Kamis, 22 Desember 2011

MIKROBIOLOGI PANGAN


I.       PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia membutuhkan makanan untuk melakukan dan melaksanakan semua aktivitasnya. Berbagai macam makanan dikonsumsi oleh manusia. Mulai dari makanan yang berasal dari bahan alami dan langsung dimasak sampai makanan yang harus diolah oleh pabrik terlebih dahulu. Banyak makanan yang memanfaatkan mikroba untuk proses pembutannya ntah itu bakteri maupun jamur. Kebanyakan, makanan produk olahan menggunakan mikroba sebagai organisme yang memfermentasi. Jadiapabila, selama ini kita selalu menganggap bahwa mikroba identik dengan kata bahaya dan penyakit, hal tersebut salah. Karena banyak mikroba yang berguna sebagai bahan pembuatan makanan berfermentasi. Beberapa makanan yang memanfatkan mikroba adalah tempe, yogurt, susu, nata de coco, tape dan masih banyak lagi. Oleh karena banyak sekali makanan yang memanfaatkan mikroba dalam pembuatannya, maka terdapat ilmu yang khusus untuk mempelajari mikroba-mikroba yang bermanfaat dalam pembuatan makanan olahan, yaitu mikrobiologi pangan.
Mikrobiologi pangan (food microbiology) adalah salah satu cabang dari mikrobiologi yang mempelajari peranan mikrobia, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, pada rantai produksi makanan sejak dari pemanenan/ penangkapan/ pemotongan, penanganan, penyimpanan, pengolahan, distribusi, pemasaran, penghidangan sampai siap dikonsumsi.
Sejarah mikrobiologi pangan sebenarnya  bersamaan dengan kehadiran manusia di muka bumi namun sangat sulit ditentukan titik mulanya secara pasti. Sejak manusia dapat memproduksi makanan sebenarnya juga mulai dipelajari kerusakan makanan dan timbulnya keracunan makanan. Berikut ini merupakan sejarah mulai dipelajarinya peranan mikrobia pada bahan pangan yang terlibat pada kerusakan dan keracunan makanan. Karena banyak sekali makanan yang memanfaatkan mikroba dalam pembuatannya, maka penulis ingin mempelajari lebih lanjut mengenai mikrobiologi pangan. Sehingga penulis berinisiatif untuk menyusun makalah yang berjudul “Mikrobiologi Pangan”

1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa masalah, yaitu
1.      Apa saja faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada bahan pangan?
2.      Bagaimanakah peran positif mikroba dalam mikrobiologi pangan ?
3.      Bagaimanakah peran negatif mikroba dalam mikrobiologi pangan?
1.3 Tujuan
Dalam makalah ini diharapkan mencapai beberapa tujuan, yaitu
1.      Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada bahan pangan.
2.      Untuk mengetahui peran positif mikroba dalam mikrobiologi pangan.
3.      Untuk mengetahui peran negatif mikroba dalam mikrobiologi pangan.

II. PEMBAHASAN
2.1 Faktor Pertumbuhan Mikroba pada Bahan Pangan
Pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang terdapat pada bahan pangan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikrobia, baik memacu maupun menghambat pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan tersebut. Contoh faktor intrinsik adalah pH, aktivitas air (aw), potensial oksidasi-reduksi (Eh), kandungan nutrisi, senyawa antimikrobia, dan struktur biologis. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari luar bahan pangan, baik dari lingkungan penyimpanan, yang dapat mempengaruhi bahan pangan dan pertumbuhan mikrobia. Contoh faktor ekstrinsik adalah suhu penyimpanan, kelembaban relatif (RH = relative humidity) lingkungan, dan komposisi gas.
Faktor ekstrinsik dapat dimanfaatkan untuk mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang kurang menguntungkan. Menurut Nani (2010), Suhu penyimpanan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu bahan pangan tersebut. Suhu penyimpanan yang tepat dapat menghambat kerusakan bahan pangan secara mikrobiologis dan enzimatis. Penyimpanan bahan pangan pada suhu refrigerator atau di bawahnya tidak selalu merupakan cara terbaik untuk menghindari proses kerusakan bahan pangan. Sebagai contoh, buah pisang lebih baik disimpan pada suhu 13 – 17°C dari pada suhu 5 – 7°C. Sebagian besar sayuran sebaiknya disimpan pada suhu sekitar 10°C seperti kentang, seledri, kubis, dan lain-lain.
Kelembaban relatif lingkungan penyimpanan bahan pangan merupakan hal yang sangat penting dari segi aw bahan pangan dan pertumbuhan mikrobia pada permukaan bahan pangan. Bila bahan pangan dengan aw rendah disimpan pada lingkungan dengan RH tinggi, maka bahan pangan tersebut akan menyerap uap air yang terdapat pada lingkungan sehingga tercapai kesetimbangan. Demikian juga bila bahan pangan dengan aw tinggi disimpan pada lingkungan dengan RH rendah. Ada hubungan antara RH dan suhu, yaitu semakin tinggi suhu, maka RH semakin rendah, dan sebaliknya, semakin rendah suhu, RH semakin tinggi.
Bahan pangan yang disimpan pada RH rendah dapat mengalami kerusakan pada permukaannya karena jamur, yeast dan bakteri tertentu. Misalnya daging utuh yang tidak dikemas dengan rapat dan disimpan di refrigerator dapat mengalami kerusakan pada permukaan karena RH refrigerator yang tinggi dan mikrobia aerob. Hal ini dapat dicegah dengan cara pengemasan yang tepat dan mengatur komposisi gas tanpa harus menurunkan RH lingkungan.
Udara mengandung beberapa jenis gas seperti O2, CO2, N2, H2, O3 dan lain-lain. Keberadaan dan konsentrasi gas di udara dapat mempengaruhi pertumbuhan mikrobia. Mikrobia yang membutuhkan O2 untuk pertumbuhannya disebut aerob, sedangkan mikrobia yang tidak membutuhkan O2 untuk pertumbuhannya dan dapat menggunakan CO2 disebut obligat anaerob. Ada juga mikrobia yang hanya sedikit membutuhkan O2 untuk pertumbuhannya, yang disebut fakultatif anaerob. Prinsip ini mendasari pada pengemasan bahan pangan dengan cara atmosfer terkendali (Controlled Atmosphere Packaging) dan modifikasi atmosfer (modified atmosphere).
  Secara ilustrasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan dapat dilihat pada gambar berikut ini:

2.2 Peran Positif Mikroba dalam Mikrobiologi Pangan
            Penggunaan mikroorganisme untuk menghasilkan bahan-bahan tertentu telah diketahui semenjak beberapa abad yang lalu, terutama penggunaan beberapa jenis khamir dalam industri alkohol, pembuatan roti, keju dan sebagainya. Berikut ini akan disajikan cara-cara pembuatan makanan fermentasi secara singkat untuk menjelaskan peranan mikroorganisme yang memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia.
a)      Pembuatan Oncom
Oncom merupakan produk fermentasi kapang atau jamur dengan bahan utama berupa limbah yang antara lain adalah: bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas singkong dan ampas kelapa. Untuk pembuatan oncom dapat dipergunakan kapang tempe atau jamur dengan bahan utama yaitu Rhizopus oligosporus yang dapat menghasilkan oncom berwarna hitam. Pada umumnya, lebih digemari yaitu kapang Neurospora sitophila yang dapat menghasilkan oncom kuning kemerahan (jingga). Selama proses pembuatan oncom, Neurospora sitophila berperan untuk menguraikan pati, protein, dan lemak dengan pembentukan alcohol dari berbagai eter. Nilai gizi dari oncom sangat tergantung dari bahan mentah yang dipergunakan (Tarigan, 1988). 

b)      Pembuatan Tempe
Tempe merupakan salah satu contoh makanan fermentasi yang kaya akan protein, mudah memperolehnya dengan menggunakan Rhizopus didalam proses pembuatannya. Peranan mikroba ini yaitu akan menyebabkan adanya perubahan kimia pada protein, lemak dan karbohidrat, sehingga tempe lebih mudah dicerna dari kedelai itu sendiri, serta protein yang larut meningkat menjadi 3 atau 4 kali.
Dalam pembutan tempe perlu memperhatikan pertumbuhan kapang yang dipengaruhi oleh factor luar yaitu oksigen, uap air, suhu dan pH. Untuk tumbuh dengan cepat kapang membutuhkan jumlah oksigen yang cukup. Selain itu, saat pembuatan tempe juga perlu memperhatikan kadar uap air. Uap air yang berlebihan akan menghambat difusi oksigen ke dalam kedelai sehingga dapat menghambat pertumbuhan kapang. Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraph sebelumnya bahawa kapang yang terlibat dalam proses pembuatan tempe ini adalah Rhizopus sp. Jenis kapang yang dapat menghasilkan tempe kedelai yang baik yaitu Rhizopus oryzae dan Rhizopus arrhizus, sedangkan untuk tempe gandum adalah Rhizopus oligosporus.
Selama proses pembuatan tempe terjadi hidrolisis atau pemecahan dari komponen kedelai sepertiprotein dan lemak serta terjadi peningkatan kadar vitamin B (Tarigan, 1988).

c)      Pembuatan Kecap
Kehidupan dari mikroorganisme ada yang bersifat parasit dan ada pula yang bersifat menguntungkan bagi kehidupan manusia, yang termasuk di dalamnya adalah mikroorganisme yang berperan dalam proses pembuatan kecap. Mikroorganisme yang berguna dalam proses pembuatan kecap adalah jenis kapanng: Aspergilus oryzae, Aspergilus wentii dan Monilia sitophia (Tarigan, 1988).
Berikut merupakan proses pembuatan kecap secara ringkas ditampilkan dalam bentuk diagram alir.
 

d)     Pembuatan Tape
Tape merupakan salah satu makanan hasil fermentasi dengan bahan utama ketan ataupun singkong dan ragi sebagai sumber mikrobanya. Menurut Dwidjoseputro (1989) ragi untuk tape merupakan populasi campuran yang terdiri atas spesies-spesies genus Aspergillus, Saccharomyces, Candida, Hansenula, dan tidak ketinggalan Acetobacter.
Aspergillus dapat menyederhanakan amilum, sedangn Saccharomyces, Candida dan Hansenula dapat menguraikan gula menjadi alkoholdan bermacam-macam zat organic lainnya. Acetobacter dapat merombak alcohol menjadi asam. Bahan utama dari tape ini merupakan bahan yang kaya akan amilum.
            Peran kapang dalam dalam proses tersebut yaitu menghasilkan enzim yang mampu merombak amilum menjadi gula. Gula ini kemudian dirombak lagi oleh enzim yang dihasilkan oleh yeast menjadi alcohol yang dalam proses berikutnya akan menjadi asam karena kegiatan enzim yang dihasilkan bakteri. Jadi proses perombakan molekul-molekul zat yang ada pada bahan baku menjadi hasil akhir terutama disebabkan oleh aktivitas-aktivitas mikroba tersebut di atas. Aktivitas yang dilakukan mikroba tersebut dapat dinamakan fermentasi. Fermentasi yang terjadi dalam proses pembuatan tape tidak memerlukan oksigen sehingga fermentasi ini disebut fermentasi anaerob.               
                                                     
e)      Pembuatan Terasi
Terasi dapat dibuat dari ikan atau dari rebon melalui proses fermentasi dengan mengikutsertakan aktivitas bakteri yang melakukan reaksi-reaksi enzimatis untuk merombak subtract menjadi zat laian yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pada dasarnya proses pembuatan terasi ini adalah proses fermentasi yang menggunakan bakteri yang tahan garam (bakteri halophilik), atau oleh aktivitas enzim yang menyebabkan terjadinya proses autolysis. Akibat perubahan kimia yang terjadi di dalam makanan yang diakibatkan oleh kelakuan mikroba, dihasilkan gas yan mudah dicium baunya. Seperti yang ada pada prose pembuatan terasi ini, dihasilkan amoniak oleh golongan bakteri proteolitik yakni Achromobacter dan Flavobacterium. Dengan demikian derajat keasaman atau pH dapat berubah dari tahap permulaan hingga akhir fermentasi pembuatan terasi tersebut (Tarigan, 1988).

2.2 Peran Negatif Mikroba dalam Mikrobiologi Pangan
Pertumbuhan mikroba pada pangan dapat menimbulkan berbagai perubahan, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Mikroba yang merugikan misalnya yang menyebabkan kerusakan atau kebusukan pangan, dan yang sering menimbulkan penyakit atau keracunan pangan (menghasilkan toksin). Sebagai contoh adalah pertumbuhan jamur pada roti dan kacang-kacangan selama penyimpanan, busuknya buah-buahan dan sayur-sayuran, penyakit tipus, diare, toksin tempe bongkrek, botulinin,aflatoksin, dan lain-lain.
Mikroba dapat masuk ke dalam pangan melalui berbagai cara, misalnya melalui air yang digunakan untuk menyiram tanaman pangan atau mencuci bahan baku pangan, terutama bila air tersebut tercemar oleh kotoran hewan atau manusia. Mikroba juga dapat masuk ke dalam pangan melalui tanah selama penanaman atau pemanenan sayuran, melalui debu dan udara, melalui hewan dan manusia, dan pencemaran selama tahap-tahap penanganan dan pengolahan pangan. Dengan mengetahui berbagai sumber pencemaran mikroba, kita dapat melakukan tindakan untuk mencegah masuknya mikroba pada pangan.
Pangan yang berasal dari tanaman membawa mikroba pada permukaannya dari sejak ditanam, ditambah dengan pencemaran dari sumber-sumber lainnya seperti air dan tanah. Air merupakan sumber pencemaran bakteri yang berasal dari kotoran hewan dan manusia, termasuk di antaranya bakteri-bakteri penyebab penyakit saluran pencemaan. Tanah merupakan sumber pencemaran bakteri-bakteri yang berasal dari tanah, terutama bakteri pembentuk spora yang sangat tahan terhadap keadaan kering. Menurut Nani (2010), Secara umum mikrobia yang terdapat pada tanah dan air biasanya sama. Genus bakteri yang berasal dari tanah dan air misalnya Alcaligenes, Bacillus, Citrobacter, Clostridium, Corynebacterium, Enterobacter, Micrococcus, Proteus, Pseudomonas, Serratia, Streptomyces, dan lain-lain. Genus jamur yang berasal dari tanah adalah Aspergillus, Rhizopus, Penicillium, Trichothecium, Botrytis, Fusarium, dan lain-lain. Sebagian besar genus yeast berasosiasi dengan tanah dan tanaman.
Pada pangan yang berasal dari hewan, mikroba mungkin berasal dari kulit dan bulu hewan tersebut dan dari saluran pencernaan, ditambah dengan pencemaran dari lingkungan di sekitarnya. Pangan yang berasal dari tanaman dan hewan yang terkena penyakit dengan sendirinya juga membawa mikroba patogen yang menyebabkan penyakit.
Tangan manusia merupakan sumber pencemaran bakteri yang berasal dari luka atau infeksi kulit, dan salah satu bakteri yang berasal dari tangan manusia, yaitu Staphylococcus, dapat menyebabkan keracunan pangan. Selain itu orang yang sedang menderita atau baru sembuh dari penyakit infeksi saluran pencemaan seperti tifus, kolera dan disenteri, juga merupakan pembawa bakteri penyebab penyakit tersebut sampai beberapa hari atau beberapa minggu setelah sembuh. Oleh karena itu orang tersebut dapat menjadi sumber pencemaran pangan jika ditugaskan menangani atau mengolah pangan.
Foodborne Disease adalah Penyakit yang disebabkan kontaminasi bahan pangan oleh mikroorganisme patogen. Dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1.      Keracunan Makanan (Food Poisoning), Timbul akibat memakan makanan yg mengandung toksin. Sel mikroorganisme belum tentu masih hidup.
2.      Infeksi Makanan (Food Infection), Timbul akibat memakan makanan yg mengandung mikroorganisme patogen.

2.1.1 Contoh-contoh Keracunan Makanan oleh Mikroorganisme
1.      Keracunan makanan oleh Staphylococcus
Staphylococcus adalah bakteri gram positif, berbentuk kokus, non motil, dan mampu memfermentasi manitol, menghasilkan koagulase, dan mampu menghasilkan enterotoksin. Enterotoksin adalah zat toksik yang dihasilkan bakteri ini, dikenal ada 5 macam enterotoksin yaitu A,B,C, D, dan E. Tidak semua Strain S. aureus menghasilkan enterotoksin namun semua strain berpotensi menyebabkan keracuanan, 62 % isolat yang diperoleh dari ayam menghasilkan enterotoksin A. Keracunan makanan oleh Salmonella. Ada tiga varietas yang berbeda dari bakteri salmonella. (Salmonella typhimurium, salmonella suis kolera, salmonella enteritidis) Bakteri ini terdapat pada susu, produk susu dan telur. Gejala keracunan makanan ini termasuk mual, muntah dan diare. Demam juga umum. S. aureus mampu menghasilkan enterotoksin B, dan produksi akan lebih cepat pada keadaan aerobik namun akan menurun apabila konsentrasi HNO2 meningkat. Gejala klinis keracunan Staphylococcus umumnya muncul secara cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung respon individu terhadap toksin, jumlah toksin yang termakan, dan status kesehatan korban. Sejumlah kecil sel bakteri S.aureus yang menghasilkan toksin sebanyak 1 ng/g makanan mampu menimbulkan gejal gastroenteritis pada manusia. Jumlah minimal enterotoksin yang dapat menimbulkan sakit pada manusia adalah 20 ng dan toksin ini menyebabkan peradangan pada permukaan usus sehingga memunculkan gejala-gejala klinis.

2.      Keracunan makanan oleh Clostridium
Clostridium adalah bakteri gram positif (+), anaerob yang menghasilkan endospora. Salah satu contoh bakteri Clostridium yang menyebabkan terjadinya keracunan yaitu Clostridium botulinum. Clostridium botulinum adalah nama bakteri yang biasanya ditemukan di dalam tanah dan sedimen atau endapan laut di seluruh dunia. Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, membentuk endospora oval subterminal dibentuk pada fase stationar, berbentuk batang, membentuk spora, gas dan anaerobik. Ada 7 tipe bakteri ini yang berbeda berdasarkan spesifitas racun yang diproduksi, yaitu tipe A, B, C, D, E, F. Dan G. Tipe yang berbahaya bagi manusia adalah tipe A, B, E, dan F. Produksi toksin pada daging kering akan dicegah bila kadar air dikurangi hingga 30 persen. Toksin dari Clostridium botulinum adalah suatu protein yang daya toksisitasnya sangat kuat sehingga sejumlah kecil dari toksin ini sudah cukup menyebabkan kematian. Toksin dapat diserap dalam usus kecil dan melumpuhkan otot-otot tak sadar. Sifat toksin ini yang penting adalah labil terhadap panas. Toksin tipe A akan in aktif oleh pemanasan pada suhu 80 ºC selama 6 menit, sedangkan tipe B pada suhu 90 ºC selama 15 menit. Spora bakteri ini sering ditemukan di permukaan buah-buahan, sayuran dan makanan laut. Organisme berbentuk batang tumbuh baik dalam kondisi rendah oksigen. Bakteri dan spora sendiri tidak berbahaya, yang berbahaya adalah racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri ketika mereka tumbuh.
Gejala-gejala penyakit botulisme yaitu pandangan ganda, kelopak mata terkulai, bicara melantur, mulut kering, pandangan kabur, kesulitan menelan, kelumpuhan otot. Gejala botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu makan buruk, otot lisut. Jika gejala penderita penyakit ini tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan gangguan pernafasan.
3.      Infeksi oleh Salmonella
Salmonella termasuk ke dalam famili Enterobactericea yang merupakan bakteri fakultatif anaerob gram negatif berbentuk batang yang bersifat motil karena mempunyai flagel serta tidak membentuk spora (Edinger dan Pasculle 2006). Salmonella dapat  menimbulkan infeksi pada saluran pencernaan (gastrointestinal tract) & tifus (S. typhi).
Bakteri Salmonella masuk ke tubuh penderita melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri ini. Akibat yang ditimbulkan bila terinfeksi bakteri Salmonella adalah peradangan pada saluran pencernaan sampai rusaknya dinding usus. Akibatnya  penderita akan mengalami diare, sari makanan yang masuk dalam tubuh tidak dapat terserap dengan baik sehingga penderita akan tampak lemah dan kurus. Racun yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella menyebabkan kerusakan otak, organ reproduksi wanita bahkan yang sedang hamilpun dapat mengalami keguguran. Satwa yang bisa menularkan penyakit salmonella ini antara lain primata, iguana, ular, dan burung.
Kebersihan adalah kunci dari pencegahan. Mencuci tangan dengan sabun dan air panas, terutama setelah menangani telur-telur, unggas, dan daging mentah kemungkinan besar mengurangi kesempatan untuk infeksi-infeksi. Penggunaan sabun-sabun antibakteri telah direkomendasikan oleh beberapa penyelidik-penyelidik. Dengan menggunakan air minum yang dirawat dengan chlorine, hasil yang dicuci, dan dengan tidak memakan makanan-makanan yang setengah matang seperti telur-telur, daging atau makanan-makanan lain, orang-orang dapat mengurangi kesempatan dari paparan pada Salmonella. Menghindari kontak langsung dengan carriers hewan dari Salmonella (contohnya, kura-kura, ular-ular, babi-babi) juga mungkin mencegah penyakit.
Perawatan untuk demam-demam typhoid atau enteric dengan septicemia adalah tidak kontroversial. Antibiotik-antibiotik, seringkali diberikan secara intravena, diperlukan. Jenis-jenis Salmonella ini juga harus diuji untuk ketahanan (resisten)obat antibiotik karena beberapa jenis-jenis Salmonella telah dilaporkan menjadi resisten pada banyak antibiotik-antibiotik (juga diistilahkan MDR Salmonella). Antibiotik-antibiotik yang biasanya dipilih untuk merawat infeksi-infeksi Salmonella adalah fluoroquinolones dan cephalosporins.
4.      Keracunan Makanan oleh Escherichia coli
Eschericia coli merupakan mikroba norrmal dalam tubuh manusia. E. coli patogen dapat menghasilkan racun (toksin) yang berbahaya dalam jumlah besar. Racun Ini adalah racun-racun yang menyebabkan diare berdarah, gangguan pencernaan, sindrom hemolitik uremik, gagal ginjal dan komplikasi medis lainnya. Patogen E. coli dapat menyebabkan Penyakit ringan sampai penyakit yang mengancam nyawa, tetapi ini tergantung pada tempat infeksi dan kekuatan pasien. Infeksi oleh E. coli dikaitkan dengan keracunan makanan, diare, penyakit saluran kemih, pneumonia, bakteremia, meningitis neonatal dan colangitis. Gejala E. coli adalah diare, kram perut, mual dan muntah, mirip gejala pencernaan biasa. Bila ini terjadi pada anak-anak dan orang-orang dengan imunitas yang lemah, hal ini dapat memperburuk diare parah dan masalah ginjal.
Bakteri E. coli dibagi menjadi 4, yaitu:
-          Enterohemorhagic E. coli (EHEC), Menghasilkan verotoksin. Menyebabkan hemorhagic diarhea, gagal ginjal
-          Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah jenis Escherichia coli dan bakteri penyebab utama diare di negara berkembang. Setiap tahun, sekitar 210 juta kasus dan 380.000 kematian terjadi, terutama pada anak-anak akibat ETEC.
-          Enteropathogenic E. coli (EPEC), Mengakibatkan diare, tapi tidak menghasilkan Enterotoksin. Umumnya menyerang bayi atau anak kecil.
-          Enteroinvasive E. coli (EIEC), menyebabkan diare dan demam tinggi. EIEC sangat invasif, dan mereka memanfaatkan protein adhesin untuk mengikat dan masuk ke sel-sel usus. Mereka tidak menghasilkan racun, tetapi sangat merusak dinding usus melalui penghancuran sel mekanis.
5.      Keracunan makanan oleh kapang (jamur)
Cemaran beberapa jenis kapang seperti Aspergillus sp., Fusarium sp., Penicillium sp., dan Mucor sp. Dapat ditemui pada makanan dan bahan-bahan penyusunnya terutama jagung. Gangguan atau penyakit bukan hanya disebabkan oleh kapang, tetapi juga oleh toksin yang dihasilkan kapang tersebut. Beberapa faktor yang mendukung terjadinya kontaminasi kapang dan toksin pada makanan terutama adalah kelembapan dan suhu. Di Indonesia, Aspergillus sp. khususnya A. flavus merupakan kapang yang dominan mencemari makanan dan bahan penyusun pangan. Pencegahan cemaran kapang dan mikotoksin bisa dilakukan melalui deteksi dini dengan inspeksi visual pada makanan dan bahan pangan, serta manajemen yang baik adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan pengobatan.
Mikotoksikosis adalah kejadian keracunan karena korban menelan pakan atau makanan yang mengandung toksin yang dihasilkan berbagai jenis kapang. Ada lima jenis mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan, yaitu aflatoksin, fumonisin, okratoksin, trikotesena, dan zearalenon. Aflatoksin terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus.
Belum ada pengobatan yang efektif dan ekonomis untuk keracunan mikotoksin. Faktor ekonomis menjadi pertimbangan peternak untuk melakukan pengobatan akibat keracunan mikotoksin. Beberapa pengikat mikotoksin seperti alfafa, sodium bentonit, zeolit, arang aktif, dan kultur khamir (Saccharomyces cerevisiae) dapat digunakan untuk mengurangi racun. Obat tradisional seperti sambiloto dan bawang putih dapat pula digunakan. Sebaiknya selain diberi pengikat mikotoksin, hewan juga perlu diberi asupan elektrolit, vitamin, dan gizi yang cukup.
Dari paparan di atas kita mengetahui bahwa mikroba dapat berperan negatif ketika mikroba tersebut memberikan efek yang merugikan bagi manusia. Untuk mengatasi hal tersebut dapat diupayakan dengan proses pengawetan dan pengemasan makanan. Berikut akan disajikan mengenai kegiatan pengawetan dan pengemasan makanan:

2.2.1 Pengawetan Makanan
            Cara dan usaha mengawetkan makanan telah lama dikenal dan dilakukan oleh penghuni daerah dingin maupun daerah panas. Hal demikian dilakukan agar dapat mengatasi musim dingin dan musim paceklik. Cara paling murah dan paling sederhana ialah dengan cara pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran di bawah terik matahari atau pemanasan dengan api. Contohnya kacang-kacangan, padi, kerupuk dll dijemur terlabuh dahulu sampai kering kemudian disimpan di tempat yang kering pula. Jelaslah, makanan yang mengalami pengeringan seperti contoh tersebut, merupakan kondisi yang tdak baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur.
            Masyarakat yang lebih maju memilki cara lain untuk mengawetkan makanan dan usaha-usaha dalam hal ini merupakan tugas teknologi makanan. Mikroorganisme-mikroorganisme memiliki kepekaan terhadap konsentrasi garam dapur yang berbeda-beda. Maka secara eksperimental dapat diketahui bahwa pada umumnya mikroorganisme tidak dapat hidup dalam larutan  NaCl 5-30%. Bakteri yang suka garam (halofil) pun mati dalam konsentrasi garam 30%. Selain itu, orang juga bias mengawetkan makanan dengan menggunakan gula. Pada umumnya bakteri mati pada larutan gula, 45%, akan tetapi bakteri yang osmofil bias tahan dalam larutan gula 60%. Bila ingin mengawetkan dengan menggunakan asam-asaman, maka perlu diketahui pHnya harus kurang dari 6 atau lebih dari 8. Jamur tidak dapat tumbuh dalam lingkungan basa lebih dari pH 8. Banyak jenis makanan cukup dipasteurisasikan lebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam kaleng. Pasteurisasi tidak membunuh spora, akan tetapi dengan proses ini rasa dan aroma makanan tidak akan banyak berkurang. Penyimpanan makanan dapat dilakukan di dalam lemari es dimana suhunya kira-kira 2-80C (Dwidjoseputro, 1989).

2.2.2 Pengemasan Makanan
Controlled Atmosphere Packaging ( CAP ) adalah proses evakuasi oksigen sesempurna mungkin dari proses vakum kemudian digantikan dengan nitrogen atau karbon dioksida. CAP dapat digunakan untuk pengemasan daging proses iris yang sulit dipisah-pisahkan bila dikemas  vakum. Sedangkan pengemasan atmosfir termodifikasi (MAP) adalah pengemasan produk dengan menggunakan bahan kemasan yang dapat menahan keluar masuknya gas sehingga konsentrasi gas di dalam kemasan berubah dan ini menyebabkan laju respirasi produk menurun, mengurangi pertumbuhan mikrobia, mengurangi kerusakan oleh enzim serta memperpanjang umur simpan. MAP banyak digunakan dalam teknologi olah minimal buah-buahan dan sayuran segar serta bahan-bahan pangan yang siap santap (ready-to eat).
Ide penggunaan kemasan aktif bukanlah hal yang baru, tetapi keuntungan dari segi mutu dan nilai ekonomi dari teknik ini merupakan perkembangan terbaru dalam industri kemasan bahan pangan. Keuntungan dari teknik kemasan aktif adalah tidak mahal (relatif terhadap harga produk yang dikemas), ramah lingkungan, mempunyai nilai estetika yang dapat diterima dan sesuai untuk sistem distribusi.

III PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.      Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobia pada bahan pangan sangat dibedakan menjadi 2 faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang terdapat pada bahan pangan, contoh faktor intrinsik adalah pH, aktivitas air (aw), potensial oksidasi-reduksi (Eh), kandungan nutrisi, senyawa antimikrobia, dan struktur biologis. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari luar bahan pangan, contoh faktor ekstrinsik adalah suhu penyimpanan, kelembaban relatif (RH = relative humidity) lingkungan, dan komposisi gas.
2.      Peranan positif dari mikroba adalah sebagai salah satu bahan pembutan makanan berfermentasi, seperti tempe, tape, nata de coco, dan sebagainya
3.      Peranan negatif mikroba adalah ada mikroba yang menyebabkan kerusakan atau kebusukan pangan, dan yang sering menimbulkan penyakit atau keracunan pangan (menghasilkan toksin).
3.2  Saran
1.      Sebelum mengkonsumsi makanan, sebaiknya konsumen mengecek keadaan makanan, apakah makanan tersebut masih layak dimakan ataukah tidak, layak di sini dalam artian terdapat mikroba yang merugikan atau tidak. Karena makanan yang telah ditumbuhi miroba yang merugikan, akan bersifat racun dan membahayakan bagi kesehatan
2.      Janganlah selalu beranggapan bahwa semua mikroba adalah merugikan, namun ada beberapa mikroba yang bermanfaat dalam pembuatan makanan berfermentasi