Kloning berasal dari kata
"Klon" dalam bahasa Yunani yang berarti ranting yang dapat
mereplikasi sendiri dan akhirnya tumbuh menjadi pohon. Kloning
terjadi secara alami dalam banyak jenis tanaman yaitu dengan cara
vegetatif. Kloning adalah cara bereproduksi secara aseksual atau untuk
membuat salinan atau satu set salinan organisme mengikuti fusi atau
memasukan inti diploid kedalam oosit (Seidel ,GE Jr., 2000 dalam Tong, W
F., 2002). American Medical Association mendefinisikan kloning sebagai
produksi dari organisme identik secara genetik melalui sel somatik
transfer nuklir, walaupun definisi yang lebih luas sering digunakan untuk
memasukkan produksi jaringan dan organ dari kultur sel atau jaringan
menggunakan sel (Tong, W F., 2002).
Kloning dalam biologi adalah proses
menghasilkan populasi serupa genetik individu identik yang terjadi di alam saat
organisme seperti bakteri, serangga atau tanaman bereproduksi secara aseksual .
Secara definisi, klon adalah sekelompok organisme hewan maupun tumbuhan melalui
proses reproduksi aseksual yang berasal dari satu induk yang sama. Setiap
anggota klon tersebut memiliki jumlah dan susunan gen yang sama sehingga
kemungkinan besar fenotifnya juga sama (Rusda, M, 2003). Kloning pada tanaman
dalam arti melalui kultur sel mula-mula dilakukan pada tanaman wortel. Dalam
hal ini sel akar wortel dikultur, dan tiap selnya dapat tumbuh menjadi tanaman
lengkap.
Setelah sukses dengan teknologi kloning
hewan menyusui (misalnya lahirnya domba bernama ”Dolly”), sekarang hanya
tinggal menunggu waktu, timbulnya kabar yang melaporkan lahirnya manusia hasil
kloning. Contohnya saja pada ”Eve”, yang dikabarkan adalah bayi
perempuan pertama hasil kloning, namun kebenaran beritanya masih belum bisa
dipastikan. Ada lagi berita mengenai hasil kloning permintaan dari pasangan
homoseksual dari Belanda. Namun, bukti-bukti konkrit mengenai manusia hasil
kloningannya sama sekali tidak ada.
Beberapa sumber menyebutkan, para peneliti
tersebut beralasan bahwa hal ini menyangkut pribadi sekaligus melanggar privasi
dari pendonor gen jika diberitakan secara luas. Mungkin saja, penyembunyian
berita-berita seperti ini dilakukan, karena masih banyaknya kontroversi serta
pro dan kontra yang terjadi di masyarakat mengenai pengkloningan manusia yang
dianggap melanggar kodrat alam dan tidak sesuai dengan etika yang dianut dari
agama. Proses kloning pada manusia, sebenarnya tidak memiliki banyak perbedaan
dengan bayi tabung atau in vitro fertilization. Dalam proses
ini, sperma sang suami dicampur ke dalam telur sang istri dengan proses in
vitro di dalam tabung kaca.
Setelah sperma tumbuh menjadi embrio,
embrio tersebut ditanamkan kembali ke dalam tubuh si ibu, atau perempuan lain
yang menjadi ’ibu tumpang’. Bayi
yang lahir secara biologis merupakan anak suami-istri tadi, walaupun dilahirkan
dari rahim perempuan lain.
Proses kloning manusia dapat dijelaskan secara sederhana
sebagai berikut :
1.
Mempersiapkan sel stem : suatu sel awal yang akan tumbuh
menjadi berbagai sel tubuh. Sel ini diambil dari manusia yang hendak
dikloning.
2.
Sel stem diambil inti sel yang mengandung informasi
genetic kemudian dipisahkan dari sel.
3.
Mempersiapkan sel telur : suatu sel yang diambil dari
sukarelawan perempuan kemudian intinya dipisahkan.
4.
Inti sel dari
sel stem diimplantasikan ke sel telur
5.
Sel telur
dipicu supaya terjadi pembelahan dan pertumbuhan. Setelah membelah (hari
kedua) menjadi sel embrio.
6.
Sel embrio yang
terus membelah (disebut blastosis) mulai memisahkan diri (hari ke lima) dan
siap diimplantasikan ke dalam rahim.
7.
Embrio tumbuh
dalam rahim menjadi bayi dengan kode genetik persis sama dengan sel stem donor.
Produksi domba identik oleh Willadson
(1986) mencetuskan berbagai perbaikan dalam teknik-teknik kloning pada berbagai
spesies hewan. Hewan-hewan kloning yang dihasilkan dari transplantasi inti sel
somatik telah dilaporkan pada mencit, sapi, kambing, domba, dan babi (Hine,
2004). Penelitian-penelitian yang melibatkan spesies-spesies lain terus
dilakukan, lewat transplantasi inti. Walaupun hewan kloning yang dihasilkan
lewat transplantasi inti sangat tidak efisien, akan tetapi fakta bahwa
perkembangan kloning akan besar sekali dampaknya terhadap kehidupan manusia
menyebabkan percobaan-percobaan terkait kloning masih dilakukan. Terlepas dari
pro dan kontra terhadap proses kloning, pada dasarnya kloning tetap memiliki
beberapa manfaat yang dapat diperoleh manusia, misalnya dalam melestarikan
keanekaragaman hayati yang terancam punah. Untuk itu, perkembangan pengetahuan
tentang kloning seperti proses kloning, teknik kloning, serta manfaat kloning
harus dipahami secara benar.
Rusda, M., 2003, menyatakan bahwa
hingga waktu ini sikap para ilmuwan, organisasi profesi dokter dan masyarakat
umumnya adalah bahwa pengklonan individu yaitu pengklonan untuk tujuan
reproduksi (reproductive cloning) dengan menghasilkan manusia duplikat,
kembaran identik, yang berasal dari sel induk dengan cara implantasi inti sel
tidak dibenarkan, tetapi untuk tujuan terapi (therapeutic cloning)
dianggap etis.
Berikut ini
dijelaskan pandangan lima agama terhadap penerapan kloning.
1) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA ISLAM
Hukum kloning dalam pandangan Islam sangat jelas,
yang diambil dari dalil-dalil qiyas dan itjihat. Belakangan ini telah
berkembang satu teknologi baru yang mampu memduplikasi makhluk hidup dengan
sama persis, teknologi ini dikenal dengan nama teknologi kloning. Kloning
adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya
pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia.
Kloning telah berhasil dilakukan pada tanaman sebagaimana pada hewan belakangan
ini, kendatipun belum berhasil dilakukan pada manusia. Tujuan kloning pada
tanaman dan hewan pada dasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas tanaman dan
hewan, meningkatkan produktivitasnya, dan mencari obat alami bagi banyak
penyakit manusia terutama penyakit-penyakit kronis guna menggantikan
obat-obatan kimiawi yang dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan
manusia.
Upaya memperbaiki kualitas tanaman dan hewan dan
meningkatkan produktivitasnya tersebut menurut syara’ tidak apa-apa untuk
dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Demikian pula
memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses kloning guna mencari obat yang
dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia terutama yang kronis adalah
kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah (mandub), sebab berobat
hukumnya sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan
pengobatan hukumnya juga sunnah. Oleh karena itu, dibolehkan memanfaatkan
proses kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi
produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan seperti sapi, domba,
onta, kuda, dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses kloning
untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan mengembangbiakkannya,
ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia, terutama
penyakit-penyakit yang kronis. Oleh karena itu tidak salah jika Majma'
al-Buhûts al-Islâmiyyah yang berpusat di Kairo Mesir mengeluarkan fatwa akan
bolehnya memanfaatkan teknologi kloning terhadap tumbuh-tumbuhan atau hewan
asalkan memiliki daya guna (bermanfaat) bagi kehidupan manusia. Hal ini
didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan
untuk kesejahteraan manusia. Apalagi jika kita memanfaatkan proses kloning ini
untuk jelas-jelas untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi produktivitasnya
atau untuk memperbaiki kualitas hewan. Selain itu juga dibolehkan memanfaatkan
proses kloning untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan
mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia,
terutama penyakit-penyakit yang kronis.
Adapun kloning manusia adalah teknik membuat
keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari
tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya
ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan
suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi buatan. Dengan
metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel
dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari
seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus
listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini
terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke
dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri, berkembang,
berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang
dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik
sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah
ditanamkan pada sel telur perempuan.
Ardi (2013) menjelaskan bahwa melihat fakta
kloning manusia secara menyeluruh, syari’at Islam mengharamkan kloning terhadap
manusia, dengan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, anak-anak produk proses kloning dihasilkan
melalui cara yang tidak alami (percampuran antara sel sperma dan sel telur).
Padahal, cara alami inilah yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai
sunatullah menghasilkan anak-anak dan keturunannya. Allah SWT berfirman:
وَأَنَّهُ
خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأنْثَى
مِنْ
نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى
“Dan
bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan
dari air mani apabila dipancarkan”(AQS. An-Najm: 45-46).
Dalam ayat lain dinyatakan pula,
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى
ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
“Bukankah
dia dahulu setetes mani yag ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu
menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu
Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (AQS.
Al-Qiyâmah: 37-38).
Kedua, anak-anak produk kloning dari perempuan-tanpa
adanya laki-laki tidak akan memunyai ayah. Anak produk kloning tersebut jika
dihasilkan dari proses pemindahan sel telur-yang telah digabungkan dengan inti
sel tubuh ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula
akan memunyai ibu sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel
telur tersebut hanya menjadi penampung (mediator). Oleh karena itu, kondisi ini
sesungguhnya telah bertentangan dengan firman Allah SWT:.
يا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ
شُعُوباً وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (AQS. Al-Hujurât: 13)
Juga bertentangan dengan firman-Nya yang lain,
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا
آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu [Maula-maula ialah: seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan
atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat
Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah] dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (AQS. Al-Ahzâb : 5).
Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan nasab
(garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada
orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada
selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan
seluruh manusia.” (H.R. Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula dari Abu ‘Utsman An Nahri
r.a. yang berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing
berkata, ‘Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda
Muhammad s.a.w., “siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang
yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka
surga baginya haram.” (H.R. Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a.
bahwasannya tatkala turun ayat li’an dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa
saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan
dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apapun dari Allah dan
Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki
yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah
akan akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu
dihadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat)” (H.R.
Ad-Darimi).
Kloning manusia yang bermotif memproduksi
manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan
jelas mengharuskan seleksi terhadap orang-orang yang akan dikloning, tanpa
memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum.
Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau laki-laki yang terpilih.
Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat bercampur aduk nasab.
Keempat, memproduksi anak melalui proses kloning akan
mencegah (baca: mengacaukan) pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’ seperti
hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan
anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan banyak
lagi. Di samping itu, kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan nasab
serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah
kelahiran anak. Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan struktur
kehidupan masyarakat.
Professor Abdulaziz Sachedina of the University of Virginia,
merujuk pada ayat Al-Quran surat Al-Mukminun 12-14, bahwa ilmuwan yang
mengadakan kloning tidak mempercayai Allah adalah pencipta yang paling sempurna
terhadap makhluknya. Usaha mengkloning adalah usaha mengingkari kesempurnaan
Allah.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ.
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً
فِي قَرَارٍ مَكِينٍ.
ثُمَّ خَلَقْنَا
النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ
عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ.
“Dan
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik (AQS. Al-Mukminun: 12-14).
Hasil konferensi tahun 1997 oleh Islamic Fiqh
mengemukakan pandangan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta, seminar ini
menyimpulkan bahwa Kloning manusia itu haram dan Kloning terhadap hewan itu
halal, Kloning terhadap manusia itu akan menimbulkan masalah komplek sosial dan
moral.
M.Quraish Shihab dalam Zamroni (2007) menyatakan
bahwa seperti yang dikutip dalam Al-Islam dan iptek, bahwa Islam tidak pernah
memisahkan ketetapan ketetapan hukumnya dari moral. Sehingga dalam kasus
kloning, walaupun dalam segi akidah tidak melanggar ‘wilayah kodrat Ilahi’,
namun karena dari moral teknologi kloning dapat mengantar kepada pelecehan
manusia, maka dilarang lahir dari aspek ini. Dengan demikian, perlu disadari
bahwa hal ihwal tentang penciptaan (setiap yang hidup/bernyawa) adalah wilayah
kekuasan Tuhan yang sangat mustahil untuk dapat ditiru oleh ilmuan sejenius
apapun, kesadaran ini perlu ada dalam jiwa manusia untuk lebih bijaksana dalam
menjelajahi ilmu pengetahuan, atau paling tidak meminimalisir sikap coba-coba
yang akan menyebabkan organism dan gen atau bahan-bahan dasar lainnya terbuang
sia-sia atau dimatika begitu saja dengan unsur kesengajaan yang lebih besar
hanya demi tekologi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI
MUI di Jakarta pada tahun 2000 telah menetapkan fatwa tentang kloning. Dalam
fatwa bernomor: 3/Munas VI/MUI/2000 itu para ulama menetapkan kloning terhadap
manusia dengan cara bagaimanapun yang dapat berakibat pada pelipatgandaan
manusia hukumnya adalah haram. Namun, para ulama membolehkan
kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan. “Kloning terhadap
tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi
kemaslahatan dan atau untuk menghindarkan hal-hal negatif,” demikian fatwa
yang ditandatangani Ketua MUI Prof. Umar Shihab itu. Dalam fatwanya, MUI mewajibkan
kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen
atau praktik kloning terhadap manusia. MUI juga mewajibkan kepada para ulama
untuk senantiasa mengikuti perkembangan kloning serta menyelenggarkan
kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.
2) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA
KRISTEN-KATOLIK
Pandangan Kristen mengenai proses kloning manusia dapat
ditelaah dalam terang beberapa prinsip Alkitabiah. Pertama, umat manusia
diciptakan dalam rupa Allah, dan karena itu, bersifat unik. Kejadian 1:26-27
menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah, dan bersifat
unik dibandingan dengan ciptaan-ciptaan lainnya.
Jelaslah bahwa itu adalah sesuatu yang perlu dihargai dan
tidak diperlakukan seperti komoditas yang dijual atau diperdagangkan. Sebagian
orang mempromosikan kloning manusia dengan tujuan untuk menciptakan organ
pengganti untuk orang-orang yang membutuhkan pengcangkokan namun tidak dapat
menemukan donor yang cocok.
Pemikirannya adalah mengambil DNA sendiri dan menciptakan
organ duplikat yang terdiri dari DNA itu sendiri akan sangat mengurangi
kemungkinan penolakan terhadap organ itu. Walaupun ini mungkin benar,
masalahnya melakukan hal yang demikian amat merendahkan kehidupan manusia.
Proses kloning menuntut penggunaan embrio manusia; dan walaupun sel dapat
dihasilkan untuk membuat organ yang baru, untuk mendapatkan DNA yang diperlukan
beberapa embrio harus dimatikan. Pada hakikatnya kloning akan “membuang” banyak
embrio manusia sebagai “barang sampah,” meniadakan kesempatan untuk
embrio-embrio itu bertumbuh dewasa.
Mengenai apakah klon memiliki jiwa, kita lihat kembali pada
penciptaan hidup. Kejadian 2:7 mengatakan, “Ketika itulah Tuhan Allah membentuk
manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya;
demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Inilah gambaran Allah
menciptakan jiwa manusia. Jiwa adalah siapa kita, bukan apa yang kita miliki (1
Korintus 15:45).
Banyak orang percaya bahwa hidup tidak dimulai pada saat
pembuahan dengan terbentuknya embrio, dan karena itu embrio bukan betul-betul
manusia. Alkitab mengajarkan hal yang berbeda. Mazmur 139:13-16 mengatakan, “Sebab
Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.
Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa
yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak
terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku
direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku
bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk,
sebelum ada satupun dari padanya”.
Selanjutnya, Yesaya 49:1-5 berbicara mengenai Allah
memanggil Yesaya untuk melayani sebagai nabi ketika dia masih berada dalam
kandungan ibu. Yohanes Pembaptis juga dipenuhi dengan Roh Kudus ketika dia
masih berada dalam kandungan (Lukas 1:15). Semua ini menunjuk pada pendirian
Alkitab bahwa hidup dimulai pada saat pembuahan. Dalam terang ini, kloning
manusia, bersama dengan dirusaknya embrio manusia, tidaklah sejalan dengan
pandangan Alkitab mengenai hidup manusia.
Lebih dari itu, apabila manusia diciptakan, tentulah ada
Sang Pencipta, dan karena itu manusia tunduk dan bertanggung jawab kepada Sang
Pencipta itu. Sekalipun pandangan umum – pandangan psikologi sekuler dan
humanistik – mau orang percaya bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada
siapapun kecuali dirinya sendiri, dan bahwa manusia adalah otoritas tertinggi,
Alkitab mengajarkan hal yang berbeda. Alkitab mengajarkan bahwa Allah
menciptakan manusia, dan memberi manusia tanggung jawab atas bumi ini (Kejadian
1:28-29 dan Kejadian 9:1-2). Tanggung jawab ini adalah akuntabilitas kepada
Allah. Manusia bukan penguasa tertinggi atas dirinya dan karena itu dia tidak
dalam posisi untuk membuat keputusan sendiri mengenai nilai hidup manusia. Ilmu
pengetahuan juga bukan otoritas yang menentukan etis tidaknya kloning manusia,
aborsi, atau eutanasia.
Menurut Alkitab, Allah adalah satu-satuNya yang memiliki hak
kedaulatan mutlak atas hidup manusia. Berusaha mengontrol hal-hal sedemikian
adalah menempatkan diri pada posisi Allah.Jelaslah bahwa manusia tidak boleh
melakukan hal demikian. Kalau kita melihat manusia semata-mata sebagai salah
satu ciptaan dan bukan sebagai ciptaan yang unik, dan manusia adalah ciptaan
yang unik, maka tidak sulit untuk melihat manusia tidak lebih dari peralatan
yang perlu dirawat dan diperbaiki. Namun kita bukanlah sekedar kumpulan molekul
dan unsur-unsur kimia. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menciptakan
setiap kita dan memiliki rencana khusus untuk setiap kita. Lebih lagi, Dia
menginginkan hubungan pribadi dengan setiap kita, melalui Anak-Nya, Yesus
Kristus. Sekalipun ada aspek-aspek kloning manusia yang mungkin bermanfaat, umat
manusia tidak punya kontrol terhadap arah perkembangan teknologi kloning.
Adalah bodoh kalau beranggapan bahwa niat baik akan mengarahkan penggunaan
kloning. Manusia tidak dalam posisi untuk menjalankan tanggung jawab atau
memberi penilaian yang harus dilakukan untuk mengatur kloning manusia.
3) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA HINDU
Ajaran agama Hindu memandang bahwa
setiap orang hendaknya dapat meningkatkan dirinya dengan memperdalam ilmu pengetahuan.
Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dapat menganalisa dengan tajam segala
sesuatu yang dihadapi melalui kekuatan intelektual yang dimilikinya.
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan ketajaman intelektual dan kecerdasan
diamanatkan dalam Kitab Suci Weda. Demikian pula mengasah ketajaman intelektual
bagaikan memiliki mata yang ketiga. Atas dasar sabda Tuhan Yang Maha Esa inilah
merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
kecerdasan untuk kesejahteraan dan kebahagaiaan umat manusia.
Pada ajaran Hindu dikenal adanya
Dewi Saraswati, sebagai perwujudan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang melambangkan
ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang memberikan kebahagiaan dan
kesejahteraan material dan spiritual. Oleh karena itu pengembangan ilmu
pengetahuan hendaknya tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, moral, etika
dan spiritual. Ini berarti bahwa menurut ajaran Agama Hindu, ilmu pengetahuan tidak
bebas nilai, harus memperhatikan nilai-nilai moralitas dan etika. Ilmu
pengetahuan akan mempunyai makna bila senantiasa berlandaskan nilai moral,
etika serta spiritual. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh dilepaskan
dari frame ajaran moral, etika, dan spiritual (Badan Pembinaan Hukum Nasional,
2012).
Munculnya teknologi kloning hendaknya
juga diarahkan untuk tujuan mensucikan dan meningkatkan moral, etika dan spiritual
umat manusia. Cerita-cerita mitos keagamaan pada masa lalu meenggambarkan
proses kloning dan rekayasa genetika. Di dalam cerita Mahabarata digambarkan
kelahiran Kurawa yang dapat diinterpretasikan sebagai kloning. Kurawa yang
berjumlah seratus orang berasal dari gumpalan darah yang dieram kemudian berubah
menjadi manusia dengan sifat-sifat raksasa yang buas.
Dalam Kitab Puruna ditemukan
cerita-cerita keagamaan kuno yang menggambarkan lahirnya monster-monster hasil
rekayasa genetika. Dalam kekawain Bhomantaka diceriterakan tentang raksasa
(monster) bernama Bhoma yang dilahrkan karena perkawinan Visnu dengan Pertiwi.
Akibat perkawinan ini lahirlah monster raksasa yang sangat menakutkan yang
kemudian menghancurkan bumi dan surga. Monster ini kemudian berhasil dimisnahkan
oleh Kresna. Secara normal pengembangan jenis atau keturunan, masingmasing organisme
oleh Tuhan telah ditetapkan suatu rancangan pembiakan melalui rahim (jiwaja)
melalui bertelur (andaja) melalui biji (udbija) dan dengan panas (swedaja).
Selengkapnya diuraikan sebagai berikut: (Pudja & Sudharta, Tanpa tahun).
Pacawacca
mrgacaiwa
Wyataccobbayatodatah
Raksamsi ca
picacacca
Manusyacca
jarayujah
(Manu Smerti: I, 43)
“Binatang ternak, kijang, binatang pemakan daging yang bergigi dua
baris, raksasa dan manusia lahir dari kandungan”.
Armajah
pakasinah sarpa
Nakramatsyacca
kaccapah
Yani caiwam
prakarani
Sthalajonyadakani
ca
(Manu Smerti: I.44)
“Dari telur lahirlah burung-burung, ular, buaya, ikan, kura-kura, dan
binatang lain yang hidup di darat dan yang hidup di air”.
Swedajam
damcamacakam
Yukamaksikamatkunam
Usmanaccopajayante
Yaccanyatkimciditrcam
(Manu Smerti: I.45)
“Demikian pula insek berlendir panas, insek penyengat dan penggigit,
kutu-kutu busuk dan semua jenis insek lahir karena panas”.
Udbhijjah
sthawarah sarwe
Bijakandaprarohinah
Osadhyah
phalapkanta
Bahu puspa
phalopagah
(Manu Smerti: I. 46)
“Semua jenis tanaman, baik yang tumbuh dari biji atau dari tepung
sari, yang tumbuh dari putik, demikian pula tumbuh tumbuhan musiman yang
berbunga dan berbuah banyak mati setelah lewat musim berbuah”.
Tuhan menciptakan manusia
berpasang-pasangan sebagai lelaki dan perempuan untuk dapat mengembangakan
keturunan. Untuk menjadi ibu, wanita itulah yang diciptakan dan untuk menjadi
ayah laki-laki itulah yang diciptakan, karena itu upacara agama ditetapkan
dalam Wedda untuk dilaksanakan oleh suami
bersama istri (manu Smerti: IX.96)
Dari kutipan sloka-sloka itu
terkandung isyarat dan prasyarat yang harus diperhatikan dalam usaha
mengembangkan keturunan, yaitu: Pertama, kelahiran manusia sebagai
lelaki atau perempuan adalah kodrat. Hidup yang baik adalah hidup yang sesuai
dengan kodrat itu sendiri yang sifatnya niscaya. Hidup yang sesuai dengan kodrat
adalah hidup yang baik karena dapat ikut ambil bagian dalam rencana Tuhan. Kedua,
untuk membentuk keluarga dengan maksud supaya ada keturunan, wajib menempuh
samsara wiwaha yang telah ditetapkan dalam Weda. Diluar itu dianggap tidak sah.
Ketiga, kodrat manusia untuk mengembangbiakkan keturunan melalui proses
kehamilan (rahim).
Kloning tidak lepas dari proses
seleksi, hal ini berarti akan mengorbankan fetus hasil kloning yang tidak
mempunyai kualitas yang baik. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sejak
terjadi pertemuan antara sonita dan sukra maka sejak itulah telah ada
kehidupan. Kegiatan seleksi dengan meniadakan fetus-fetus tersebut berarti
melakukan pembunuhan. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Salah
satu alasan yang dikemukakan oleh para ilmuwan yang bermaksud melakukan kloning
manusia adalah untuk menolong pasangan suami istri yang mengalami kesulitan mendapatkan
keturunan secara alami maupun secara in vitro. Tidak dapat disangkal keberadaan
anak di dalam suatu keluarga merupakan suatu hal yang penting. Kitab Weda pun
juga menjelaskan betapa pentingnya keberadaan anak di dalam suatu keluarga.
Beberapa sloka menunjukkan hal tersebut, yaitu antara lain:
Yad apipesa
mataram
Putrah
pramudito dhayan
Etat tad agne
amrno bhawami
(Yayurweda XIX.11)
“Sang Hyang Agni, Kami bebas dari hutang setelah seorang putra lahir
pada kami yang menghisap payudara ibunya dengan riang gembira dan
menginjak-injak tubuh ibunya itu”.
Acchmam tantum
anu sam tarema
(Atharweda VI.122.1)
“Kita dapat menyeberangi lautan kehidupan dengan memelihara garis
keturunan/melahirkan putra saputra”.
Namun demikian hal tersebut tidak
dapat dijadikan alasan pembenar bagi kegiatan kloning manusia. Karena pada
hakekatnya mempunyai keturunan bukan satu-satunya tujuan perkawinan. Menurut
ajaran agama Hindu tujuan perkawinan adalah meliputi dahrmasampatti (bersama
suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan
rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Jadi tujuan
utama dalam perkawinan adalah melaksanakan dharma (Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 2012).
4) KLONING BERDASARKAN PANDANGAN AGAMA BUDHA
Buddhisme
menyatakan bahwa sel-sel tubuh tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak
dikenal bahwa masing-masing sel, jaringan, maupun organ di tubuh kita itu
memiliki unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah
termasuk makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan
(bersatunya ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel
yang akan tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai
embryogenesis. Bayi yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan
fisik (rupa).
Badan
Pembinaan Hukum Nasional (2012) menjelaskan pada therapeutic cloning
(kloning jaringan dan organ), stem cell terbentuk sekitar 4-5 hari
setelah pembuahan (fertilization). Dalam tahap ini, tidak ditemukan bukti-bukti
adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem
syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut
kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis
ini. Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai
neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan
(Ref: Am J Med Genet C Semin Med Genet, 135C(1): 2-8). Ini adalah saat yang
paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini sistem
syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari
selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4-5
post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan
pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak dianggap
sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni
belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka
therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak
dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic
cloning seharusnya tidak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis (Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
Menanggapi
reproductive cloning, buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuk
nya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari
kegelapan batin (Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Karena kegelapan batin inilah,
makhluk bertumimba lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap
juga tumimba lahir ini. Di sini tidak dikenal adanya ‘ego’ (roh, inti,
keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan
kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali:
paticcasamupada) , yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya
penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya.
Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan
dengan ajaran Buddha.
Kloning
sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddisme karena
Buddhisme selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses
cloning hanya dapat berhasil setelah ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni
embryo dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid
(2 set kromosom). Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan
embryo, maka tak heran bayi akan terbentuk. Jadi bila kondisi yang tepat ada,
maka akan bersatulah unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan
lahir menjadi seorang bayi. Walau dalam aspek filsafat, reproductive cloning
tak bertentangan dengan ajaran Buddha, akan tetapi dalam aspek pragmatic, reproductive
cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis.
Banyak
bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas
penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk
tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai dalam kloning karena semakin
pendeknya telomer (ujung DNA akan menjadi semakin pendek setiap kali sel
membelah diri). Banyak clone yang tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka.
Maka ilmuwan seharusnya memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya
reproductive cloning tidak dipraktekkan, apalagi dalam skala besar, sampai
setelah permasalahan teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk
menanggani permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen (Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2012).
agen penerus bangsa berkwalitas ;D
BalasHapusTerimakasih yah atas informasinya :)
BalasHapus