I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia
membutuhkan makanan untuk melakukan dan melaksanakan semua aktivitasnya.
Berbagai macam makanan dikonsumsi oleh manusia. Mulai dari makanan yang berasal
dari bahan alami dan langsung dimasak sampai makanan yang harus diolah oleh
pabrik terlebih dahulu. Banyak makanan yang memanfaatkan mikroba untuk proses
pembutannya ntah itu bakteri maupun jamur. Kebanyakan, makanan produk olahan
menggunakan mikroba sebagai organisme yang memfermentasi. Jadiapabila, selama
ini kita selalu menganggap bahwa mikroba identik dengan kata bahaya dan
penyakit, hal tersebut salah. Karena banyak mikroba yang berguna sebagai bahan
pembuatan makanan berfermentasi. Beberapa makanan yang memanfatkan mikroba
adalah tempe, yogurt, susu, nata de coco, tape dan masih banyak lagi. Oleh
karena banyak sekali makanan yang memanfaatkan mikroba dalam pembuatannya, maka
terdapat ilmu yang khusus untuk mempelajari mikroba-mikroba yang bermanfaat
dalam pembuatan makanan olahan, yaitu mikrobiologi pangan.
Mikrobiologi
pangan (food microbiology) adalah salah satu cabang dari mikrobiologi yang
mempelajari peranan mikrobia, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan,
pada rantai produksi makanan sejak dari pemanenan/ penangkapan/ pemotongan, penanganan, penyimpanan,
pengolahan, distribusi, pemasaran, penghidangan sampai siap dikonsumsi.
Sejarah
mikrobiologi pangan sebenarnya bersamaan
dengan kehadiran manusia di muka bumi namun sangat sulit ditentukan titik
mulanya secara pasti. Sejak manusia dapat memproduksi makanan sebenarnya juga
mulai dipelajari kerusakan makanan dan timbulnya keracunan makanan. Berikut ini
merupakan sejarah mulai dipelajarinya peranan mikrobia pada bahan pangan yang
terlibat pada kerusakan dan keracunan makanan. Karena banyak sekali makanan yang
memanfaatkan mikroba dalam pembuatannya, maka penulis ingin mempelajari lebih
lanjut mengenai mikrobiologi pangan. Sehingga penulis berinisiatif untuk
menyusun makalah yang berjudul “Mikrobiologi Pangan”
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini akan dipaparkan beberapa masalah, yaitu
1.
Apa saja faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba
pada bahan pangan?
2. Bagaimanakah peran positif mikroba dalam mikrobiologi pangan
?
3.
Bagaimanakah
peran negatif mikroba dalam mikrobiologi pangan?
1.3 Tujuan
Dalam makalah
ini diharapkan mencapai beberapa tujuan, yaitu
1.
Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada bahan
pangan.
2.
Untuk mengetahui peran positif mikroba dalam mikrobiologi pangan.
3.
Untuk mengetahui peran negatif mikroba dalam mikrobiologi pangan.
II. PEMBAHASAN
2.1 Faktor Pertumbuhan Mikroba pada Bahan Pangan
Pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang terdapat pada bahan pangan yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan mikrobia, baik memacu maupun menghambat
pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan tersebut. Contoh faktor intrinsik adalah
pH, aktivitas air (aw), potensial oksidasi-reduksi (Eh), kandungan nutrisi,
senyawa antimikrobia, dan struktur biologis. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah
faktor-faktor yang berasal dari luar bahan pangan, baik dari lingkungan
penyimpanan, yang dapat mempengaruhi bahan pangan dan pertumbuhan mikrobia.
Contoh faktor ekstrinsik adalah suhu penyimpanan, kelembaban relatif (RH = relative
humidity) lingkungan, dan komposisi gas.
Faktor
ekstrinsik dapat dimanfaatkan untuk mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang
kurang menguntungkan. Menurut Nani (2010), Suhu penyimpanan bahan pangan dapat
mempengaruhi mutu bahan pangan tersebut. Suhu penyimpanan yang tepat dapat
menghambat kerusakan bahan pangan secara mikrobiologis dan enzimatis.
Penyimpanan bahan pangan pada suhu refrigerator atau di bawahnya tidak selalu
merupakan cara terbaik untuk menghindari proses kerusakan bahan pangan. Sebagai
contoh, buah pisang lebih baik disimpan pada suhu 13 – 17°C dari pada suhu 5 –
7°C. Sebagian besar sayuran sebaiknya disimpan pada suhu sekitar 10°C seperti
kentang, seledri, kubis, dan lain-lain.
Kelembaban
relatif lingkungan penyimpanan bahan pangan merupakan hal yang sangat penting
dari segi aw bahan pangan dan pertumbuhan mikrobia pada permukaan bahan pangan.
Bila bahan pangan dengan aw rendah disimpan pada lingkungan dengan RH tinggi,
maka bahan pangan tersebut akan menyerap uap air yang terdapat pada lingkungan
sehingga tercapai kesetimbangan. Demikian juga bila bahan pangan dengan aw
tinggi disimpan pada lingkungan dengan RH rendah. Ada hubungan antara RH dan
suhu, yaitu semakin tinggi suhu, maka RH semakin rendah, dan sebaliknya,
semakin rendah suhu, RH semakin tinggi.
Bahan pangan
yang disimpan pada RH rendah dapat mengalami kerusakan pada permukaannya karena
jamur, yeast dan bakteri tertentu. Misalnya daging utuh yang tidak dikemas
dengan rapat dan disimpan di refrigerator dapat mengalami kerusakan pada
permukaan karena RH refrigerator yang tinggi dan mikrobia aerob. Hal ini dapat
dicegah dengan cara pengemasan yang tepat dan mengatur komposisi gas tanpa
harus menurunkan RH lingkungan.
Udara mengandung beberapa jenis gas
seperti O2, CO2, N2, H2, O3 dan lain-lain. Keberadaan dan konsentrasi gas di
udara dapat mempengaruhi pertumbuhan mikrobia. Mikrobia yang membutuhkan O2
untuk pertumbuhannya disebut aerob, sedangkan mikrobia yang tidak membutuhkan
O2 untuk pertumbuhannya dan dapat menggunakan CO2 disebut obligat anaerob. Ada
juga mikrobia yang hanya sedikit membutuhkan O2 untuk pertumbuhannya, yang
disebut fakultatif anaerob. Prinsip ini mendasari pada pengemasan bahan pangan
dengan cara atmosfer terkendali (Controlled
Atmosphere Packaging) dan modifikasi atmosfer (modified atmosphere).
Secara ilustrasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobia pada
bahan pangan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
2.2
Peran Positif Mikroba dalam Mikrobiologi Pangan
Penggunaan mikroorganisme untuk menghasilkan bahan-bahan
tertentu telah diketahui semenjak beberapa abad yang lalu, terutama penggunaan
beberapa jenis khamir dalam industri alkohol, pembuatan roti, keju dan
sebagainya. Berikut ini akan disajikan cara-cara pembuatan makanan fermentasi
secara singkat untuk menjelaskan peranan mikroorganisme yang memberikan keuntungan
bagi kehidupan manusia.
a)
Pembuatan Oncom
Oncom
merupakan produk fermentasi kapang atau jamur dengan bahan utama berupa limbah
yang antara lain adalah: bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas singkong dan
ampas kelapa. Untuk pembuatan oncom dapat dipergunakan kapang tempe atau jamur
dengan bahan utama yaitu Rhizopus
oligosporus yang dapat menghasilkan oncom berwarna hitam. Pada umumnya,
lebih digemari yaitu kapang Neurospora
sitophila yang dapat menghasilkan oncom kuning kemerahan (jingga). Selama
proses pembuatan oncom, Neurospora
sitophila berperan untuk menguraikan pati, protein, dan lemak dengan
pembentukan alcohol dari berbagai eter. Nilai gizi dari oncom sangat tergantung
dari bahan mentah yang dipergunakan (Tarigan, 1988).
b)
Pembuatan
Tempe
Tempe
merupakan salah satu contoh makanan fermentasi yang kaya akan protein, mudah
memperolehnya dengan menggunakan Rhizopus
didalam proses pembuatannya. Peranan mikroba ini yaitu akan menyebabkan
adanya perubahan kimia pada protein, lemak dan karbohidrat, sehingga tempe
lebih mudah dicerna dari kedelai itu sendiri, serta protein yang larut
meningkat menjadi 3 atau 4 kali.
Dalam
pembutan tempe perlu memperhatikan pertumbuhan kapang yang dipengaruhi oleh
factor luar yaitu oksigen, uap air, suhu dan pH. Untuk tumbuh dengan cepat
kapang membutuhkan jumlah oksigen yang cukup. Selain itu, saat pembuatan tempe
juga perlu memperhatikan kadar uap air. Uap air yang berlebihan akan menghambat
difusi oksigen ke dalam kedelai sehingga dapat menghambat pertumbuhan kapang.
Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraph sebelumnya bahawa kapang yang
terlibat dalam proses pembuatan tempe ini adalah Rhizopus sp. Jenis kapang yang dapat menghasilkan tempe kedelai
yang baik yaitu Rhizopus oryzae dan Rhizopus arrhizus, sedangkan untuk tempe
gandum adalah Rhizopus oligosporus.
Selama
proses pembuatan tempe terjadi hidrolisis atau pemecahan dari komponen kedelai
sepertiprotein dan lemak serta terjadi peningkatan kadar vitamin B (Tarigan,
1988).
c)
Pembuatan
Kecap
Kehidupan
dari mikroorganisme ada yang bersifat parasit dan ada pula yang bersifat
menguntungkan bagi kehidupan manusia, yang termasuk di dalamnya adalah
mikroorganisme yang berperan dalam proses pembuatan kecap. Mikroorganisme yang
berguna dalam proses pembuatan kecap adalah jenis kapanng: Aspergilus oryzae, Aspergilus wentii dan Monilia sitophia (Tarigan, 1988).
Berikut merupakan proses pembuatan kecap secara ringkas ditampilkan dalam
bentuk diagram alir.
d)
Pembuatan
Tape
Tape
merupakan salah satu makanan hasil fermentasi dengan bahan utama ketan ataupun
singkong dan ragi sebagai sumber mikrobanya. Menurut Dwidjoseputro (1989) ragi
untuk tape merupakan populasi campuran yang terdiri atas spesies-spesies genus Aspergillus, Saccharomyces, Candida,
Hansenula, dan tidak ketinggalan Acetobacter.
Aspergillus dapat menyederhanakan amilum,
sedangn Saccharomyces, Candida dan Hansenula dapat menguraikan gula menjadi
alkoholdan bermacam-macam zat organic lainnya. Acetobacter dapat merombak alcohol menjadi asam. Bahan utama
dari tape ini merupakan bahan yang kaya akan amilum.
Peran kapang dalam dalam proses tersebut yaitu
menghasilkan enzim yang mampu merombak amilum menjadi gula. Gula ini kemudian
dirombak lagi oleh enzim yang dihasilkan oleh yeast menjadi alcohol yang dalam
proses berikutnya akan menjadi asam karena kegiatan enzim yang dihasilkan
bakteri. Jadi proses perombakan molekul-molekul zat yang ada pada bahan baku
menjadi hasil akhir terutama disebabkan oleh aktivitas-aktivitas mikroba
tersebut di atas. Aktivitas yang dilakukan mikroba tersebut dapat dinamakan
fermentasi. Fermentasi yang terjadi dalam proses pembuatan tape tidak
memerlukan oksigen sehingga fermentasi ini disebut fermentasi anaerob.
e)
Pembuatan
Terasi
Terasi dapat
dibuat dari ikan atau dari rebon melalui proses fermentasi dengan
mengikutsertakan aktivitas bakteri yang melakukan reaksi-reaksi enzimatis untuk
merombak subtract menjadi zat laian yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pada
dasarnya proses pembuatan terasi ini adalah proses fermentasi yang menggunakan
bakteri yang tahan garam (bakteri halophilik), atau oleh aktivitas enzim yang
menyebabkan terjadinya proses autolysis. Akibat perubahan kimia yang terjadi di
dalam makanan yang diakibatkan oleh kelakuan mikroba, dihasilkan gas yan mudah
dicium baunya. Seperti yang ada pada prose pembuatan terasi ini, dihasilkan
amoniak oleh golongan bakteri proteolitik yakni Achromobacter dan Flavobacterium.
Dengan demikian derajat keasaman atau pH dapat berubah dari tahap permulaan
hingga akhir fermentasi pembuatan terasi tersebut (Tarigan, 1988).
2.2 Peran
Negatif Mikroba
dalam Mikrobiologi
Pangan
Pertumbuhan
mikroba pada pangan dapat menimbulkan berbagai perubahan, baik yang merugikan
maupun yang menguntungkan. Mikroba yang merugikan misalnya yang menyebabkan
kerusakan atau kebusukan pangan, dan yang sering menimbulkan penyakit atau
keracunan pangan (menghasilkan toksin). Sebagai contoh
adalah pertumbuhan jamur pada roti dan kacang-kacangan
selama penyimpanan, busuknya buah-buahan dan
sayur-sayuran, penyakit tipus, diare, toksin tempe bongkrek,
botulinin,aflatoksin, dan lain-lain.
Mikroba dapat masuk ke dalam pangan melalui berbagai
cara, misalnya melalui air yang digunakan untuk menyiram tanaman pangan atau
mencuci bahan baku pangan, terutama bila air tersebut tercemar oleh kotoran
hewan atau manusia. Mikroba juga dapat masuk ke dalam pangan melalui tanah
selama penanaman atau pemanenan sayuran, melalui debu dan udara, melalui hewan
dan manusia, dan pencemaran selama tahap-tahap penanganan dan pengolahan
pangan. Dengan mengetahui berbagai sumber pencemaran mikroba, kita dapat
melakukan tindakan untuk mencegah masuknya mikroba pada pangan.
Pangan yang berasal dari tanaman membawa mikroba pada
permukaannya dari sejak ditanam, ditambah dengan pencemaran dari sumber-sumber
lainnya seperti air dan tanah. Air merupakan sumber pencemaran bakteri yang
berasal dari kotoran hewan dan manusia, termasuk di antaranya bakteri-bakteri
penyebab penyakit saluran pencemaan. Tanah merupakan sumber pencemaran
bakteri-bakteri yang berasal dari tanah, terutama bakteri pembentuk spora yang
sangat tahan terhadap keadaan kering. Menurut Nani (2010), Secara
umum mikrobia yang terdapat pada tanah dan air biasanya sama. Genus bakteri yang berasal
dari tanah dan air misalnya Alcaligenes, Bacillus, Citrobacter, Clostridium,
Corynebacterium, Enterobacter, Micrococcus, Proteus, Pseudomonas,
Serratia, Streptomyces, dan lain-lain. Genus
jamur yang berasal dari tanah adalah Aspergillus, Rhizopus, Penicillium,
Trichothecium, Botrytis, Fusarium, dan lain-lain. Sebagian besar genus yeast berasosiasi
dengan tanah dan tanaman.
Pada pangan yang berasal dari hewan, mikroba mungkin
berasal dari kulit dan bulu hewan tersebut dan dari saluran pencernaan, ditambah dengan pencemaran dari lingkungan di sekitarnya. Pangan yang
berasal dari tanaman dan hewan yang terkena penyakit dengan sendirinya juga
membawa mikroba patogen yang menyebabkan penyakit.
Tangan manusia merupakan sumber pencemaran bakteri
yang berasal dari luka atau infeksi kulit, dan salah satu bakteri yang berasal
dari tangan manusia, yaitu Staphylococcus, dapat menyebabkan keracunan pangan.
Selain itu orang yang sedang menderita atau baru sembuh dari penyakit infeksi
saluran pencemaan seperti tifus, kolera dan disenteri, juga merupakan pembawa
bakteri penyebab penyakit tersebut sampai beberapa hari atau beberapa minggu
setelah sembuh. Oleh karena itu orang tersebut dapat menjadi sumber pencemaran
pangan jika ditugaskan menangani atau mengolah pangan.
Foodborne
Disease adalah Penyakit yang disebabkan
kontaminasi bahan pangan oleh mikroorganisme patogen. Dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu:
1. Keracunan Makanan (Food Poisoning),
Timbul akibat memakan makanan yg mengandung toksin. Sel mikroorganisme belum
tentu masih hidup.
2. Infeksi Makanan (Food Infection), Timbul
akibat memakan makanan yg mengandung mikroorganisme patogen.
2.1.1 Contoh-contoh
Keracunan Makanan oleh Mikroorganisme
1. Keracunan makanan oleh Staphylococcus
Staphylococcus
adalah bakteri gram positif, berbentuk kokus, non motil, dan mampu
memfermentasi manitol, menghasilkan koagulase, dan mampu menghasilkan
enterotoksin. Enterotoksin adalah zat toksik yang dihasilkan bakteri ini,
dikenal ada 5 macam enterotoksin yaitu A,B,C, D, dan E. Tidak semua Strain S. aureus menghasilkan enterotoksin
namun semua strain berpotensi menyebabkan keracuanan, 62 % isolat yang
diperoleh dari ayam menghasilkan enterotoksin A. Keracunan makanan oleh Salmonella. Ada tiga varietas yang
berbeda dari bakteri salmonella. (Salmonella typhimurium, salmonella
suis kolera, salmonella enteritidis) Bakteri ini terdapat pada susu, produk
susu dan telur. Gejala keracunan makanan ini termasuk mual, muntah dan diare.
Demam juga umum. S. aureus mampu
menghasilkan enterotoksin B, dan produksi akan lebih cepat pada keadaan aerobik
namun akan menurun apabila konsentrasi HNO2 meningkat. Gejala klinis keracunan Staphylococcus umumnya muncul secara
cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung respon individu terhadap
toksin, jumlah toksin yang termakan, dan status kesehatan korban. Sejumlah kecil sel
bakteri S.aureus yang menghasilkan
toksin sebanyak 1 ng/g makanan mampu menimbulkan gejal gastroenteritis pada
manusia. Jumlah minimal enterotoksin yang dapat menimbulkan sakit pada manusia
adalah 20 ng dan toksin ini menyebabkan peradangan pada permukaan usus sehingga
memunculkan gejala-gejala klinis.
2. Keracunan makanan oleh Clostridium
Clostridium
adalah bakteri gram positif (+), anaerob yang menghasilkan endospora. Salah
satu contoh bakteri Clostridium yang
menyebabkan terjadinya keracunan yaitu Clostridium botulinum. Clostridium
botulinum adalah nama bakteri yang biasanya ditemukan di dalam tanah dan
sedimen atau endapan laut di seluruh dunia. Clostridium botulinum merupakan
bakteri gram positif, membentuk endospora oval subterminal dibentuk pada fase
stationar, berbentuk batang, membentuk spora, gas dan anaerobik. Ada 7 tipe
bakteri ini yang berbeda berdasarkan spesifitas racun yang diproduksi, yaitu
tipe A, B, C, D, E, F. Dan G. Tipe yang berbahaya bagi manusia adalah tipe A,
B, E, dan F. Produksi toksin pada daging kering akan dicegah bila kadar air
dikurangi hingga 30 persen. Toksin dari Clostridium botulinum adalah
suatu protein yang daya toksisitasnya sangat kuat sehingga sejumlah kecil dari
toksin ini sudah cukup menyebabkan kematian. Toksin dapat diserap dalam usus
kecil dan melumpuhkan otot-otot tak sadar. Sifat toksin ini yang penting adalah
labil terhadap panas. Toksin tipe A akan in aktif oleh pemanasan pada suhu 80
ºC selama 6 menit, sedangkan tipe B pada suhu 90 ºC selama 15 menit. Spora
bakteri ini sering ditemukan di permukaan buah-buahan, sayuran dan makanan
laut. Organisme berbentuk batang tumbuh baik dalam kondisi rendah oksigen.
Bakteri dan spora sendiri tidak berbahaya, yang berbahaya adalah racun atau
toksin yang dihasilkan oleh bakteri ketika mereka tumbuh.
Gejala-gejala
penyakit botulisme yaitu pandangan ganda, kelopak mata terkulai, bicara
melantur, mulut kering, pandangan kabur, kesulitan menelan, kelumpuhan otot.
Gejala botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu
makan buruk, otot lisut. Jika gejala penderita penyakit ini tidak segera
teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan gangguan pernafasan.
3. Infeksi oleh Salmonella
Salmonella
termasuk ke dalam famili Enterobactericea yang merupakan bakteri fakultatif
anaerob gram negatif berbentuk batang yang bersifat motil karena mempunyai
flagel serta tidak membentuk spora (Edinger dan Pasculle 2006). Salmonella
dapat menimbulkan infeksi pada saluran
pencernaan (gastrointestinal tract) & tifus (S. typhi).
Bakteri Salmonella masuk ke tubuh penderita melalui makanan atau
minuman yang tercemar bakteri ini. Akibat yang ditimbulkan bila terinfeksi
bakteri Salmonella adalah peradangan pada saluran pencernaan sampai rusaknya
dinding usus. Akibatnya penderita akan mengalami diare, sari makanan yang
masuk dalam tubuh tidak dapat terserap dengan baik sehingga penderita akan
tampak lemah dan kurus. Racun yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella
menyebabkan kerusakan otak, organ reproduksi wanita bahkan yang sedang hamilpun
dapat mengalami keguguran. Satwa yang bisa menularkan penyakit salmonella ini
antara lain primata, iguana, ular, dan burung.
Kebersihan
adalah kunci dari pencegahan. Mencuci tangan dengan sabun dan air panas,
terutama setelah menangani telur-telur, unggas, dan daging mentah kemungkinan
besar mengurangi kesempatan untuk infeksi-infeksi. Penggunaan sabun-sabun
antibakteri telah direkomendasikan oleh beberapa penyelidik-penyelidik. Dengan
menggunakan air minum yang dirawat dengan chlorine, hasil yang dicuci, dan
dengan tidak memakan makanan-makanan yang setengah matang seperti telur-telur,
daging atau makanan-makanan lain, orang-orang dapat mengurangi kesempatan dari
paparan pada Salmonella. Menghindari kontak langsung dengan carriers hewan dari
Salmonella (contohnya, kura-kura, ular-ular, babi-babi) juga mungkin mencegah
penyakit.
Perawatan untuk
demam-demam typhoid atau enteric dengan septicemia adalah tidak kontroversial.
Antibiotik-antibiotik, seringkali diberikan secara intravena, diperlukan.
Jenis-jenis Salmonella ini juga harus diuji untuk ketahanan (resisten)obat
antibiotik karena beberapa jenis-jenis Salmonella telah dilaporkan menjadi
resisten pada banyak antibiotik-antibiotik (juga diistilahkan MDR Salmonella). Antibiotik-antibiotik
yang biasanya dipilih untuk merawat infeksi-infeksi Salmonella adalah fluoroquinolones dan cephalosporins.
4. Keracunan Makanan oleh Escherichia coli
Eschericia coli
merupakan mikroba norrmal dalam tubuh manusia. E. coli patogen dapat
menghasilkan racun (toksin) yang berbahaya dalam jumlah besar. Racun Ini adalah
racun-racun yang menyebabkan diare berdarah, gangguan pencernaan, sindrom
hemolitik uremik, gagal ginjal dan komplikasi medis lainnya. Patogen E. coli
dapat menyebabkan Penyakit ringan sampai penyakit yang mengancam nyawa, tetapi
ini tergantung pada tempat infeksi dan kekuatan pasien. Infeksi oleh E. coli
dikaitkan dengan keracunan makanan, diare, penyakit saluran kemih, pneumonia,
bakteremia, meningitis neonatal dan colangitis. Gejala E. coli adalah
diare, kram perut, mual dan muntah, mirip gejala pencernaan biasa. Bila ini
terjadi pada anak-anak dan orang-orang dengan imunitas yang lemah, hal ini
dapat memperburuk diare parah dan masalah ginjal.
Bakteri E. coli dibagi menjadi 4, yaitu:
-
Enterohemorhagic
E. coli (EHEC), Menghasilkan verotoksin. Menyebabkan hemorhagic diarhea,
gagal ginjal
-
Enterotoxigenic
E. coli (ETEC), Enterotoksigenik Escherichia
coli (ETEC) adalah jenis Escherichia coli dan bakteri penyebab utama diare di negara
berkembang. Setiap tahun, sekitar 210 juta kasus dan 380.000
kematian terjadi, terutama pada anak-anak akibat ETEC.
-
Enteropathogenic
E. coli (EPEC), Mengakibatkan diare, tapi tidak menghasilkan
Enterotoksin. Umumnya menyerang bayi atau anak kecil.
-
Enteroinvasive
E. coli (EIEC), menyebabkan diare
dan demam tinggi. EIEC sangat invasif, dan mereka
memanfaatkan protein adhesin
untuk mengikat dan masuk ke sel-sel usus. Mereka
tidak menghasilkan racun, tetapi sangat merusak dinding
usus melalui penghancuran sel
mekanis.
5. Keracunan makanan oleh kapang (jamur)
Cemaran beberapa
jenis kapang seperti Aspergillus sp., Fusarium sp., Penicillium sp., dan Mucor sp. Dapat ditemui pada makanan dan
bahan-bahan penyusunnya terutama jagung. Gangguan atau penyakit bukan hanya
disebabkan oleh kapang, tetapi
juga oleh toksin yang dihasilkan kapang tersebut. Beberapa faktor yang
mendukung terjadinya kontaminasi kapang dan toksin pada makanan terutama adalah
kelembapan dan suhu. Di Indonesia, Aspergillus
sp. khususnya A. flavus merupakan
kapang yang dominan mencemari makanan dan bahan penyusun pangan. Pencegahan
cemaran kapang dan mikotoksin bisa dilakukan melalui deteksi dini dengan
inspeksi visual pada makanan dan bahan pangan, serta manajemen yang baik adalah
pilihan terbaik dibandingkan dengan pengobatan.
Mikotoksikosis adalah kejadian keracunan
karena korban menelan pakan atau makanan yang mengandung toksin yang dihasilkan
berbagai jenis kapang. Ada lima jenis mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan,
yaitu aflatoksin, fumonisin, okratoksin, trikotesena, dan zearalenon.
Aflatoksin terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan A.
parasiticus.
Belum ada pengobatan yang
efektif dan ekonomis untuk keracunan mikotoksin. Faktor ekonomis menjadi
pertimbangan peternak untuk melakukan pengobatan akibat keracunan mikotoksin.
Beberapa pengikat mikotoksin seperti alfafa, sodium bentonit, zeolit, arang
aktif, dan kultur khamir (Saccharomyces cerevisiae) dapat digunakan
untuk mengurangi racun. Obat tradisional seperti sambiloto dan bawang putih
dapat pula digunakan. Sebaiknya selain diberi pengikat mikotoksin, hewan juga
perlu diberi asupan elektrolit, vitamin, dan gizi yang cukup.
Dari paparan
di atas kita mengetahui bahwa mikroba dapat berperan negatif ketika mikroba
tersebut memberikan efek yang merugikan bagi manusia. Untuk mengatasi hal
tersebut dapat diupayakan dengan proses pengawetan dan pengemasan makanan.
Berikut akan disajikan mengenai kegiatan pengawetan dan pengemasan makanan:
2.2.1
Pengawetan Makanan
Cara dan usaha mengawetkan makanan telah lama dikenal
dan dilakukan oleh penghuni daerah dingin maupun daerah panas. Hal demikian
dilakukan agar dapat mengatasi musim dingin dan musim paceklik. Cara paling
murah dan paling sederhana ialah dengan cara pengeringan. Pengeringan dapat
dilakukan dengan cara penjemuran di bawah terik matahari atau pemanasan dengan
api. Contohnya kacang-kacangan, padi, kerupuk dll dijemur terlabuh dahulu
sampai kering kemudian disimpan di tempat yang kering pula. Jelaslah, makanan
yang mengalami pengeringan seperti contoh tersebut, merupakan kondisi yang tdak
baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur.
Masyarakat yang lebih maju memilki
cara lain untuk mengawetkan makanan dan usaha-usaha dalam hal ini merupakan
tugas teknologi makanan. Mikroorganisme-mikroorganisme memiliki kepekaan
terhadap konsentrasi garam dapur yang berbeda-beda. Maka secara eksperimental
dapat diketahui bahwa pada umumnya mikroorganisme tidak dapat hidup dalam
larutan NaCl 5-30%. Bakteri yang suka
garam (halofil) pun mati dalam konsentrasi garam 30%. Selain itu, orang juga
bias mengawetkan makanan dengan menggunakan gula. Pada umumnya bakteri mati
pada larutan gula, 45%, akan tetapi bakteri yang osmofil bias tahan dalam
larutan gula 60%. Bila ingin mengawetkan dengan menggunakan asam-asaman, maka perlu
diketahui pHnya harus kurang dari 6 atau lebih dari 8. Jamur tidak dapat tumbuh
dalam lingkungan basa lebih dari pH 8. Banyak jenis makanan cukup
dipasteurisasikan lebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam kaleng. Pasteurisasi
tidak membunuh spora, akan tetapi dengan proses ini rasa dan aroma makanan
tidak akan banyak berkurang. Penyimpanan makanan dapat dilakukan di dalam
lemari es dimana suhunya kira-kira 2-80C (Dwidjoseputro, 1989).
2.2.2 Pengemasan Makanan
Controlled
Atmosphere Packaging ( CAP ) adalah proses
evakuasi oksigen sesempurna mungkin dari proses vakum kemudian digantikan
dengan nitrogen atau karbon dioksida. CAP dapat digunakan untuk pengemasan
daging proses iris yang sulit dipisah-pisahkan bila dikemas vakum. Sedangkan pengemasan atmosfir
termodifikasi (MAP) adalah pengemasan produk dengan menggunakan bahan kemasan
yang dapat menahan keluar masuknya gas sehingga konsentrasi gas di dalam
kemasan berubah dan ini menyebabkan laju respirasi produk menurun, mengurangi
pertumbuhan mikrobia, mengurangi kerusakan oleh enzim serta memperpanjang umur
simpan. MAP banyak digunakan dalam teknologi olah minimal buah-buahan dan
sayuran segar serta bahan-bahan pangan yang siap santap (ready-to eat).
Ide penggunaan kemasan aktif bukanlah
hal yang baru, tetapi keuntungan dari segi mutu dan nilai ekonomi dari teknik
ini merupakan perkembangan terbaru dalam industri kemasan bahan pangan.
Keuntungan dari teknik kemasan aktif adalah tidak mahal (relatif terhadap harga
produk yang dikemas), ramah lingkungan, mempunyai nilai estetika yang dapat
diterima dan sesuai untuk sistem distribusi.
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan sangat dibedakan
menjadi 2 faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik adalah faktor-faktor yang terdapat pada bahan pangan, contoh faktor
intrinsik adalah pH, aktivitas air (aw), potensial oksidasi-reduksi (Eh),
kandungan nutrisi, senyawa antimikrobia, dan struktur biologis. Sedangkan
faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari luar bahan pangan, contoh
faktor ekstrinsik adalah suhu penyimpanan, kelembaban relatif (RH = relative
humidity) lingkungan, dan komposisi gas.
2. Peranan positif dari mikroba adalah
sebagai salah satu bahan pembutan makanan berfermentasi, seperti tempe, tape,
nata de coco, dan sebagainya
3.
Peranan
negatif mikroba adalah ada mikroba yang menyebabkan kerusakan
atau kebusukan pangan, dan yang sering menimbulkan penyakit atau keracunan
pangan (menghasilkan toksin).
3.2 Saran
1.
Sebelum
mengkonsumsi makanan, sebaiknya konsumen mengecek keadaan makanan, apakah
makanan tersebut masih layak dimakan ataukah tidak, layak di sini dalam artian
terdapat mikroba yang merugikan atau tidak. Karena makanan yang telah ditumbuhi
miroba yang merugikan, akan bersifat racun dan membahayakan bagi kesehatan
2. Janganlah selalu beranggapan bahwa semua
mikroba adalah merugikan, namun ada beberapa mikroba yang bermanfaat dalam
pembuatan makanan berfermentasi