûts al-Islâmiyyah yang berpusat di Kairo Mesir mengeluarkan fatwa akan bolehnya memanfaatkan teknologi kloning terhadap tumbuh-tumbuhan atau hewan asalkan memiliki daya guna (bermanfaat) bagi kehidupan manusia. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan untuk kesejahteraan manusia. Apalagi jika kita memanfaatkan proses kloning ini untuk jelas-jelas untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan. Selain itu juga dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk  mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit yang kronis.
Adapun kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi buatan. Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.
Ardi (2013) menjelaskan bahwa melihat fakta kloning manusia secara menyeluruh, syari’at Islam mengharamkan kloning terhadap manusia, dengan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, anak-anak produk proses kloning dihasilkan melalui cara yang tidak alami (percampuran antara sel sperma dan sel telur). Padahal, cara alami inilah yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai sunatullah menghasilkan anak-anak dan keturunannya. Allah SWT berfirman:
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأنْثَى
مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى
 “Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani apabila dipancarkan”(AQS. An-Najm: 45-46).
Dalam ayat lain dinyatakan pula,
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى
ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
 Bukankah dia dahulu setetes mani yag ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (AQS. Al-Qiyâmah: 37-38).
Kedua, anak-anak produk kloning dari perempuan-tanpa adanya laki-laki tidak akan memunyai ayah. Anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur-yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan memunyai ibu sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung (mediator). Oleh karena itu, kondisi ini sesungguhnya telah bertentangan dengan firman Allah SWT:.
يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (AQS. Al-Hujurât: 13) 

Juga bertentangan dengan firman-Nya yang lain,
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
 Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu [Maula-maula ialah: seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah] dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (AQS. Al-Ahzâb : 5).

Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (H.R. Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula dari Abu ‘Utsman An Nahri r.a. yang berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata, ‘Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad s.a.w., “siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.” (H.R. Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya tatkala turun ayat li’an dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu dihadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat)” (H.R. Ad-Darimi).
Kloning manusia yang bermotif memproduksi manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan jelas mengharuskan seleksi terhadap orang-orang yang akan dikloning, tanpa memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau laki-laki yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat bercampur aduk nasab.
Keempat, memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah (baca: mengacaukan) pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’ seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan banyak lagi. Di samping itu, kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah kelahiran anak. Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan struktur kehidupan masyarakat.
Professor Abdulaziz Sachedina of the University of Virginia, merujuk pada ayat Al-Quran surat Al-Mukminun 12-14, bahwa ilmuwan yang mengadakan kloning tidak mempercayai Allah adalah pencipta yang paling sempurna terhadap makhluknya. Usaha mengkloning adalah usaha mengingkari kesempurnaan Allah.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ.
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ.
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ.

“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik (AQS. Al-Mukminun: 12-14).

Hasil konferensi tahun 1997 oleh Islamic Fiqh mengemukakan pandangan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, seminar ini menyimpulkan bahwa Kloning manusia itu haram dan Kloning terhadap hewan itu halal, Kloning terhadap manusia itu akan menimbulkan masalah komplek sosial dan moral.
M.Quraish Shihab dalam Zamroni (2007) menyatakan bahwa seperti yang dikutip dalam Al-Islam dan iptek, bahwa Islam tidak pernah memisahkan ketetapan ketetapan hukumnya dari moral. Sehingga dalam kasus kloning, walaupun dalam segi akidah tidak melanggar ‘wilayah kodrat Ilahi’, namun karena dari moral teknologi kloning dapat mengantar kepada pelecehan manusia, maka dilarang lahir dari aspek ini. Dengan demikian, perlu disadari bahwa hal ihwal tentang penciptaan (setiap yang hidup/bernyawa) adalah wilayah kekuasan Tuhan yang sangat mustahil untuk dapat ditiru oleh ilmuan sejenius apapun, kesadaran ini perlu ada dalam jiwa manusia untuk lebih bijaksana dalam menjelajahi ilmu pengetahuan, atau paling tidak meminimalisir sikap coba-coba yang akan menyebabkan organism dan gen atau bahan-bahan dasar lainnya terbuang sia-sia atau dimatika begitu saja dengan unsur kesengajaan yang lebih besar hanya demi tekologi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI MUI di Jakarta pada tahun 2000 telah menetapkan fatwa tentang kloning. Dalam fatwa bernomor: 3/Munas VI/MUI/2000 itu para ulama menetapkan kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang dapat berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram. Namun, para ulama membolehkan kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan. “Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan dan atau untuk menghindarkan hal-hal negatif,” demikian fatwa yang ditandatangani Ketua MUI Prof. Umar Shihab itu. Dalam fatwanya, MUI mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia. MUI juga mewajibkan kepada para ulama untuk senantiasa mengikuti perkembangan kloning serta menyelenggarkan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.

2) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA KRISTEN-KATOLIK
Pandangan Kristen mengenai proses kloning manusia dapat ditelaah dalam terang beberapa prinsip Alkitabiah. Pertama, umat manusia diciptakan dalam rupa Allah, dan karena itu, bersifat unik. Kejadian 1:26-27 menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah, dan bersifat unik dibandingan dengan ciptaan-ciptaan lainnya.
Jelaslah bahwa itu adalah sesuatu yang perlu dihargai dan tidak diperlakukan seperti komoditas yang dijual atau diperdagangkan. Sebagian orang mempromosikan kloning manusia dengan tujuan untuk menciptakan organ pengganti untuk orang-orang yang membutuhkan pengcangkokan namun tidak dapat menemukan donor yang cocok.
Pemikirannya adalah mengambil DNA sendiri dan menciptakan organ duplikat yang terdiri dari DNA itu sendiri akan sangat mengurangi kemungkinan penolakan terhadap organ itu. Walaupun ini mungkin benar, masalahnya melakukan hal yang demikian amat merendahkan kehidupan manusia. Proses kloning menuntut penggunaan embrio manusia; dan walaupun sel dapat dihasilkan untuk membuat organ yang baru, untuk mendapatkan DNA yang diperlukan beberapa embrio harus dimatikan. Pada hakikatnya kloning akan “membuang” banyak embrio manusia sebagai “barang sampah,” meniadakan kesempatan untuk embrio-embrio itu bertumbuh dewasa.
Mengenai apakah klon memiliki jiwa, kita lihat kembali pada penciptaan hidup. Kejadian 2:7 mengatakan, “Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Inilah gambaran Allah menciptakan jiwa manusia. Jiwa adalah siapa kita, bukan apa yang kita miliki (1 Korintus 15:45).
Banyak orang percaya bahwa hidup tidak dimulai pada saat pembuahan dengan terbentuknya embrio, dan karena itu embrio bukan betul-betul manusia. Alkitab mengajarkan hal yang berbeda. Mazmur 139:13-16 mengatakan, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya”.
Selanjutnya, Yesaya 49:1-5 berbicara mengenai Allah memanggil Yesaya untuk melayani sebagai nabi ketika dia masih berada dalam kandungan ibu. Yohanes Pembaptis juga dipenuhi dengan Roh Kudus ketika dia masih berada dalam kandungan (Lukas 1:15). Semua ini menunjuk pada pendirian Alkitab bahwa hidup dimulai pada saat pembuahan. Dalam terang ini, kloning manusia, bersama dengan dirusaknya embrio manusia, tidaklah sejalan dengan pandangan Alkitab mengenai hidup manusia.
Lebih dari itu, apabila manusia diciptakan, tentulah ada Sang Pencipta, dan karena itu manusia tunduk dan bertanggung jawab kepada Sang Pencipta itu. Sekalipun pandangan umum – pandangan psikologi sekuler dan humanistik – mau orang percaya bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada siapapun kecuali dirinya sendiri, dan bahwa manusia adalah otoritas tertinggi, Alkitab mengajarkan hal yang berbeda. Alkitab mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia, dan memberi manusia tanggung jawab atas bumi ini (Kejadian 1:28-29 dan Kejadian 9:1-2). Tanggung jawab ini adalah akuntabilitas kepada Allah. Manusia bukan penguasa tertinggi atas dirinya dan karena itu dia tidak dalam posisi untuk membuat keputusan sendiri mengenai nilai hidup manusia. Ilmu pengetahuan juga bukan otoritas yang menentukan etis tidaknya kloning manusia, aborsi, atau eutanasia.
Menurut Alkitab, Allah adalah satu-satuNya yang memiliki hak kedaulatan mutlak atas hidup manusia. Berusaha mengontrol hal-hal sedemikian adalah menempatkan diri pada posisi Allah.Jelaslah bahwa manusia tidak boleh melakukan hal demikian. Kalau kita melihat manusia semata-mata sebagai salah satu ciptaan dan bukan sebagai ciptaan yang unik, dan manusia adalah ciptaan yang unik, maka tidak sulit untuk melihat manusia tidak lebih dari peralatan yang perlu dirawat dan diperbaiki. Namun kita bukanlah sekedar kumpulan molekul dan unsur-unsur kimia. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menciptakan setiap kita dan memiliki rencana khusus untuk setiap kita. Lebih lagi, Dia menginginkan hubungan pribadi dengan setiap kita, melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Sekalipun ada aspek-aspek kloning manusia yang mungkin bermanfaat, umat manusia tidak punya kontrol terhadap arah perkembangan teknologi kloning. Adalah bodoh kalau beranggapan bahwa niat baik akan mengarahkan penggunaan kloning. Manusia tidak dalam posisi untuk menjalankan tanggung jawab atau memberi penilaian yang harus dilakukan untuk mengatur kloning manusia.

3) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA HINDU
Ajaran agama Hindu memandang bahwa setiap orang hendaknya dapat meningkatkan dirinya dengan memperdalam ilmu pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dapat menganalisa dengan tajam segala sesuatu yang dihadapi melalui kekuatan intelektual yang dimilikinya. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan ketajaman intelektual dan kecerdasan diamanatkan dalam Kitab Suci Weda. Demikian pula mengasah ketajaman intelektual bagaikan memiliki mata yang ketiga. Atas dasar sabda Tuhan Yang Maha Esa inilah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan untuk kesejahteraan dan kebahagaiaan umat manusia.
Pada ajaran Hindu dikenal adanya Dewi Saraswati, sebagai perwujudan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan material dan spiritual. Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, moral, etika dan spiritual. Ini berarti bahwa menurut ajaran Agama Hindu, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, harus memperhatikan nilai-nilai moralitas dan etika. Ilmu pengetahuan akan mempunyai makna bila senantiasa berlandaskan nilai moral, etika serta spiritual. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh dilepaskan dari frame ajaran moral, etika, dan spiritual (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
Munculnya teknologi kloning hendaknya juga diarahkan untuk tujuan mensucikan dan meningkatkan moral, etika dan spiritual umat manusia. Cerita-cerita mitos keagamaan pada masa lalu meenggambarkan proses kloning dan rekayasa genetika. Di dalam cerita Mahabarata digambarkan kelahiran Kurawa yang dapat diinterpretasikan sebagai kloning. Kurawa yang berjumlah seratus orang berasal dari gumpalan darah yang dieram kemudian berubah menjadi manusia dengan sifat-sifat raksasa yang buas.
Dalam Kitab Puruna ditemukan cerita-cerita keagamaan kuno yang menggambarkan lahirnya monster-monster hasil rekayasa genetika. Dalam kekawain Bhomantaka diceriterakan tentang raksasa (monster) bernama Bhoma yang dilahrkan karena perkawinan Visnu dengan Pertiwi. Akibat perkawinan ini lahirlah monster raksasa yang sangat menakutkan yang kemudian menghancurkan bumi dan surga. Monster ini kemudian berhasil dimisnahkan oleh Kresna. Secara normal pengembangan jenis atau keturunan, masingmasing organisme oleh Tuhan telah ditetapkan suatu rancangan pembiakan melalui rahim (jiwaja) melalui bertelur (andaja) melalui biji (udbija) dan dengan panas (swedaja). Selengkapnya diuraikan sebagai berikut: (Pudja & Sudharta, Tanpa tahun).

Pacawacca mrgacaiwa
Wyataccobbayatodatah
Raksamsi ca picacacca
Manusyacca jarayujah
(Manu Smerti: I, 43)
“Binatang ternak, kijang, binatang pemakan daging yang bergigi dua baris, raksasa dan manusia lahir dari kandungan”.

Armajah pakasinah sarpa
Nakramatsyacca kaccapah
Yani caiwam prakarani
Sthalajonyadakani ca
(Manu Smerti: I.44)
“Dari telur lahirlah burung-burung, ular, buaya, ikan, kura-kura, dan binatang lain yang hidup di darat dan yang hidup di air”.

Swedajam damcamacakam
Yukamaksikamatkunam
Usmanaccopajayante
Yaccanyatkimciditrcam
(Manu Smerti: I.45)
“Demikian pula insek berlendir panas, insek penyengat dan penggigit, kutu-kutu busuk dan semua jenis insek lahir karena panas”.

Udbhijjah sthawarah sarwe
Bijakandaprarohinah
Osadhyah phalapkanta
Bahu puspa phalopagah
(Manu Smerti: I. 46)
“Semua jenis tanaman, baik yang tumbuh dari biji atau dari tepung sari, yang tumbuh dari putik, demikian pula tumbuh tumbuhan musiman yang berbunga dan berbuah banyak mati setelah lewat musim berbuah”.

Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan sebagai lelaki dan perempuan untuk dapat mengembangakan keturunan. Untuk menjadi ibu, wanita itulah yang diciptakan dan untuk menjadi ayah laki-laki itulah yang diciptakan, karena itu upacara agama ditetapkan dalam Wedda untuk dilaksanakan oleh suami
bersama istri (manu Smerti: IX.96)
Dari kutipan sloka-sloka itu terkandung isyarat dan prasyarat yang harus diperhatikan dalam usaha mengembangkan keturunan, yaitu: Pertama, kelahiran manusia sebagai lelaki atau perempuan adalah kodrat. Hidup yang baik adalah hidup yang sesuai dengan kodrat itu sendiri yang sifatnya niscaya. Hidup yang sesuai dengan kodrat adalah hidup yang baik karena dapat ikut ambil bagian dalam rencana Tuhan. Kedua, untuk membentuk keluarga dengan maksud supaya ada keturunan, wajib menempuh samsara wiwaha yang telah ditetapkan dalam Weda. Diluar itu dianggap tidak sah. Ketiga, kodrat manusia untuk mengembangbiakkan keturunan melalui proses kehamilan (rahim).
Kloning tidak lepas dari proses seleksi, hal ini berarti akan mengorbankan fetus hasil kloning yang tidak mempunyai kualitas yang baik. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sejak terjadi pertemuan antara sonita dan sukra maka sejak itulah telah ada kehidupan. Kegiatan seleksi dengan meniadakan fetus-fetus tersebut berarti melakukan pembunuhan. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh para ilmuwan yang bermaksud melakukan kloning manusia adalah untuk menolong pasangan suami istri yang mengalami kesulitan mendapatkan keturunan secara alami maupun secara in vitro. Tidak dapat disangkal keberadaan anak di dalam suatu keluarga merupakan suatu hal yang penting. Kitab Weda pun juga menjelaskan betapa pentingnya keberadaan anak di dalam suatu keluarga. Beberapa sloka menunjukkan hal tersebut, yaitu antara lain:
Yad apipesa mataram
Putrah pramudito dhayan
Etat tad agne amrno bhawami
(Yayurweda XIX.11)
“Sang Hyang Agni, Kami bebas dari hutang setelah seorang putra lahir pada kami yang menghisap payudara ibunya dengan riang gembira dan menginjak-injak tubuh ibunya itu”.

Acchmam tantum anu sam tarema
(Atharweda VI.122.1)
“Kita dapat menyeberangi lautan kehidupan dengan memelihara garis keturunan/melahirkan putra saputra”.

Namun demikian hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi kegiatan kloning manusia. Karena pada hakekatnya mempunyai keturunan bukan satu-satunya tujuan perkawinan. Menurut ajaran agama Hindu tujuan perkawinan adalah meliputi dahrmasampatti (bersama suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Jadi tujuan utama dalam perkawinan adalah melaksanakan dharma (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).

4) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA BUDHA
Buddhisme menyatakan bahwa sel-sel tubuh tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal bahwa masing-masing sel, jaringan, maupun organ di tubuh kita itu memiliki unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis. Bayi yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa).
Badan Pembinaan Hukum Nasional (2012) menjelaskan pada therapeutic cloning (kloning jaringan dan organ), stem cell terbentuk sekitar 4-5 hari setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis ini. Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan (Ref: Am J Med Genet C Semin Med Genet, 135C(1): 2-8). Ini adalah saat yang paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini sistem syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4-5 post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak dianggap sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic cloning seharusnya tidak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
Menanggapi reproductive cloning, buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuk nya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin (Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimba lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimba lahir ini. Di sini tidak dikenal adanya ‘ego’ (roh, inti, keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali: paticcasamupada) , yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya. Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha.
Kloning sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddisme karena Buddhisme selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning hanya dapat berhasil setelah ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embryo dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid (2 set kromosom). Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embryo, maka tak heran bayi akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang bayi. Walau dalam aspek filsafat, reproductive cloning tak bertentangan dengan ajaran Buddha, akan tetapi dalam aspek pragmatic, reproductive cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis.
Banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai dalam kloning karena semakin pendeknya telomer (ujung DNA akan menjadi semakin pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone yang tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning tidak dipraktekkan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012).

2 komentar: