-------- Imam Syafi’i yang begitu
keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang seorang Arab (Quraisy)
yang begitu fanatik dengan ke-Arab-annya. Hal ini berbeda dengan Imam Abu
Hanifah yang non-Arab, Persia , sehingga ia tidak mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr Hâmid Abu Zayd, al-Imâm al-Syâfi’î wa ta`tsîts al-Idiolojiyat
al-Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbuli, 1996] --------
Fenomena Arabisme
Akhir-akhir
ini saya memperhatikan fenomena yang semakin hari semakin mencuat di Indonesia,
khususnya di kota rantauku tercinta, Kota Apel. Fenomena ini akan sangat
terbaca terutama di beberapa masjid (terutama masjid kampus), di jejaring
sosial (misalnya Facebook), bahkan di percakapan sehari-hari. Adalah beberapa
anak muda berbicara dengan bahasa asing (Arab), seperti akhi, ukhti, ana,
antum, afwan jiddan, syukron, dan sejenisnya. Sepertinya mereka sedang semangat-semangatnya
bereuphoria dengan Bahasa Arab. Saya sebut ini adalah trend yang entah
mulai kapan trend ini masuk ke Indonesiaku tercinta.
Saya, adalah salah
satu dari mereka. Saya juga gemar berbahasa Arab seperti mereka. Dan saya
sangat tertarik apabila ada seseorang kawan yang mengajak bercakap-cakap
menggunakan bahasa Arab, meskipun itu percakapan dasar.
“Hai, Kaifa Haluk
Yaa Ukhti?”, “Ana bi khair”. dan seterusnya
Tapi sayangnya,
sekarang saya sudah mulai terusik dengan semua itu. Saya merasa geli
menggunakan bahasa yang bukan bahasa Ibu saya. Entah ini berlebihan atau tidak.
Saya tersadar (setelah disadarkan) bahwa pada hakikatnya bukan di sini letak
Islam, sama sekali bukan. Jadi, untuk apa saya berlagak seperti itu? Kata orang
tua saya, bahwa Bahasa Indonesia masih layak digunakan sehari-hari. Dan Arabisme
bukan Islam.
Sepertinya dulu
saya tertarik gencar berbahasa Arab bukan hanya karena trend, tapi juga karena
hadist yang belum jelas sanadnya, menyebutkan bahwa Bahasa Arab adalah bahasa
Surga. Tapi Allah Maha Tahu segalanya, memakai bahasa apapun, Allah tetap Maha
Tahu. Dalam Al-Qur’an Surat Yusuf Ayat 2 juga diterangkan bahwa:
“Sesungguhnya
Kami menurunknnya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti”. (terjemahan
versi Departemen Agama).
Mari kita coba
bayangkan bila Al-Qur’an turun di Arab dalam bahasa Jawa halus, pertanyaannya apakah
Rasul akan mengerti? Jawabannya bisa jadi, karena Allah Maha Segalanya. Tapi
coba kita berpikir lebih sederhana, apabila kita melihat cerita sejarah Rasulullah
Muhammad SAW, tidak ada yang menceritakan bahwa beliau pernah ke tanah Jawa,
apalagi belajar bahasa Jawa di sini.
Ada lagi. Banyak
juga kalangan yang mengkhawatirkan banyaknya kaum muda yang lebih mendalami
Bahasa Inggris daripada Bahasa Arab. Kalau hanya persoalan bahasa, saya rasa
ini tidak menjadi masalah. Bahasa apapun digunakan untuk komunikasi, untuk
belajar, atau bisa untuk memahami suatu kitab (buku). Lho, tapi kan shalat
berbahasa Arab. Ya memang, kita jalankan sebagaimana mestinya. Kan tidak
mungkin setalah kita mahir Bahasa Inggris lantas kita menjalankan shalat dalam Bahasa Inggris.
Memang, siapapun
tidak bisa menolak bahwa Islam sangat lekat dengan budaya Arab. Hal ini
sebenarnya wajar-wajar saja, karena Islam lahir di Arab, Al-Qur’an berbahasa
Arab, Nabi Muhammad orang Arab, kiblatnya ada di Arab, kitab-kitab fiqih
ditulis dengan bahasa Arab, dan seterusnya. Oleh karena itu, tidak perlu heran
jika cita rasa Arab sangat dominan dalam hampir seluruh konstruk keislaman.
Tapi terkait
dengan bahasa, mari kita sama-sama berpikir lagi. Pertama, kita orang Indonesia.
Terserah mau suku Jawa, Madura, Batak, gunakanlah bahasa kita dengan sebaik-baiknya
dalam kehidupan sehari-hari, Bahasa Indonesia khususnya. Yang jelas kita bukan
orang Arab. Kedua, tujuan belajar Bahasa Arab sangat baik, tapi perlu
diluruskan kembali tujuannya. Mari kita jadikan Bahasa Arab hanya untuk menunjang
pendidikan agama Islam. Bolehlah dipraktikkan dalam keseharian, namun jangan
jadikan itu sebagai jati diri kita. Salah-salah malah kita akan takabbur,
karena merasa sudah “mampu” berbahasa surga.
“Amal itu (barulah) merupakan sosok yang
siaga. Nyawanya adalah eksistensi rahasia ikhlas di dalamnya”. (Asy Syaikh
Muhammad ibn ‘Athoillah As Sakandary)
Semoga bermanfaat…
Wallahu A’lam Bish-shawab…
Linda Haffandi
Malang, 22 April 2013 , 05.05 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar