Senin, 22 April 2013

Arabisme Bukan Islam : Islam Bukan Seperti Arab


-------- Imam Syafi’i yang begitu keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang seorang Arab (Quraisy) yang begitu fanatik dengan ke-Arab-annya. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang non-Arab, Persia , sehingga ia tidak mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr Hâmid Abu Zayd, al-Imâm al-Syâfi’î wa ta`tsîts al-Idiolojiyat al-Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbuli, 1996] --------

Fenomena Arabisme
Akhir-akhir ini saya memperhatikan fenomena yang semakin hari semakin mencuat di Indonesia, khususnya di kota rantauku tercinta, Kota Apel. Fenomena ini akan sangat terbaca terutama di beberapa masjid (terutama masjid kampus), di jejaring sosial (misalnya Facebook), bahkan di percakapan sehari-hari. Adalah beberapa anak muda berbicara dengan bahasa asing (Arab), seperti akhi, ukhti, ana, antum, afwan jiddan, syukron, dan sejenisnya. Sepertinya mereka sedang semangat-semangatnya bereuphoria dengan Bahasa Arab. Saya sebut ini adalah trend yang entah mulai kapan trend ini masuk ke Indonesiaku tercinta.

Saya, adalah salah satu dari mereka. Saya juga gemar berbahasa Arab seperti mereka. Dan saya sangat tertarik apabila ada seseorang kawan yang mengajak bercakap-cakap menggunakan bahasa Arab, meskipun itu percakapan dasar.

“Hai, Kaifa Haluk Yaa Ukhti?”, “Ana bi khair”. dan seterusnya

Tapi sayangnya, sekarang saya sudah mulai terusik dengan semua itu. Saya merasa geli menggunakan bahasa yang bukan bahasa Ibu saya. Entah ini berlebihan atau tidak. Saya tersadar (setelah disadarkan) bahwa pada hakikatnya bukan di sini letak Islam, sama sekali bukan. Jadi, untuk apa saya berlagak seperti itu? Kata orang tua saya, bahwa Bahasa Indonesia masih layak digunakan sehari-hari. Dan Arabisme bukan Islam.

Sepertinya dulu saya tertarik gencar berbahasa Arab bukan hanya karena trend, tapi juga karena hadist yang belum jelas sanadnya, menyebutkan bahwa Bahasa Arab adalah bahasa Surga. Tapi Allah Maha Tahu segalanya, memakai bahasa apapun, Allah tetap Maha Tahu. Dalam Al-Qur’an Surat Yusuf Ayat 2 juga diterangkan bahwa:

“Sesungguhnya Kami menurunknnya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti”. (terjemahan versi Departemen Agama).

Mari kita coba bayangkan bila Al-Qur’an turun di Arab dalam bahasa Jawa halus, pertanyaannya apakah Rasul akan mengerti? Jawabannya bisa jadi, karena Allah Maha Segalanya. Tapi coba kita berpikir lebih sederhana, apabila kita melihat cerita sejarah Rasulullah Muhammad SAW, tidak ada yang menceritakan bahwa beliau pernah ke tanah Jawa, apalagi belajar bahasa Jawa di sini.

Ada lagi. Banyak juga kalangan yang mengkhawatirkan banyaknya kaum muda yang lebih mendalami Bahasa Inggris daripada Bahasa Arab. Kalau hanya persoalan bahasa, saya rasa ini tidak menjadi masalah. Bahasa apapun digunakan untuk komunikasi, untuk belajar, atau bisa untuk memahami suatu kitab (buku). Lho, tapi kan shalat berbahasa Arab. Ya memang, kita jalankan sebagaimana mestinya. Kan tidak mungkin setalah kita mahir Bahasa Inggris lantas kita menjalankan shalat  dalam Bahasa Inggris.

Memang, siapapun tidak bisa menolak bahwa Islam sangat lekat dengan budaya Arab. Hal ini sebenarnya wajar-wajar saja, karena Islam lahir di Arab, Al-Qur’an berbahasa Arab, Nabi Muhammad orang Arab, kiblatnya ada di Arab, kitab-kitab fiqih ditulis dengan bahasa Arab, dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika cita rasa Arab sangat dominan dalam hampir seluruh konstruk keislaman.

Tapi terkait dengan bahasa, mari kita sama-sama berpikir lagi. Pertama, kita orang Indonesia. Terserah mau suku Jawa, Madura, Batak, gunakanlah bahasa kita dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan sehari-hari, Bahasa Indonesia khususnya. Yang jelas kita bukan orang Arab. Kedua, tujuan belajar Bahasa Arab sangat baik, tapi perlu diluruskan kembali tujuannya. Mari kita jadikan Bahasa Arab hanya untuk menunjang pendidikan agama Islam. Bolehlah dipraktikkan dalam keseharian, namun jangan jadikan itu sebagai jati diri kita. Salah-salah malah kita akan takabbur, karena merasa sudah “mampu” berbahasa surga.

 “Amal itu (barulah) merupakan sosok yang siaga. Nyawanya adalah eksistensi rahasia ikhlas di dalamnya”. (Asy Syaikh Muhammad ibn ‘Athoillah As Sakandary)

Semoga bermanfaat…
Wallahu A’lam Bish-shawab…

Linda Haffandi
Malang, 22 April 2013 , 05.05 WIB