Selasa, 26 April 2016

Buk Ning


Suaminya telah meninggal setahun lalu. Kini ia hidup sebagai janda dengan lima orang anak; Manu, Ripin, Haron, Ambar, dan Nong. Dari kelima anaknya yang hanya lulusan SD dan MTs, hanya Nong lah putra bungsu yang mampu melanjutkan sekolah sampai ke univesitas negeri di luar kota atas bantuan beasiswa tidak mampu. Dengan motor bututnya, Nong sekali-kali pulang kampung untuk ibunya di rumah yang sebenarnya sudah mulai tak layak tinggal. Sedangkan anak-anaknya lainnya ikut bersama suami atau istri masing-masing dan telah memberikan cucu-cucu yang sudah besar, bahkan kabarnya, setelah lulus SD, cucu perempuannya telah dinikahkan.

Sekali-kali ketika akan pulang kampung, aku menyisihkan uang jajan untuk diamplop padanya.
Terima kasih banyak, Nak. Nanti malam aku akan tahajjud dan berdo’a khusus untukmu ya”,  bisiknya menerima amplop yang aku tempelkan pada telapak tangan kanannya.

Do’a kebaikan, imbalan yang cukup menggiurkan untuk seorang lemah iman sepertiku. Sebenarnya dalam hati tidak ada pamrih sedikitpun; aku hanya kecanduan dengan kerlingan bahagia di bola matanya yang memberitahuku bahwa uang biru itu akan menjadi hidupnya untuk beberapa hari ke depan, walau hanya selembar. Bahkan karenanya, aku bercita-cita menjadi orang kaya dengan banyak uang untuk bisa memberinya lebih banyak lembar dalam amplop. Dia, Ningsih. Orang di desa memanggilnya Buk Ning.

Aku mengenalnya, dan melihat keyakinannya yang kuat kepada Tuhan; kesetiaannya dalam shalat berjama’ah Maghrib dan Subuh di masjid, do’anya yang khusyu’, juga sapanya yang ramah, suaranya yang lirih saat tadarus di bulan Ramadhan. Ya, aku diam-diam tertarik pada sosok wanita ini. Seringkali secara sengaja aku shalat berjejer dengannya, sebab aku selalu rindu dengan aroma balsam wangi di mukenah lusuh miliknya.

Beberapa bulan setelah suaminya meninggal..

Saat aku kembali pulang kampung, sampailah desas desus mengejutkan pada telingaku.
Buk Ning, bermesraan dengan Sahiq di sawah!”.

Aku sama sekali tidak percaya dengan gosip tentang Buk Ning yang tidak lagi muda telah melakukan perbuatan terlarang dengan suami wanita lain. Bagaimana mungkin?. Ah, aku tetap yakin gosip ini hanya fitnah dari mulut-mulut pendusta atau iri terhadap Buk Ning yang aku kenal sangat taat kepada Tuhan. Lebih kejam lagi, pergunjingan lain yang aku dengar bahwa mereka berdua memang sudah lama menjalin asmara sebelum suami Buk Ning meninggal. Berita macam apa ini?.

Beberapa bulan kemudian setelah aku kembali ke tanah rantau, lagi-lagi mendengar kabar bahwa Buk Ning telah menikah sirih dengan Sahiq. Aku begitu jengah dengan gosip tak beradab semacam itu, kepada orang yang sangat aku hormati. Hingga suatu hari aku menyaksikan dengan mata dan akal sehat; Sahiq sedang duduk santai menyeruput rorkok dan sesekali meneguk kopi di rumah Buk Ning. Bibirku bergetar menyaksikan, mataku melebar, hatiku benar-benar telah dibuat kecewa oleh keyakinanku sendiri pada Buk Ning.

Manusia biasa, mencintai adalah fitrah. Namun jika pelampiasan cinta itu dibenci Tuhan, tidak lagi menjadi fitrah, tapi nafsu. Tapi manusia tetaplah manusia, tempat bersarangnya dosa karena khilaf. Pembelaanku terhadap Buk Ning.

Beberapa belas bulan kemudian, ternyata aku masih menyisakan kekagumanku terhadap Buk Ning, ia masih rajin berjama’ah Maghrib dan Subuh di masjid, sama seperti dulu. Tapi mataku terhenti pada bibirnya yang berubah hitam pekat. Kisahnya, disebabkan ia alergi dengan obat tertentu. Sepertinya alergi yang tidak begitu serius. Aku pun sedikit lega, mengingat sekarang telah ada suami yang menafkahi. Aku tetap menyimpan uang sisihanku, namun bukan lagi untuk Buk Ning.

Musibah …

Buk Ning lumpuh..!! Buk Ning tidak bisa berbicara..!!”. Teriak salah seorang tetangga.

Aku bergegas memakai gamis dan jilbabku untuk mencari tahu kebenaran berita musibah itu. Aku berjalan cepat, tenggorokanku tercekat, berdo’a semoga berita itu tidak tepat. Mataku melebar melihat rumah Buk Ning yang berjarak 100 meter dari rumahku kini telah penuh dengan sandal berwarna-warni.

Demi apa Tuhan, aku dengan sadar melihatnya terbujur kaku di haribaan Ambar putrinya. Ambar bercerita bahwa beberapa jam sebelumnya, ibunya masih bekerja di sawah. Lalu setelah pulang, ia benar-benar menjelma seperti patung. Bahkan tidak dapat berkedip sekalipun. Beberapa hari di rumah sakit tidak membuahkan hasil. Ia terserang stroke. Aku mencari seseorang. Dimana Sahiq? Tidak ada!.

Buk Ning lalu dibantu oleh saudaranya untuk terapi di salah satu desa di Songenep sana. Hasilnya cukup baik, Buk Ning bisa duduk, berkedip, menelan makanan, dan melambaikan tangannya. Namun tetap tidak bisa berbicara, apalagi berjalan. Bersamaan dengan kejadian ini, hatiku bertanya kepada Tuhan, “Buk Ning janda miskin yang taat, mengapa harus dia yang terserang stroke?”. Aku kala itu pun mempertanyakan dimana keadilan Tuhan sesungguhnya. Jiwaku bergejolak, pahala dari Tuhan tampak abu-abu, dan dosa adalah kepastian.

Hingga kini berbulan-bulan lamanya, Buk Ning masih tetap sama. Sepertinya sanak keluarga telah menyerah dengan sakit Buk Ning. Aku meminta pada Tuhan agar Ambar selalu dikuatkan dan sabar merawat ibunya; sebab Sahiq tidak pernah lagi mengunjungi mantan istrinya yang telah lumpuh. Hatiku benar-benar mengutuk laki-laki itu.

A a a wa waa eeee..”, kata Buk Ning manggut-manggut sambil mengelus pipiku setiap kali berkunjung padanya. Entah apa yang akan diucapkannya. Bibirnya yang hitam tersenyum menyeka air mataku yang selalu tumpah ruah tak terbendung ketika di hadapannya. Tenggorokanku selalu panas menerima kenyataan orang yang aku kagumi mendapat musibah seberat ini.

Dengan cara ngesot ia mengikutiku saat aku hendak keluar dari rumahnya, lalu melambaikan tangannya yang mulai tak berdaging. Mataku dan matanya saling menjauh seolah setuju dengan tanya, tentang keadilan Tuhan yang sesungguhnya.



Pamekasan, 26 April 2016

Senin, 28 Maret 2016

RUMUS BAHAGIA



Untuk kesekian ribu kalinya aku merasa bahwa kebahagiaan itu tidak selalu berbanding lurus dengan hal-hal yang bersifat simbolik; entah itu pangkat, gelar raden, pendidikan, nominal uang, dan sebagainya. Banyak orang yang mendapatkan kebahagiaan justru dari hal yang sederhana, jauh dari simbol-simbol seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tentu saja setiap orang mempunyai cara sendiri bagaimana mendapatkan kebahagiaan. Yakinku, kebahagiaan selalu sama. Artinya, setiap orang yang merasakan bahagia selalu sama rasanya. Jiwa lega, ceria, lepas, tanpa beban yang berarti.

Faktanya, aku sering merasa perlu orang lain untuk membangkitkan rasa bahagia, meskipun kata-kata bijak mengatakan bahwa kita sendirilah yang bisa menciptakan kebahagiaan itu. Tapi, aku membuktikan bahwa memang bahagia hampir selalu hadir dengan perantara orang lain. Mungkin tidak hanya aku saja, aku rasa semua orang begitu. Atau jangan-jangan memang hanya aku saja? (kriik kriik kriiiik)

Nah, maksud bahagia tidak selalu berbanding lurus dengan hal yang bersifat simbolik itu adalah bagaimana dan siapa orang lain bisa membangkitkan kita untuk berbahagia, atau setidaknya membuat hati lebih ceria. Dalam hal ini, aku memang agak egois, menganalisa orang lain kira-kira siapa yang bisa membuatku bahagia, lalu aku lebih suka berkumpul dengan mereka, tertawa bersama, saling berbagi, dan Bahagia bersama-sama. Hhmm.. Ini juga yang menyadarkanku bahwa aku adalah manusia normal, punya ego.

Sebagai subyek, aku merasa normal jika aku memiliki kecenderungan. Buktinya, ketika aku akan meninggalkan kota rantau Malang, aku justru lebih peduli dengan Ibu penjual makan langgananku di belakang kos daripada Ibu dan Bapak kosku sendiri. Bahkan, beberapa hari sebelum meninggalkan Malang, hatiku sudah merasa seperti akan patah hati meninggalkan Ibu penjual makan -Bu Tun dan putrinya, Mbak Rini-. Keakraban seperti keluarga sendiri selalu membayang-bayangi kalbu. (ciiee..)

Siapa yang tidak jatuh cinta, seorang Ibu dengan ramah dan tulusnya meladeni pembeli-pembelinya. Aku selalu merasa saat Bu Tun tersenyum, maka seluruh sel-sel dalam tubuhnya juga ikut tersenyum. Di dunia rantau tersebut, aku baru merasakan senyum semacam itu. Putrinya yang juga ramah dan baik semakin membuatku jatuh hati dengan keluarga itu. Lama-lama aku pun menjadi sangat akrab dengan mereka dan sudah seperti keluarga sendiri saja. Dan ternyata, memang terbukti sangat banyak pelanggan yang merasakan hal serupa. Aku semakin merasa normal dengan kecenderunganku terhadap orang lain.
Faktanya lagi, aku terbiasa duduk satu ruangan dengan dosen dengan gelar tertinggi, tapi ternyata aku sadar bahwa aku hadir karena adanya kepentingan akademik, baik itu kepentingan dosen yang membutuhkanku atau kepentinganku sendiri yang membutuhkan dosen. Begitu seterusnya setiap hari. Ternyata, jiwaku suka pilih-pilih lho untuk bisa lepas ~betul-betul bahagia~. (issh isshh iiisshh).
Lalu Bu Tun? Tidak hanya karena aku butuh membeli makan utuk sarapan, tapi sebenarnya jiwaku selalu haus dengan keramahan dan ketulusan beliau. Mungkin aku agak berlebihan, tapi memang itu yang aku rasakan. Padahal banyak penjual makan yang lain, tapi jiwaku tidak menangkap hal serupa seperti pada beliau.
Ya, aku dia-diam banyak belajar dari Bu Tun bahwa aku harus membiasakan tersenyum dengan tulus pada semua orang, tidak pura-pura, bukan fake smile. Namun entah apakah selama ini aku tersenyum dengan kerlingan mata –sebagai cerminan hati- yang meneduhkan seperti beliau? Ah, sudahlah. Aku tidak perlu menjelma seperti beliau hanya untuk tersenyum pada orang lain kan?

Hmm.. Sebagai efek, sebenarnya aku membiasakan diri tersenyum pada orang lain karena aku merasa sangat bahagia saat orang lain membalas senyumku. Itu saja. Kembali sadar, aku bahagia atas perantara orang lain. Aku menyimpulkan bahwa ternyata memang kebahagiaan tidak akan pernah lepas dari peran orang lain, yah.. ^^ 

Pada akhirnya, aku tetap pada keyakinanku bahwa siapapun yang merasa bahagia, maka selalu sama rasanya dengan orang lain saat bahagia. Oleh karena itu, rumus bahagia akan selalu sama sampai kapanpun. Jika aku berusaha membuat orang lain bahagia, maka aku akan bahagia. ^^

Bagaimana dengan teman-teman? Apakah punya pengalaman yang serupa? ^^

Kamis, 24 Maret 2016

Tentang Jodoh

Umur sudah matang, sudah wisuda, lalu datanglah teman membawa kertas wangi terbungkus rapi dengan plastik trasparan. Iya, undangan pernikahan. Lalu datang lagi. Lagi. whatsApp berdering, ternyata undangan lagi. Ditambah lagi celetuk teman dan keluarga, “Diundang terus, kapan ngundang? Tunggu apa lagi?”. Terciptalah sikon semacam tertekan, sesak, dan apabila diintip sel-sel di jantung saling bergulat seperti mengurai benang kusut. Dan itu wajar. -____-‘

Karena jodoh -kata Om Ari Lasso- adalah Misteri Ilahi, maka sebenarnya bukan hak kita sebagai manusia untuk menyingkapnya. Manusia hanya dilahirkan dengan kemampuannya dalam berikhtiar beriringan dengan ketetapan Allah. Kapan dan Siapa merupakan pertanyaan inti dalam masalah ini.

Kapan …

Kita harus selalu sadar bahwa jodoh termasuk amanah dari Allah. Bukankah amanah adalah sesuatu yang harus dipelihara baik-baik dan dipertanggungjawabkan? Nah, Allah Maha Tahu siapa saja hambaNya yang telah mampu mengemban amanahNya tersebut. Hhmm... Jika memang pada umur yang sudah seperempat abad belum mendapatkan jodoh, mungkin memang belum waktunya bertemu dengannya. Simple! #padahal nyesek

Jika ikhtiar dan do’a telah dilakukan, maka selanjutnya adalah tawakkal. Jangan sampai karena terburu-buru atau takut terkejar oleh teman, kita justru memakai motto “Yang penting menikah dulu, yang lain-lain urusan nanti”. Asal pilih begitu saja. Padahal, sering kita dengar kata bijak bahwa “keterburu-buruan tidak pernah memberikan kebaikan apa-apa”.

Walaupun jodoh merupakan ketetapan Allah, kita tidak seharusnya mengabaikan ikhtiar untuk mendapatkan jodoh terbaik. Toh, ini bukan lomba lari marathon, jadi tidak perlu saling mengejar. Bila sudah saatnya, jodoh akan dengan mudahnya menghampiri. Santai, dia sedang otewe. ^^

Siapa…

Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa kita tidak perlu terburu-buru dalam mendapatkan jodoh, menikah dengan konsep asal pilih. Kita berhak untuk berjodoh dengan orang baik-baik. Namun, jangan pernah menuntut mendapatkan jodoh terbaik jika kita sendiri belum menjadi pribadi yang baik. Layakkan diri kita untuk dijemput jodoh terbaik itu. Sekali menikah, menikahlah dalam keberartian. 

Perlu kita ingat bersama bahwa kadar baik atau tidak, sebenarnya hanya Allah-lah yang tahu. Bukankah yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah?. Oleh karena itu, meminta petunjuk adalah jalannya. Berdo’a, shalat. Tidak ada do’a yang tidak terjawab. Allah malu jika hambaNya kembali (dari do’anya) dengan tangan hampa. ^^

Lalu? Lain kali, jika ada undangan lagi yang menghampiri, berdo’a, “InsyaAllah tahun ini”. Aamiin ^^