BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan
namanya, mikroorganisme pastilah suatu organism yang berukuran kecil atau
mkiroskopis. Ukurannya yang kecil ini membuatnya tak tampak oleh mata
telanjang. Tanpa kita sadari, makhluk hidup ini ada di sekitar kita, bahkan di
dalam tubuh kita. Akan tetapi, meskipun ukurannya yang tergolong sangat kecil,
mikroorganisme kini telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Penemuan-penemuan para ahli yang menggunakan mikroorganime telah banyak
dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Ilmu yang mempelajari
tentang mikrootganisme ini sering kita sebut sebagai mikrobiologi.
Banyak
aspek yang dikaji dalam ilmu mikrobiologi ini, diantaranya kesehatan,
pertanian, pangan, udara, industry, air, dan beberapa aspek yang lain. Aspek
dari mikrobiologi yang akan dikaji lebih dalam pada makalah ini adalah
mikrobiologi kesehatan. Mikroorganisme yang terlibat dalam segala proses di
mikrobiologi kesehatan tentunya ada yang memberikan keuntungan dan kerugian pada
manusia. Mikroorganisme pathogen misalnya, dapat menyebabkan infeksi dan
selanjutnya menimbulkan penyakit pada manusia. Lalu, bagaimana suatu
mikroorganisme dapat meninmbulkan suatu penyakit pada manusia akan dikaji lebih
lanjut dalam makalah ini.
Tidak
hanya itu, tidak semua mikroorganisme dapat menginfeksi dan menimbullkan
penyakit pada manusia. Tubuh kita tentu saja memiliki beberapa mekanisme yang
dapat membuat mikroorganisme tersebut gagal untuk menginfeksi kita. Suatu
system antibody yang dimiliki oleh manusia dapat melindungi kita dari
mikroorganisme pathogen yang dapat berakibat buruk bagi manusia sendiri.
Mikroorganisme pathogen yang lebih ditekankan disini adalah bakteri. Struktur
tubuh bakteri dan metabolismenya, serta kemampuannya dalam menginfeksi inangnya
akan dipelajari lebih lanjut dalam makalah ini. Mikroorganisme pathogen
tentunya akan berdampak buruk bagi manusia. Oleh karena itu, manusia hendaknya
menjaga kebershan lingkungan sekitarnya.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimanakah
suatu mikroorganisme dapat bersifat pathogen?
b.
Hal-hal apa
sajakah yang mempengaruhi patogenitas suatu mikroorganisme?
c.
Apa sajakah
factor-faktor yang mempengaruhi resistensi sel inang?
d.
Bagaimanakah
mekanisme pertahanan untuk melawan infeksi mikroorganisme pathogen tersebut?
e.
Bagaimanakah
pengaruh antimikroba terhadap mikroorganisme?
1.3 Tujuan
a.
Untuk mengetahui
sifat patogenitas pada mikroorganisme
b.
Untuk mengetahui
hal-hal yang mempengaruhi patogenitas suatu mikroorganisme.
c.
Untuk mengetahui
factor-faktor yang mempengaruhi resistensi sel inang
d.
Untuk mengetahui
mekanisme pertahanan untuk melawan infeksi mikroorganisme pathogen tersebut.
e.
Untuk mengetahui
pengaruh antimikroba terhadap mikroorganisme.
1.4 Manfaat
Bagi
penulis, makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
mikrobiologi kesehatan. Selain itu, penulis juga diharapkan dapat lebih waspada
terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri pathogen dan dapat
melakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari hal-hal tersebut.
Bagi
pembaca, penulis berharap agar makalah ini dapat mengetahui pengaruh dari
bakteri pathogen terhadap kehidupan manusia. Tidak hanya berhenti disitu,
pembaca juga diharapkan dapat melakukan upaya pencegahan. Makalah ini juga
dapat dijadikan rujukan untuk pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai
mikrobiologi kesehatan.
BAB II
ISI
2.1 MIKROORGANISME
SEBAGAI PATOGEN
Suatu mikroorganisme yang membuat
kerusakan atau kerugian terhadap tubuh inang disebut sebagai patogen. Sedangkan
kemampuan mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit disebut pathogenesis.
Ketika suatu mikroorganisme memasuki inang yang memasuki jaringan tubuh dan
memperbanyak diri, mikroorganisme dapat menimbulkan infeksi. Jika keadaan inang
rentan terhadap infeksi dan fungsi biologinya rusak, maka hal ini dapat
menimbulkan penyakit. Patogen merupakan beberapa jenis mikroorganisme atau
organisme lain yang berukuran yang lebih besar yang mampu menyebabkan penyakit.
Derajat kemampuan suatu pathogen
oportunistik untuk menyebabkan penyakit disebut virulensi. Komponen
mikroorganisme yang meningkatkan pathogenesis disebut factor virulensi. Jika
suatu mikroorganisme lebih mampu menyebabkan suatu penyakit, dikatakan lebih
virulen dari yang lain. Factor virulensi beberapa pathogen mudah
diidentifikasi. Sebagai contoh, sel Streptococcus
pnemoniae yang memiliki kapsul bersifat virulen dan menyebabkan pneumonia,
sebaliknya yang tidak berkapsul bersifat avirulen. Strain virulen dari Corynebacterium diptheriae menghasilkan suatu toksin yang menyebabkan diphtheria.
Untuk kebanyakan pathogen, factor virulensi tidak begitu nyata.
Mekanisme suatu pathogen untuk
menyebabkan penyakit infeksi, adalah melalui tahapan sebagai berikut :
a. Harus
menginfeksi inang (suatu pathogen primer harus memasuki inang).
b. Harus
melakukan metabolism dan memperbanyak diri dalam jaringan inang.
c. Harus
melawan pertahanan inang, untuk sementara.
d. Harus
merusak inang.
a.
Mekanisme penetrasi bakteri pathogen
Suatu
pathogen pertama kali harus mencapai jaringan inang dan memperbanyak diri
sebelum melakukan kerusakan. Dalam banyak kasus, hal yang dibutuhkan pertama
adalaha mikroorganisme harus menembus kulit, membrane mukosa atau epitel
intestine, permukaan yang secara normal bertindak sebagai barrier
mikroorganisme. Melintasi kulit masuk ke lapisan subkutan hampir selalu terjadi
melalui luka, jarang dilakukan pathogen menembus melewati kulit yang utuh.
Sebagian
besar infeksi mikroorganisme dimulai dengan menembus membrane mukosa pada
saluran pernafasan, urin atau saluran reproduksi. Hal ini membuktikan bahwa
bakteri atau virus mampu memulai infeksi dengan kemampuan melekat secara
spesifik kepada sel epitel. Bukti untuk spesifisitas ada beberapa tipe.
Pertama, merupakan spesifitas jaringan. Suatu mikroorganisme penyabab infeksi
tidak melekat pada semua sel epitel secara bersama-sama, tetapi memperlihatkan
selektifitas dengan melekat pada daerah tubuh tertentu dimana secara normal dia
dapat masuk. Sebagai contoh, Neisseria
gonorrhoae, agen penyebab penyakit menular secara seksual melekat lebih
kuat terhadap epitel urogenital disbanding ke jaringan lain. Kedua, spesifitas
inang ; suatu strain bakteri yang secara normal menginfeksi manusia akan lebih
kuat melekat pada sel epitel manusia yang cocok disbanding dengan sel yang sama
pada hewan atau sebaliknya (Kusnadi, 2003).
b.
Pemindah-sebaran
Suatu
pathogen yang sangat virulen akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri
apabila membunuh inang yang menghidupinya atau melalui resistensi inang yang menghancurkanya.
Karena alasan tersebut semua epidemic sifatnya terbatas, yaitu inang yang
resistensinya rendah akan lenyap dan anggota-anggota populasi yang sangat
resisten akan bertahan hidup. Penyebaran atau penularan tergantung pada dua
factor penting, yaitu terlepasnya pathogen dari inang dan masuknya pathogen ke
dalam inang yang rentan.
Terdapat
beberapa cara penularan bakteri pathogen yang dapatmenyebabkan terjadinya
infeksi, antara lain:
1. Kontak
langsung melalui hubungan seksual (sifilis, gonorhoe, trachoma)
2. Udara
pernafasan (influenza, tuberculosis, cacar, campak)
3. Melalui
mulut : air (kolera, disentri) makanan beracun (Clostridium botulinum)
4. Melalui
tusukan benda tajam (tetanus, rabies, hepatitis, AIDS melalui jarum) (Kusnadi,
2003).
2.2 INFEKSI PENYAKIT
OLEH BAKTERI PATOGEN
Tubuh hewan termasuk manusia menyediakan
lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan beberapa mikroorganisme. Hal ini karena
tubuh hewan atau manusia kaya akan nutrisi organic dan factor pertimbuhan yang
di butuhkan oleh mikroorganisme heterotrof. Disamping itu lingkungan tubuh
menyediakan kondisi PH, tekanan osmotic dan temperature yang relative konstan.
Secara umum infeksi seringkali dimulai
pada suatu tempat yang disebut membrane mukosa dari tubuh hewan. Membrane
mukosa ditemukan di seluruh tubuh termasuk mulut, faring, esophagus, saluran
urin, pernafasan. Membrane mukosa terdiri dari lapisan tunggal atau banyak sel
epitel, sel yang dikemas secara rapat dan langsung dapat berhubungan dengan
lingkungan eksternal. Membrane mukosa seringkali ditutupi denga lapisan
pelindung dari mucus, terutama bahan glikoprotein yang melindungi sel epitel.
Ketika bakteri menyentuh jaringan inang pada membrane mukosa, mereka dapat
berhubungan secara longgar atau secara terikat. Jika berhubungan secara longgar
biasanya terlepas oleh proses fisik, tetapi dapat juga berikatan secara
spesifik terhadap permukaan epitel sebagai akibat pengenalan sel dengan sel
spesifik antara pathogen dan inang. Dari proses awal ini sebenarnya infeksi
jaringan dapat diikuti. Ketika ini terjadi barrier mukosa dipecahkan,
memperbolehkan pathogen untuk memasuki jaringan yang lebih dalam.
a. Faktor virulensi
bakteri pathogen
Dalam
interaksi antara bakteri pathogen gram negative dengan organisme tingkat
tinggi, struktur permukaan bakteri (fimbria, flagel, antigen kapsul, enzim, dan
komponen membrane luar) memainkan peranan penting yang sama fungsinya dengan
factor-faktor pada jaringan inang. Struktur permukaan penting dalam hal
virulensi bakteri, terutama kemampuanya melekat kemudian pembentukan koloni
sebagai tahap awal infeksi.
1.
Pergerakan
bakteri
Adanya flagella pada permukaan
bakteri pathogen dan oprtunis dianggap dapat memudahkan kolonisasi dan
penyebaran dari tempat awal. Proteus merupakan bakteri dimorfik. Ketika tumbuh
dalam medium cair, sel bertingkah laku sebagao perenang dan memiliki morfologi
yang berbeda. Mereka bergerak memiliki flagella peritrika yang berjumlah 6
sampai 10 flagela per sel. Ketika dipindahkan ke medium agak padat, proteus
bentuk batang mengalami morfogenesis menjadi sel berkerumun (swarming) dan
berkumpul diatas medium agar. Tipe pertumbuhan proteus batang pada medium agar
merupakan fenomena perkerumunan.
2.
Perlekatan Bakteri
a. Fimbria
Perlekatan bakteri
terhadap permukaan epitel menjadi satu hal yang terpenting sebagai factor
virulensi. Proses ini memainkan peranan penting sebagai proses awal infeksi
saluran urin. Kemampuan melekatnya suatu bakteri seringkali dihubungkan dengan
adanya fimbria pada sel bakteri. Penelitian secara in vitro memperlihatkan
bahwa fimbria mempertinggi perlekatan sel bakteri terhadap sel uroepitel tetapi
menyebabkan pathogen lebih rentan terhadap fagositosis. Bakteri dengan lebih
banyak fimbria lebih mudah dicerna oleh sel polimorfonuclea selapis
dibandingkan dengan jumlah fimbria sedikit. Berdasarkan penelitian
ultrastruktur pada Proteus mempunyai
dua tipe fimbria, yaitu :
a.
Fimbria tebal
dengan diameter filament mendekati 7 nm yang disebut fimbria tipe IV “mannose
resitent / Proteus-like fimbriae
(MR/P)”
b.
Fimbria tipis
dengan diameter filament mendekati 4 nm yang disebut fimbria tipe III “mannose
resistant/Klebsiella-like fimbriae
(MR/K) “. Fimbria ini dihubungkan dengan kemampuannya untuk hemaglutinasi
eritrosit
b. Adhesin
Bakteri
melakukan sejumlah mekanisme, sehingga mereka dapat menempel atau menembus
jaringan inang. Bakteri melekat hanya kepada permukaan yang komplemen, dan
perlekatan melibatkan suatu interaksi diantara struktur pada permukaan bakteri
yang disebut adhesin dan reseptor pada substrat. Biasanya, “ligan” ganda pada permukaan
bakteri patogen tersedia untuk meningkatkan kekuatan dan spesifitas perlekatan
ketika “ligan” tersebut digunakan bersama-sama. Dengan target struktur yang
mengandung matriks glikoprotein. Glikoprotein membrane integral atau glokolipid
adhesin merupakan protein yang digunakan dalam interaksi protein-protein atau
protein-karbohidrat. Umumnya, adhesin merupakan karbohidrat yang digunakan yang
digunakan dalam karbohidrat yang sama, sebagaimana yang terjadi dalam sejumlah
interaksi eukariot.
Adhesin secara normal dilihat pada permukaan luar sel
berupa embelan seperti fimbria. Bakteri dan sebagian besar substrat biologi
dianggap sebagai muatan negative. Penyusunan adhesin tersebut pada jarak
tertentu dari sel bakteri membantu mengatasi serangan yang menolaknya dan
memungkinkan kontak dengan reseptor pada permukaan substrat pada jarak tertentu
dari bakteri. Adanya suatu reseptor yang komplemen pada substrat tidak selalu
sama dengan kemampuan suatu bakteri untuk kolonisasi pada jaringan tersebut.
Beberapa adhesion yang dimiliki oleh bakteri pathogen antara lain :
a. Adhesion
sel uroepitel/”Uroepithelial Cell
Adhesin” (UCA)
Merupakan
suatu protein yang diisolasi dari isolat uropatogenik Pseudomonas mirabilis HU 1069. Adhesin yang ditemukan berpengaruh
untuk penyerangan bakteri terhadap sel uroepitel.
b. Adhesion
FHA (“Filamentaous Hemaglutinin Adhesin.)
FHA Bordetella pertussis merupakan protein
sekretori 220-kDa yang mengandung beberapa epitope dan dapat mengenali reseptor
pada permukaan sel inang. Reseptor tersebut termasuk suatu domain pengikat
heparin ujung-N yang mengikat polisakarida mengandung sulfat, dan dilibatkan
dalam hemaglutinasi, suatu domain lektin ujung-N yang mengikat asam sialat dan
dilibatkan dalam hemaglutinasi, dll (Kusnadi, 2003).
3.
Resistensi Bakteri Terhadap Komplemen
System komplemen
pertama kali dikenal lebih dari 100 juta tahun yang lalu karena kemampuannya
untuk menghambatt bakteri Gram-negatif. System ini memainkan
peran penting dalam respon inang terhadap invasi dan infeksi.
Aktivitas komplemen memiliki rentang aktifitas biologi yang luas termasuk
“opsonisasi”, pembunuhan langsung beberapa strain bakteri Gram-negatif,
netralisasi virus berkapsul, pembuangan kompleks imun yang berbahaya, serta
induksi dan modulasi respon peradangan. Pentingnya system komplemen sebagai
komponen pertahanan menyeluruh dan luasnya distribusi system ini menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan kurang sempurnanya komponen
komplemen tertentu secara individu.
Meskipun
bakteri Gram-negatif dapat berperan sebagai activator efisien dari “cascade”
komplemen secara langsung atau sebagai akibat dari pengikatan antibody
pengaktif-komplemen terhadap permukaan sel, peptidoglikan berperan sebagai
suatu barrier untuk penempelan dengan proses aktifitas terakhir “late-acting”,
komponen komplemen penggangu membrane. Sebagai akibatnya, aktivasi komplemen
pada permukaan bakteri Gram-negatif disertakan bukan untuk membunuh secara
langsung tapi untuk “oposonisasi”. Sebaliknya, sejumlah besar bakteri
gram-negatif rentan terhadap pembunuhan yang diperantarai komplemen, dan
terpaparnya sel tersebut terhadap sumber komplemen, seperti plasma atau serum,
menimbulkan suatu reduksi yang efisien dan cepat dalam kelangsungan hidup.
Pembunuhan kadang-kadang disertai oleh lisis bakteri target karena terdapatnya
enzim lisozim penghancur peptidoglikan, tetapi dapat didahului kematian sel
pada kecepatan hamper maksimal dalam keadaan tidak adanya enzim tersebut.
Aktifasi yang sesuai pada jalur komplemen klasik atau alternative menimbulkan
kerusakan populasi bakteri. Mikroorganisme memiliki sejumlah strategi untuk
mengelak dari penempelan komplemen.
Mikroorganisme memiliki
sejumlah strategi untuk mengelak dari penempelan komplemen; mekanisme tersebut
termasuk kegagalan untuk mengaktifkan atau mengikat komponen komplemen,
mendegradasi protein permukaan, dan mekanismeuntuk melawan perakitan lesi C5b-9
fungsional pada permukaan sel. Bakteri Gram-negatif secara pasti mendapat
keuntungan dari suatu rentang mekanisme resistensi dan sangat mengandalkan pada
tanda dari struktur permukaan sel yang mampu mengatur ekspresi dan pengikatan
komplemen. Umumnya strain bakteri Gram-negatif yang kasar penghasil
polisakarida tanpa rantai samping O-spesifik, sangat rentan terhadap pembunuhan
yang diperantarai – C5b-9, sedangkan strain yang halus yang mensintesis
liposakarida lengkap seringkali resisten komplemen. Polisakarida kapsul dan
protein membran luar dalam keadaan tertentu meningkatkan resistensi terhadap
komplemen.
Bakteri gram – positif
umumnya tidak rentan terhadap pembunuhan langsung oleh
kompleks komplemen C5b-9. Lapisan peptidoglikan merupakan lapisan paling besar
pada bakteri Gram-positif. Lapisan tebal ini berperan sebagai barrier
impermeabel terhadap komponen jalur penempelan membran dan melindungi membran
sitoplasma. Bagaimanapun, sistem komplemen memainkan peran yang kritis dalam
mengendalikan infeksi Gram-positif karena kemampuannya untuk “opsonisasi”
bakteri dan merupakan suatu isyarat untuk penghancuran oleh fagosit (Kusnadi,
2003).
2.3 ENZIM
1.
Protease
Protease merupakan
enzim yang dikeluarkan oleh bakteri patogen untuk memecah antibody imunoglobin
IgA atau IgG (memisahkan protein pembawa/fragmen Fab dengan fragmen Fc)
sehingga fragmen Fc tidak dapat berikatan dengan antigen pada permukaan sel
bakteri. Beberapa jenis protease antara lain: Protease IgA dan IgG. IgA dalam
bentuk protein yang disekresikan (SigA), merupakan dimer IgA yang digandeng bersama rantai J dan mengandung
komponen yang disekresikan digunakan untuk
transpor molekul antibodi. SigA ini banyak terdapatt dalam sekresi
mukus. Fungsinya melindungi membran mukus dan melindungi jaringan dari bakteri
dan produknya. SigA resisten terhadap degradasi enzim proteolitik beberapa
mikroorganisme; hanya sedikit mikroorganisme yang mensintesis enzim proteolitik
ekstraseluler yang mampu mengurangi IgA.
Beberapa patogen
seperti: N.gonorrhoea, N.meningitidis, H.influenzae, dan
streptococcus pneumoniae, yang berhubungan dengan penyakit permukaan
mukosa, juga beberapa patogen periodontal mampu memproduksi enzim proteolitik.
Produksi enzim ini berhubungan dengan virulensi. Protease IgA bakteri dibedakan
dari enzim proteolitik lain oleh sangat terbatasnya spesifisitas substrat, yang
dapat memotong IgA 1 pada Igs yang dihasilkan oleh manusia, simpanse, dan
gorila. Protease IgA memotong rantai kuat isotipe IgA 1 pada suatu tempat
spesifik dalam suatu segmen polipeptida 13 asam amino kaya prolin pada daerah
tempatnya bergantung. Karena urutan ini tidak terdapat dalam IgA 2, kelompok Ig
ini resisten terhadap aksi protease IgA.
Proteinase Proteus
merupakan metalo enzim yang serupa dalam beberapa hal terhadap metalo
proteinase Pseudomonas aeruginosa dan Serratia marcescens. pH
optimum aksinya adalah 8, yang tidak mengejutkan karena situasi alkalin sekelilingnya
dimana enzim bekerja secara in-vivo. Hal ini terlihat selama infeksi, strain
P.mirabilis mensintesis urease, yang memecah urea yang berakibat menghasilkan
kondisi alkalin optimal untuk aksi protease IgA dan IgG. Pneumococcus
menghasilkan ‘immunoglobulin-degrading extraselluler protease”. Protease ini
mengurangi sekresi IgA (S-IgA), IgA, IgG, dan IgM, ditemukan pada sejumlah
isolat dari pasien berpenyakit akut, tanpa keluhan. Dengan menghilangkan
imunoglobulin, protease memainkan peranan penting untuk mempermudah kolonisasi
pada permukaan mukosa.
2.
Neuraminidase.
Sejumlah
mikroorganisme yang membentuk koloni pada saluran pernapasan menghasilkan enzim
glikosidik neuraminidase. Enzim ini menyerang komponen glikoprotein dan
glikolipid membran sel. Neurominidase memotong terminal asam N-asetil
neuraminik dari suatu gula yang berdekatan. Meskipun peran khusus enzim ini
dalam penyakit tidak diperlihatkan namun kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh
pada nasofaring dan dalam sekresi lendir pada batang bronkia, membutuhkan
kemampuan metabolisme khusus. Neuraminidase hanya satu dari beberapa faktor
yang mendukung serbuan organism (Kusnadi, 2003).
2.4 FAKTOR VIRULENSI
YANG MERUSAK INANG
a.
Komponen Seluler
1.
Asam Teikoat
Dalam
dinding sel, asam teikoat berhubungan dengan peptidoglikan pada suatu tempat
yang tak larut dan membutuhkan enzim litik untuk pelepasannya. Asam teikoat
ribitol tidak ditemukan pada S.
epidermidis (yang mengandung asam teikoat gliserol).
Asam
teikoat ekstraseluler mampu merespon penyelenggaraan yang cepat dari komponen
komplemen pereaksi awal sampai ke komplemen C5 dalam serum manusia. Aktivasi
komplemen terjadi sebagai konsekuensi penyusunan kompleks imun diantara antigen
dan antibody IgG spesifik manusia. Dengan induksi abortif, reaksi penyelenggaraan
komplemen, asam teikoat melindungi Staphylococcus
dari opsonisasi komplemen dependent.
2.
Asam Lipoteikoat
(LTA)
Untuk
suatu mikroorganisme yang menginfeksi inang, harus mampu melekat pada suatu
tempat dari permukaan sel sebagai gerbang masuk. Bakteri patogen Streptococcus pyogenes memperlihatkan
perlekatan kepada sel epitel yang diperantarai asam lipoteikoat yang terdapat
pada dinding sel Streptococcus grup
A. LTA merupakan suatu molekul amfipatik dan amfoterik. LTA sangat toksik untuk
berbagai sel inang dan memiliki kemampuan aktivitas biologi berspektrum luas.
LTA dapat diidentifikasi sebagai “ligan” kolonisasi Streptococcus yang membentuk kompleks jaringan kerja dengan protein
membran dan berikatan melalui gugus lipid kepada fibronektin sel epitel.
3.
Kapsul
Polisakarida
Pneumococcus merupakan
salah satu contoh utama suatu bakteri patogen ekstraseluler yang merusak
jaringan inang hanya selama berada di luar sel fagosit. Mekanisme perlindungan
terhadap fagositosis pada bakteri ini karena adanya kapsul yang berfungsi
sebagai antifagosit. Kapsul polisakarida berada dalam keadaan larut dalam
cairan tubuh yang terinfeksi. Kapsul polisakarida yang spesifik untuk spesies Streptococcus pyogenes terdiri dari
suatu polimer bercabang L-ramnosa dan N-asetil-D-glukosamin dengan rasio 2:1,
rantai terakhir merupakan penentu antigenik.
4. Protein
A
Protein
A merupakan suatu antigen khusus kelompok spesifik Staphylococcus aureus. Sekitar 90% protein A ditemukan pada dinding
sel berikatan kovalen dengan peptidoglikan. Selama pertumbuhan sel, protein A
dilepaskan ke dalam medium biakan, yang terdiri dari sepertiga dari total
protein A yang dihasilkan bakteri tersebut.
Protein
A terdiri dari suatu rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 42 kDa.
Keunikan protein A dipusatkan pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan IgG
normal dari sebagian besar spesies mammalia. Protein A terdiri dari 5 daerah,
yaitu empat domain sangat homolog, yang mengikat Fc dan yang ke lima, domain
C-terminal yang berikatan pada dinding sel dan tidak mengikat Fc. Protein A ini
menyebabkan sejumlah efek biologi berupa kemotaktik, antikomplemen,
antifagosit, meningkatkan reaksi hipersensitivitas dan merusak keeping darah.
Protein A merupakan mitogenik dan mampu mengaktifkan sel natural killer (NK)
manusia.
5. Enzim
- Asam amino deaminase
Asam
amino deaminase merupakan enzim yang memotong gugus amin pada asam amino
sehingga membentuk asam alfa keto untuk mengikat besi (III) bebas dari
lingkungan atau dari inang untuk keperluan metabolismenya.
- Urease
Urea
mewakili produk ekskresi nitrogen utama pada manusia dan sebagian besar hewan.
Urease menghidrolisis senyawa urea dan menghasilkan ammonia serata CO2
yang dapat meningkatkan pH urin.
Aktivitas urease ditemukan pada lebih dari 200 spesies bakteri
Gram-positif dan Gram-negatif. Enzim ini juga dimasukkan sebagai suatu factor
yang mendukung patogenisitas beberapa bakteri termasuk proteus, providencia,
dan morganella. Aktivitas urease bakteri ini digunakan untuk membedakannya dari
anggota family Enterobacteriaceae. Aktivitas urease pada P.mirabilis
diperantarai plasmid yang berperan dalam menginduksi aktivitas enzim.
Peran
urease pada infeksi sudah diteliti, enzim ini menjadi suatu factor virulen yang
berarti pada P. mirabilis. Secara in
vitro pada kultur sel epitel tubuler proksimal renal manusia bahwa efek
sitotoksiknya kurang penting jka dibandingkan dengan hemolysis HpmA. Penggunaan
mutan urease-negatif P.mirabilisis yang mengandung suatu
sisipan mutasi dalam ureC memperlihatkan perean urease yang berarti pada
infeksi saluran urin mencit. Fakta yang ditemukan bahwa mutan urease-negatif
mempunyai 50% dosis infeksi (ID 50)
lebih besar 1000 kali dibandingkan dengan strain induknya. Mutan ini hilang
dari kandungan kencing, sedangkan strain urease-positif terdapat dalam
kandungan kencing dan ginjal dan menyebabkan beberapa lesis ginjal yang sangat
berarti
P.mirabilis
dan P. penneri merupakan
mikroorganisme utama yang terlibat dalam penyusunan batu dalam ginjal dan
kandung kemih. Urease besar peranannya dalam fenomena ini. Dketahui bahwa
hidrolisis urea akan meningkatkan pH, yang menghasilkan presipitasi /
pengendapan komponen urin seperti Mg2+
dan Ca2+ yang terlarut
dalam pH netral atau sedikit asam dalam urin normal. Sebagai hasil efek
tersebut dibentuk batu “struvite” atau “apatite carbonate” atau keduanya.
Fenomena ini tidak terjadi selama infeksi saluran urin oleh E.coli urease-negatif.
Urease juga dihasilkan oleh helicobacteri . bakteri ini sensitive
terhadap asam dan terlihat menempati suatu lapisan dalam mukosa lambung.
Bakteri ini sangat motil dan berhubungan sangat dekat dengan sel gastric yang
mensekresikan mucus. Juga terlihat memasuki mukosa gastric dalam daerah
“junction interseluler”, dan menghasilkan sejumlah besar ion ammonium dan CO2
dari urea yang terdapat pada daerah tersebut. Adanya mikroorganisme pada
permukaan, di antara enterosit, ruang antar bagian dalam, dan bagian dalam
enterosit menyebabkan respon
inflamantori termasuk leukosit PMN. Hilangnya pada daerah yang diserang
parasit, terdapat pada beberapa pasien penderita gastristik akut.
- Lipase
Staphylococcus
menghasilkan beberapa enzim penghidrolisis
lipid secara keseluruhan yang disebut lipase. Lipase aktif pada sejumlah
substrat, termasuk plasma, lemak, dan minyak yang berkumpul pada permukaan
tubuh. Penggunaan bahan tersebut memiliki nilai kelangsungan hidup untuk
bakteri dan menyebabkan aktivitas terbesar kolonisasi Staphylococcus terjadi dalam daerah kelenjar sebasea (minyak).
Produksi lipase penting dalam invesi ke jaringan kutanea dan subkutanea yang
sehat . pada isolate pertama (dari manusia), terdapat hubungan antara produksi
lipase secara invitor dan kemampuan untuk menghasilkan bisul. Penurunan
virulensi Staphylococcus dari rumah
sakit diamati selama 20-30 tahun. Penurunan tersebut diakibatkan menurunnay
sejumlah enzim lipase yang disebabkan
adanya profag yang menyisip pada DNA bakteri sehingga produksi lipase
dihentikan.
- Enzim Ekstraseluler
Faktor
virulensi dari beberapa mikroorganisme diketahui karena menghasilkan enzim
ekstraseluler. Meskipun bukan enzim ekstraselules tunggal yang membuktikan
kemampuannya menjadi factor yang betanggung jawab untuk virulensi, tetapi tidak
diragukan bahwa sebagai enzim memainkan beberapa peran dalam proses patogenik
diantaranya kemampuan bakteri patogen untuk memasuki jaringan. Beberapa jenis
enzim ekstraseluler: 1) hialuronidase. Enzim ini dapat membantu patogen
memasuki jaringan inang dengan menghidrolisis asam hialuronat, suatu senyawa
esensial yang membantu mengikat sel hidup bersama-sama. Karena itu, enzim
tersebut dihubungkan sebagai factor pengurai. Staphylococcus, Streptococcus pyogenes, dan Clostridium perfringens menghasilkan hyaluronidase. 2) lechitinase
merupakan suatu enzim yang menghancurkan berbagai sel jaringan , khususnya sel
darah merah, dengan menghidrolisis lipid membran. Sebagai contoh, virulensi
dari clostridium perfringens pada bagian ini, untuk menghasilkan lechetinase.
3) Collagenase, juga dihasilkan oleh C.
perfringens, merusak kolagen, suatu serat jaringan pada otot, tulang, dan
kartilago. Kolagen menyediakan mekanisme saringan dimana sel jaringan hidup
berada. Tanpa kolagen menyebabkan jaringan lebih rentan terhadap masuknya suatu
patogen.
Beberapa
staphylococcus virulen menghasilkan enzim yang disebut koagulase. Bertindak
sebagai suatu bahan dalam plasma untuk memindahkan fibrinogen menjadi fibrin.
Ini menyebabkan perpindahan fibrin ke sekitar sel bakteri, jadi melindunginya
dari aksi sel fagosit inang.
6. Toksin
Beberapa
organisme menghasilkan bahan beracun yang dikenal sebagai toksin. Kemampuan
suatu mikroorganisme untuk menghasilkan suatu toksin sebagai bahan yang
memiliki efek merusak pada sel dan jaringan inang, dan potensi toksin merupakan
faktor penting dalam kemampuan mikroorganisme untuk menyebabkan penyakit.
Toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat berupa eksotoksin, yaitu
toksin yang dikeluarkan di sekeliling medium atau endotoksin, toksin yang
berada dalam sel sebagai bagian dari sel.
Pada kondisi ini, walaupun
bakterinya tidak ada, toksin akan menyebabkan keracunan pangan jika masuk ke
saluran pencernaan (intoksikasi). Pada beberapa patogen, bakteri hidup masuk ke
saluran pencernaan dan memproduksi toksin yang dapat menyebabkan keracunan
pangan (toksiko-infeksi).Eksotoksin berukuran lebih besar dari endotoksin,
dengan berat molekul sekitar 50 – 1000 kDa. Toksin ini berfungsi seperti enzim
dan memiliki sifat-sifat enzim yaitu terdenaturasi oleh panas, asam dan enzim
proteolitik. Potensi toksiknya tinggi (konsentrasi 1 μg dapat menyebabkan
keracunan). Aktivitas biologis dari eksotoksin berlangsung dengan mekanisme
reaksi dan substrat yang spesifik. Substrat (didalam inang) bisa berupa
komponen dari sel-sel jaringan, organ atau cairan tubuh. Biasanya, bagian yang
dirusak oleh toksin mengindi-kasikan lokasi dari substrat untuk toksin tersebut.
Istilah seperti enterotoksin, neuro-toksin, dan hemolysin kadang-kadang
digunakan untuk mengindikasikan sisi target dari suatu eksotoksin. Eksotoksin
bersifat antigenik. Artinya, secara in vivo, aktivitasnya da-pat dinetralkan
oleh antibody yang spesifik untuk eksotoksin tersebut. Beberapa eksotoksin
memiliki aktivitas sitotoksik yang sangat spesifik. Misalnya, toksin botulin
yang hanya menyerang syaraf. Beberapa eksotoksin yang lain memiliki spektrum
aktivitas yang lebih lebar dan menyebabkan kematian (nekrosis) dari beberapa
sel dan jaringan (non spesifik) misalnya toksin yang diproduksi oleh
staphylococci, streptococci, clostridia, dan sebagainya. Toksin dengan spektrum
aktivitas yang lebar ini biasanya merusak membran sel inang dan menyebabkan
kematian sel karena terjadinya kebocoran isi sel.
- Eksotoksin
Eksotoksin
dikeluarkan dari sel mikroorganisme ke suatu medium biakan atau ke dalam
jaringan inang. Medium yang diproses dengan tidak tepat dari sayuran dapat
dicemari Clostridium botulinum,
sebagai contoh makanan dari sayuran yang mengandung toksin botulinum
menghasilkan makanan beracun yang disebut botulism. Dalam makanan beracun
botulism, eksotoksin yang dimakan oleh suatu individu menyebabkan paralisis
yang mempengaruhi system saraf manusia sehingga toksin tersebut disebut
neurotoksin. Botulism bukan penyakit infeksi, tetapi suatu toksemia yang
disebabkan oleh suatu toksin bakteri yang dikeluarkan ke inang.
Eksotoksin merupakan protein, yang dapat dihasilkan
oleh bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Efeknya pada jaringan manusia
biasanya sangat spesifik.Sebagai contoh, toksin botulism dan tetanus
merupakan neurotoksin. Vibrio cholerae mengeluarkan eksotoksin yang
mengurangi retensi cairan oleh intestin, sehinggamenyebabkan diarrhea. Jadi
eksotoksin biasanya mempunyai afinitas untuk
suatujaringan khusus dimana dia dapat menyebabkan
kerusakan. Eksotoksin kehilangan toxisitasnya jika dipanaskan atau
diberi perlakuan secara kimia. Fenol, formaldehid,dan berbagai asam dapat merubah
eksotoksin secara kimia sehingga kehilangan toksisitasnya yang disebut
toksoid.Toksin dan toksoid mampu menstimulasi pembentukan antitoksin,
antibodiyang menetralisir toksisitas toksin dalam tubuh inang. Kemampuan ini
penting dalamperlindungan kerentanan inang dari penyakit yang disebabkan toksin
bakteri. Antitoksin mempunyai nilai komersil yang baik.
- Enterotoksin
Enterotoksin
merupakan eksotoksin yang beraksi dalam usus halus, umumnya
menyebabkan pengeluaran cairan secara besar-besaran ke dalam lumen usus,
menimbulkan symptom diare. Enterotoksin dihasilkan oleh bermacam bakteri
termasuk organisme peracun-makanan Staphylococcus aureus, Clostridium
perfringens, dan Bacillus cereus, dan patogen usus Vibrio cholerae,
Escherichia coli,dan Salmonella enteritidis. Enterotoksin E. coli dikode oleh plasmid.
Kemungkinan plasmid ini juga mengkode untuk sintesis antigen permukaan spesifik
yang sangat dibutuhkan untuk penyerangan enteropatogenik E. coli kepada sel epitel internal.
Faktor virulensi utama dihasilkan oleh Vibrio cholerae merupakan enterotoksin
ekstraseluler yang kuat yang berperan pada sel usus kecil. Enterotoksin tersebut merupakan toksin yang
pertama kali ditemukan serupa dan berhubungan sangat dekat toksin pada E.
coli, dalam struktur dan fungsinya.Toksin Cholera (CT), atau
“choleragen”, merupakan suatu molekul protein kompleks dengan berat molekul
sekitar 84.000 Da. Disusun oleh dua subunit utama, subunit A yang melakukan
respon untuk aktivitas biologi dan subunit B, yang melakukan respon pengikatan
seluler toksin. Subunit A terdiri dari dua polipeptida yang diikat bersama oleh
suatu ikatan disulfida tunggal. Aktifitas toksik ditempatkan pada A1, sedangkan
A2 tersedia sebagai pengikat subunit B. Subunit B terdiri dari lima peptida
identik dengan masing-masing berat molekul 11.500 Da. Subunit Bberikatan sangat
cepat dan irreversibel kepada molekul monosialogangliosid GM1dari sel usus
kecil.Subunit A selanjutnya terlepas dari subunit B dan menembusmembran
seluler. Aktifasi A1 terjadi dengan reduksi ikatan disulfida. A1 yang
teraktifkan secara enzimatik, dengan mentransfer adenosin difosfat ribosa dari
nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) menjadi protein pengikat-GTP
(guanosintrifosfat) yang mengatur aktifitas adenylcyclase. Aksi tersebut
menghambat mekanisme “turnoff” GTP dari aktivitas adenilsiklase dan
meningkatkan aktivitasa denilsiklase. Peningkatan aktivitas adenilsiklase
tersebut menyebabkan peningkatan level cAMP intraseluler (cyclic AMP) yang
menyebabkan meningkatnya sekresielektrolit ke dalam lumen usus. Hilangnya
elektrolit layaknya peningkatan sekresi klorida tergantung-natrium dan mencegah
penyerapan Na dan Cl melintasi membranoleh mekanisme kotranspor NaCl.
Pembentukan sekresi merupakan suatu cairanisotonis dengan konsentrasi
bikarbonat dua kali dari plasma normal dan Kalium 4-8kali plasma normal.
Pengeluaran cairan dapat mencapai 1 liter per jam, danpengaruhnya dapat dilihat
pada pasien penderi
Enterotoksin
Staphylococcus dikelompokkan secara serologik menjadi enam grup, yaitu: A,
B, C, C2, D, dan E. Terdapatnya enterotoksin grup A sering
dihubungkan dengan keracunan makanan di Amerika Serikat. Pengendalian
genetik enterotoksin Staphylococcus belum didefinisikan dengan jelas, akan
tetapi dari hasilanalisis DNA kromosom strain penghasil-enterotoksin
memperlihatkan bahwa genenterotoksin B (ent B) merupakan bagian dari suatu
elemen dengan ciri tersendiridan berukuran 26,8 kb. Hal ini kemungkinan gen ent
B merupakan suatu bagian daribakteriofaga atau suatu plasmid berukuran besar
yang terintegrasi.
- Endotoxin
Beberapa mikroorganisme, khususnya bakteri
Gram-negatif, tidak mengeluarkan suatu toksin terlarut, tetapi membuat
suatu endotoksin yang dibebaskan ketika sel mengalami pembelahan,
lisis dan mati. Endotoksin
dari bakteri Gram-negatif merupakan komponen struktural membran luar dari
dinding sel bakteri Gram-negatif. Komponen ini merupakan polisakarida (lipid
A). Endotoksin merupakan racun yang efektif pada tempat terikatnya ( ketika
menjadi bagian dari dinding sel yang utuh) dan ketika dilepaskan sebagai
produk litik pada pembelahan sel. Dibandingkan dengan eksotoksin, endotoksin
lebih stabil terhadap pemanasan, tidak membentuk toksoid dan kurang toksik.
Endotoksin bertanggung jawab untuk beberapa gejala penyakit
seperti demam dan “shock”.
- Hemolisin
Hemolisin merupakan enzim ekstraseluler yang bersifat
toksik. Toksin ini merupakan bahan yang menghancurkan sel darah merah dan melepaskan hemoglobin. Sebenarnya
strain hemolitik bakteri patogen lebih virulen daripada beberapa spesies strain
nonhemolitik. Hemolisin bakteri dari beberapa spesies yang berbeda dalam
senyawa kimia alaminya dan cara aksinya. Beberapa hemolisin menghasilkan
perubahan yang dapat dilihat pada lempeng agar-darah. Pada lempeng
ini, koloni bakteri hemolitik tertentu, dikelilingi oleh suatu zona bening
tanpa warna dimana sel darah merah sudah dihancurkan secara sempurna. Peristiwa ini disebut
α-hemolisis. Tipe lain dari bakteri dapat
mereduksi hemoglobin menjadi meta-hemoglobin, yang menghasilkan zona
berwarna kehijauan di sekitar koloni. Ini disebut β-hemolisis. Reaksi hemolitik
seringkali digunakan dalam laboratorium klinis untuk membantu mengindentifikasi
suatu patogen; sebagai contoh, streptococci group A, suatu penyebab strep
tenggorokan, menghasilkan hemolisis pada lempeng agar-darah. Sintesis hemolisin
sitotoksik terdapat di antara bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Penelitian
mengenai aktivitas hemolitik dimulai
pada abad ke-20. Dari hasil penelitian mengenai aktivitas hemolitik strain
Proteus mirabilis dan vulgaris, ditemukan bahwa lebih dari 84 strain yang
diisolasi dari pasien penderita UTI, mampu mendegradasi eritrosit, ditunjukkan
sebagai pemberi warna hijau padalempeng agar darah. Tidak satupun strain
ini memperlihatkan aktivitas hemolitik ekstraseluler. Hemolisin Proteus termasuk famili
toksin pembentuk-pori. Penelitian tentang pembentukan pori oleh hemolisin HlyA P. Vulgaris dan M. Morganii dan memperlihatkan bahwa secara serupa dengan aksi
sitolisin Hly E. coli. Bakteri tersebut
membentuk ion-permeabel sementara, “chanel water-felled”
yang selektif terhadap kation pada pH netral. Diameter minimal
saluran ini diperkirakan sampai 1nm. Terutama pada hemolysin HlyA dari
tiga spesies; P. vulgaris, M. Morganii, dan E. coli, oligomer terhadap
bentuk pori pada bilayer lipid membran.
- Toksin Tetanus
Semua gejala pada tetanus menandakan
secara ekstrim neurotoksin, tetanospasmin toksin, merupakan suatu toksin intraseluler yang dilepaskan
melalui autolisis seluler. Struktur gen untuk
toksin tersebut ditempatkan pada suatu plasmid75 kb.
Toksin Clostridium
tetani tersebut merupakan protein yang tidak tahan-panas yang dapat
dinonaktifkan dengan pemanasan pada suhu 60º C selama 20 menit. Struktur primer dari molekul toksin sudah
ditentukan dan terlihat nyata homolog dengan beberapa toksin Clostridium botulinum. Toksin yang
disintesis oleh C. Tetani sebagai rantai polipeptida yang terdiri dari
tiga domain: A, B, dan C, masing-masing memiliki berat molekul sekitar 50 kDa. Pada pelepasan dari bakteri, toksin
dipecah oleh protease untuk mendapatkan dua
subunit: suatu rantai ringan, ditandai A, dan suatu rantai berat, ditandai BC yang diikat oleh suatu ikatan disulfida
tunggal. Pemisahan, rantai berat dan rantai ringan
adalah tidak toksik, jadi sesuai dengan pola aktivitas umum dari toksin dua rantai AB. Dengan analogi terhadap toksin
tersebut,dianggap bahwa toksin tetanus diambil melalui endositosis
diperantarai-reseptor dan pH rendah dalam endosom menyebabkan toksin menyisip ke dalam dua lapis
lipid dan melintasi membran untuk bereaksi
dengan sitosol.Toksisitas toksin tetanus secara utuh dihubungkan dengan rantai
ringan A. Pemurnian fragmen B dari rantai berat membentuk saluran pada membran lipid, sedangkan daerah
pengikat-gangliosida ditempatkan pada domain fragmen C. Meskipun gangliosida
terlihat sangat kuat berikatan dengan toksin
tetanus, terdapat beberapa pertanyaan apakah gangliosida benar- benar mewakili reseptor jaringan. Dari beberapa
penelitian diperkirakan bahwa
toksin tetanus dapat berikatan kepada dan menggunakan sistemreseptor-uptake
yang secara normal digunakan oleh hormon penstimulasi-tiroid.Toksin tetanus
berikatan kepada reseptor membran dari sel tiroid dengan sifat yang serupa seperti terhadap pengikat
tirotropin. Toksin tetanus merupakan salah satu dari sebagian besar senyawa
beracun, toxisitasnya hanya dapat dibandingkan dengan toksin botulinum dan toksin disentri
Shigella.
f. Verotoxin (“Shigalike Toksin”)
E. coli menghasilkan paling sedikit dua sitotoksin ‘human-derived’ dan
satu’porcine-derived’, yang disebut verotoksin, karena efek sitotoksik
irreversibel toksin tersebut pada kultur sel Vero, suatu galur sel yang dikembangkan dari sel
ginjal monyet hijau Afrika. Verotoksin E. coli
(VETC) dihubungkan dengan tiga sindrom manusia yaitu diare, kolitis hemoragik, dan sindrom uremik hemolitik (HUS). Karena kesamaan verotoksin terhadap shiga
toxin, maka toksin tersebut juga disebut“shigalike toxin” (SLT). Dalam
hal ini SLT-I dapat dipertukarkan dengan VT1, dan VT2 disebut SLT-II oleh peneliti lain. VT1
dan VT2 menghambat sintesis protein pada sel eukariot sama seperti “shiga toksin”, tetapi berbeda dalam reaktifitas immunologik dan aktivitas biologinya dalam
hewan dan model kultur jaringan. VT1 hampir identik dengan shiga toksin, dalam struktur dan aksinya,
tetapi berbeda berat molekulnya, dan dua toksin tersebut berbeda aktivitasnya
dalam hewan percobaan. VT2 memiliki komponen biologik yang serupa dengan VT1
tetapi tidak ternetralisasi oleh antibodi shiga toksin. Dua verotoksin tersebut terbagi menjadi 58% homologi dalam urutan nukleotida pada gen pengkode gennya dan 56
% homologi dalam komposisi asam aminonya. VT2 berbeda dari VT1 dalam penempatan dan pola pemotongan DNAnya.
Tingkat produksi toksin penting dalam perkembangan penyakit.VTEC tingkat tinggi menghasilkan
sejumlah besar toksin dalam cairan supernatan kultur dan
berikatan dengan kolitis hemoragik, diare, dan HUS. Rendahnya VTEC
penghasil tingkat rendah tidak
mudah dideteksi jumlah toksin dalam cairan supernatan dan tidak terlihat
hubungannya dengan produksi penyakit. VTEC diinfeksi dengan satu atau
bakteriofag yang mengkode produksi VT1 atau VT2 atau keduanya. Meskipun
sejumlah strain E.coli sudah terinfeksi dengan bakteriofag tersebut selanjutnya
menghasilkan verotoksin, kebanyakan isolat VTEC dalam wabah di Amerika Serikat
dan Kanada tetap ditandai menjadiserotipe O157: H7.
g.
Endotoxin-Lipid
A Lipoposakarida (LPS)
LPS merupakan endotoksin, diketahui merupakan
faktor patogenik bakteri gram-negatif yang menyebabkan efek fisiopatologi
spectrum luas seperti demam, hipotensi,
koagulasi intravaskuler yang tersebar luas dan shok lethal. LPS bebas
merupakan molekul bioaktif dan dapat melewati pusat ( komponen lipid A) pada
berbagai tipe sel, yang terpenting adalah makrofag dan monosit. Adapun mekanisme aktifitas
biologi LPS:
1. LPS
berikatan dengan protein pengikat pada darah.
2. Kompleks
tersebut mengaktifkan reseptor CD14 pada makrofag
3. LPS
meningkatkan aktifitas sel makrofag menghasilkan lipid aktif (prostaglandin,
thromboxan, dll) (Kusnadi, 2003).
Tabel
1. Beberapa penyakit yang disebabkan bakteri penghasil endotoksin
Penyakit
|
Spesies
bakteri
|
Aktifitas
toksin in vivo
|
1. Botulism
2. Kolera
3. Keracunan makanan
4. Diftera
5. Desentri basiler
6. Tetanus
7. Demam scarlett
8. Batuk rejan
|
Clostridium
botullium
Vibrio
colerae
Staphylococcus
aureus
Corynebacterium
diptherae
Shigella
dysentriae
Clostridrium
tetani
Clostridium
pyogenes
Bordetella
pertussis
|
Neurotoksin,
paralisis otot
Hilangnya cairan usus
kecil, muntah
Nausea, muntah, diare
Paralisis saraf,
rusak jantung
Gangguan neurologi,diare
Neurotoksin,
kontraksi otot spamodik
Ruam
Batuk paroksimal,
muntah
|
2.5 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
RESISTENSI INANG
Setiap inang memiliki system pertahanan
tubuh tersendiri untuk melawan sesuatu penyakit infeksi. Hal ini merupakan
factor yang mempengaruhi resistensi terhadap penyakit yang melekat pada setiap inang dan pada lingkungan yang
dimiliki inang. Mekanisme ini tidak melindungi secara langsung dari beberapa
pathogen khusus, jadi merupakan factor resistensi nonspesifik.
1.
Faktor
resistensi lingkungan
Inang melawan secara alami dan tidak memiliki
factor nutrisi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme, atau
memiliki mekanisme pertahanan lain untuk pertumbuhan mikroorganisme atau
memiliki mekanisme pertahanan lain untuk melawan suatu pathogen. Factor
lingkungan tertentu dari inang manusia juga dapat memainkan peran dalam memberi
kekebalan atau kerentanan infeksi . hal ini termasuk tekanan fisik dan
emosional inang, umur inang, kesehatan umum, nutrisi, sosial, ekonomi. Tekanan
fisik dan emosi membuat seseorang rentan terhadap penyakit. Dalam keadaan
tertekan akan terjadi peningkatan ephinephrin disertai perubahan tingkat
hormone kortikoid adrenal. Hal ini menekan fungsi beberapa kelompok sel
pertahanan dan mengurangi luasnya daerah mekanisme pertahanan yang digunakan
tubuh.
2.
Resistensi
individu, ras, spesies
Resistensi pada spesies hewan atau
tumbuhan berbeda terhadap berbagai infeksi. Alasan berbagai resistensi dari
suatu spesies terhadap yang lain biasanya tidak diketahui. Bagaimanapun sifat
fisiologi dan anatomi yang mendasari suatu spesies dapat menentukan apakah
suatu mikroorganisme dapat bersifat pathogen untuk spesies tersebut.
Dalam beberapa kasus faktor genetis
membuat ras manusia tertentu lebih rentan atau kebal terhadap suatu infeksi
tertentu. Beberapa orang kelihatan kurang atau lebih pengalamannya terhadap
beberapa infeksi dari lainnya. Mereka mempunyai latar belakang ras yang sama
dan berkesempatan mendapatkan. Resistensi individual merupakan kemampuan menggabungkan factor resistensi spesifik, dan non spesifik yang
diwarisi dari orang tua.
3
MEKANISME
PERTAHANAN EKSTERNAL
Mekanisme pertahanan eksternal merupakan
factor lain dalam resistensi inang nonspesifik. Di sini bukan hanya factor
mekanik, tapi memperlihatkan barrier senyawa kimia. Barrier mekanik dihasilkan oleh kulit dan
membrane mukosa bersama dengan sekresi inang, biasanya dianggap sebagai
“barisan depan” pertahanan tubuh yang melawan serbuan mikroorganisme.
1. Kulit
dan membrane mukosa
Kulit yang tidak pecah dan membrane
mukosa merupakan barrier mekanik yang efektif untuk kuman penyebab infeksi.
Permukaan kulit juga merupakan penghambat untuk pertumbuhan sebagian besar
mikroorganisme karena rendahnya kelembaban, rendahnya pH, dan adanya senyawa
penghambat yang disekresikan.
Serupa dengan kulit membrane mukosa
terdiri dari lapisan epitel dan lapisan jaringan penghubung yang mendasarinya.
Lapisan tersebut merupakan jalur untuk memasuki saluran pencernaan, pernafasan,
urin, dan reproduksi. Lapisan epitel dari membrane mukosa mengeluarkan atau
membersihkan beberapa mikroorganisme yang ada. Sekresi mukosa terkumpul dan
menahan beberapa mikroorganisme sampai mereka dibersihkan atau kehilangan daya
infeksinya.
2. Sekresi
senyawa kimia
Untuk membantu
barrier mekanik, senyawa kimia yang dikeluarkan dan bertindak sebagai
antimikroba merupakan suatu komponen penting dari pertahanan eksternal. Sebagai
contoh, getah lambung dihasilkan kelenjar lambung, merupakan campuran HCL,
enzim, dan mucus. Keasaman yang tinggi pada getah lambung ( pada pH 1,2 sampai
3) cukup untuk membunuh sebagian besar mikroorganisme. Keasaman dan kebasaan
yang ekstrim pada cairan tubuh memiliki efek merusak pada beberapa
mikroorganisme dan mencegah pathogen potensial yang dapat memasuki tubuh.
2.6 MEKANISME
PERTAHANAN INTERNAL (RESISTENSI INANG NONSPESIFIK)
Ketika mikroorganisme menembus mekanisme
pertahanan eksternal inang, mereka akan mendapat perlawanan dari mekanisme
pertahanan internal. Komponen mekanisme pertahanan internal yang ada merupakan
barrier yang kuat untuk infeksi. Hal ini termasuk mediator seluler dari sistem
imun (“ sel natural killer”/ sel NK, dan sel fagosit) dan suatu faktor terlarut
sangat beragam, yang bertindak sebagai perantara. Hal ini juga termasuk respon
fisiologi kompleks yang mengawali inflamasi dan demam.
1.
Inflamasi
Respon inflamasi atau peradangan
merupakan reaksi vaskuler dan seluler terhadap adanya serbuan mikroorganisme,
kerusakan, atau bahan iritan, seperti serpihan. Peradangan merupakan satu dari
sebagian besar mekanisme pertahanan yang efektif pada hewan. Bukti dari respon
peradangan dapat diamati selama reaksi tubuh terhadap suatu bahan sederhana
seperti duri dalam daging. Sesudah beberapa jam, daerah tersebut menjadi merah,
selanjutnya membengkak dan menyakitkan. Daerah tersebut nampaknya lebih hangat
dibandingkan jaringan disekelilingnya. Memerah dan panas disebabkan oleh
peningkatan aliran darah, pembuluh darah yang membawa darah ke daerah yang
membesar (pembesarannya disebut vasodilatasi), saat darah mengalir dari daerah
yang menyempit. Permeabilitas kapiler meningkat, menyebabkan pengaliran cairan
dan sel darah ke dalam tempat tersebut, hal ini menyebabkan pembengkakan dan
rasa sakit (disebabkan peningkatan tekanan). Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas dipicu oleh senyawa kimia beracun (histamin) yang dilepas dari sel
yang rusak pada tempat terjadinya kerusakan.
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme
terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi
yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau
terinfeksi. Radang atau
inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor
kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator
radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar
dari penyebaran infeksi (Wikipedia, 2011).
Radang
mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:
- memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga
- menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
- mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.
Respon peradangan dapat dikenali
dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll, yang disebabkan karena terjadi
perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:
- pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil.
- aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah.
- kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi.
Bagian tubuh yang mengalami
peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
- tumor atau membengkak
- calor atau menghangat
- dolor atau nyeri
- rubor atau memerah
- functio laesa atau daya pergerakan menurun dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan (Wikipedia, 2011).
Jika penyebab peradangan disebabkan masuknya
mikroorganisme, maka tindakan terpenting dalam respon peradangan adalah migrasi
sel-sel fagosit dan kapiler ke tempat infeksi. Sel fagosit menelan dan merusak
mikroba. Jadi respon peradangan membawa sel-sel pemakan atau penghancur ke tempat
infeksi.
Dalam membantu penghancuran dan
pembersihan kuman perusak (seperti mikroorganisme) atau produknya, respon
peradangan juga membatasi pengaruh kuman (atau produknya) dengan mengikatnya
atau membuat pembatas disekeliling jaringan. Hal ini kemungkinan karena
pembekuan darah sekitar tempat infeksi mencegah penyebaran mikroorganisme atau
bahan berbahaya yang dihasilkannya terhadap bagian tubuh yang lain. sebagai
konsekuensinya, suatu kumpulan nanah ditempatkan dalam suatu rongga sebagai
akibat pemecahan jaringan tubuh, membentuk suatu abses. Nanah terdiri dari sel
jaringan dan sel peradang yang mati, juga mikroorganisme yang hidup dan mati.
Sebagai tahap akhir peradangan
adalah perbaikan jaringan, ketika semua kuman atau bahan berbahaya dibersihkan
atau dinetralisir dari tempat kerusakan. Kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri bergantung pada bagian jaringan yang terlibat. Kulit merupakan suatu
jaringan yang relative sederhana, mempunyai kapasitas tinggi untuk
berregenerasi. Tiap jaringan saraf dalam otak, yang sangat spesifik dan
kompleks, kelihatan tidak mengalami regenerasi.
2.
Demam
Satu dari respon sistemik (respon
tubuh secara menyeluruh) yang terpenting terhadap masuknya mikroorganisme
adalah demam, suatu suhu tubuh tinggi yang tidak normal. Frekuensi terbanyak
penyebab demam adalah infeksi oleh bakteri atau virus. Sebenarnya ini merupakan
akibat produk yang dihasilkan oleh mikroba atau sel inang aebagai akibat
infeksi. Selama demam, akan kehilangan selera makan, juga sakit kepala yang
disebabkan melebarnya pembuluh darah otak. Peningkatan suhu disebabkan besarnya
produksi panas hasil metabolism. Juga peningkatan kecepatan metabolism, yang
bersamaan dengan penurunan pemasukan makanan, meyebabkan tingginya pengeluaran
nitrogen dalam urine. Jika demam diperpanjang, akan kehilangan lemak tubuh dan
otot.
Pada manusia, suhu tubuh harian
adalah 37°C. Suhu tubuh yang tetap ini dikendalikan oleh suatu “thermostat
tubuh” pada bagian otak yang disebut hypothalamus; thermostat secara normal
menentukan suhu tubuh pada 37°C. Selama infeksi, senyawa tertentu mempengaruhi
hypothalamus, merubah thermostat pada suhu yang lebih tinggi. Di antara senyawa
penyebab demam tersebut adalah endotoksin dari bakteri Gram-negatif; sebagai
contoh, seberat 2 mg per kilogram berat tubuh endotoksin dari Salmonella typhi (kuman penyebab demam
tifoid) dapat menghasilkan suatu demam 43°C. Senyawa ini penyebab demam adalah
pyrogen endogen, dihasilkan oleh sel fagosit tubuh dan terdapat dalam eksudat
peradangan dan plasma selama adanya penyakit. (Suatu pirogen merupakan beberapa
senyawa penyebab demam). Demam terjadi sampai endotoksin atau pirogen endogen
dihilangkan; pada saat tersebut thermostat kembali ke 37°C. Respon imun tubuh
terhadap suatu infeksi juga dapat menyebabkan demam. Sebagai tanda meredanya
infeksi, mulai bekerja mekanisme penurunan panas seperti vasodilatasi dan
pengeluaran keringat.
Demam sering dianggap hal yang
bermanfaat untuk inang, karena meningkatkan aktivitas sel fagosit dan kecepatan
terjadinya peradangan dan respon imun yang mempunyai efek antimikroba. Suhu
tinggi yang dicapai selama demam dikatakan menghambat atau merusak
mikroorganisme penyebab infeksi. Walaupun demikian, hanya bakteri penyebab
infeksi, gonorhoe dan syphilis, yang sebenarnya dibunuh oleh suhu demam. Pada
sebagian kasus klinis, suhu tinggi yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba
jarang dicapai. Karena manusia menjadi kehilangan orientasi dan tidak rasional
pada suhu 43,3°C, dan diatas suhu tersebut mereka biasanya menjadi coma.
Kematian sering disebabkan karena suhu tubuh meningkat sampai 45°C atau suhu
otak mencapai 40,5°C. Artinya, sangat kecil buktinya bahwa demam benar-benar
dapat membunuh mikroorganisme.
3.
Sel
“Natural Killer”
Sel
“natural killer” (Natural killer cell) merupakan limfosit berukuran besar
dengan diameter 12-15 mm yang berfungsi membunuh sel yang tidak diinginkan
seperti sel tumor, sel yang terinfeksi virus. Limfosit merupakan tipe sel darah
putih, tidak bersifat fagositik dan tidak memiliki penanda permukaan yang biasa
menandai sel limfoid lain dalam sistem imun spesifik. Terdapat beberapa bukti
bahwa sel NK berhubungan dengan pertahanan nonspesifik menyerang protozoa
intraseluler dan parasit fungi. Aktivitas sel NK tidak spesifik dan
berfungsinya tanpa stimulasi beberapa antigen spesifik (didapatkan sebelumnya,
imunisasi antigen terhadap sel target).
Sel
“natural killer” membunuh dengan cara berikatan dengan sel target dan
melepaskan protease penghancur membrane dan enzim fosfolipase. Bagaimanapun,
hal ini tidak menjelaskan bagaimana sel NK mengenali targetnya. Kontak sel
adalah penting; mikrograf electron memperlihatkan gambaran sel NK mendorong dan
meleuk ke dalam sel target. Sel NK tersebut selanjutnya menghancurkan sel
target dengan melepaskan protein yang mematikan yang melubangi membrane
sitoplasma sel target, sangat mirip dengan yang disebabkan oleh sistem
komplemen. Biasanya setiap sel NK dipercepat dan aktivitas membunuh
ditingkatkan oleh interferon, suatu kelompok protein yang membantu melindungi
tubuh dari infeksi virus. Sel NK yang terpapar interferon mampu menghancurkan
banyak sel target. Beberapa efek manfaat interferon ditunjukkan pada pengobatan
tumor.
Sel
NK dianggap sangat penting karena peranannya dalam mengendalikan tumor. Dalam
hal ini, sel NK mencari, mengenali, dan merusak sel tumor segera setelah bahkan
sebelum kelihatan, sejumlah sel tumor cukup untuk menstimulasi respon imun
spesifik. Dengan cara tersebut, sel NK tersedia sebagai “barisan pertama” untuk
menyerang kanker.
Sel
NK mula-mula ditemui melalui kebolehannya untuk membunuh sel tumor tetapi
sekarang diketahui mempunyai fungsi penting dalam imuniti inat. Walaupun tidak
mempunyai reseptor antigen-spesifik, sel NK boleh mengesan dan menentang
sesetengah sel yang dijangkiti virus iaitu sel yang mengekspreskan protein
virus pada permukaannya yang boleh dikenali oleh antibodi. Pembunuhan sel
target yang diselaputi antibodi oleh sel NK dikenali sebagai sitotoksisiti yang
dimediasi dan bergantung pada antibodi (ADCC - antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity). Tindakan ini dimulakan apabila antibodi yang
terikat pada permukaan sel berinteraksi dengan reseptor Fc pada sel NK.
Mekanisme penentangan adalah seperti yang berlaku pada sel Tc yang melibatkan
pembebasan granul sitoplasmik yang mengandungi perforin dan granzim (enzim
proteolitik). Perforin akan membuat lubang pada membran sel untuk membenarkan
granzim ke dalam sel untuk menginduksikan apoptosis. Sel NK juga, seperti sel
sitotoksik T, dapat menginduksikan apoptosis melalui molekul permukaan FasL yang
meligasikan molekul Fas kepada permukaan sel yang dijangkiti virus (Anonim,
2010).
Jika
sel NK adalah sel penting dalam pengawalan hos terhadap jangkitan dengan virus,
maka ia mesti mempunyai suatu mekanisme untuk membezakan di antara sel sendiri
yang telah dijangkiti dengan yang tidak dijangkiti. Mekanisme sebenar yang
digunakan oleh sel NK untuk menentukan pembunuhan yang tepat ini belum
diketahui lagi. Salah satu penerangan yang telah dicadangkan adalah apabila sel
NK mengikat kepada sel sendiri yang tidak mengalami apa-apa jangkitan, reseptor
KlR, rnemberikan isyarat negatif kepada sel NK untuk menghalangnya daripada
membunuh sel sendiri. Jika jangkitan dengan
virus berlaku pada sesuatu sel,
aktivasi adalah melalui KAR untuk menginduksikan pemusnahan sel oleh sel NK
(Anonim, 2010).
4.
Sel
Fagosit
Kepentingan
fagositosis adalah sebagai suatu mekanisme pertahanan umum untuk melindungi
tubuh dari infeksi, yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli zoology
Rusia Elie Metchnikoff (1845-1916). Dia menyebut amoeboid manusia, sel pemakan
partikel, fagosit (Yunani: phagien= makan, dan kytos= sel). Fagositosis
digambarkan sebagai suatu cara protozoa tertentu untuk menangkap makanan.
Fagositosis juga berarti dimana sel dalam tubuh manusia melawan infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme pathogen. Sel manusia yang ikut serta dalam
aktivitas tersebut juga dinamakan fagosit. Semuanya merupakan tipe sel darah
putih (disebut leukosit) atau dihasilkan sel darah putih. Leukosit
dikelompokkan menjadi dua tipe, granulosit dan agranulosit. Granulosit mempunyai
granula di dalam sitoplasmanya. Yang dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan
pada reaksi pewarnaan granula, yaitu:
1. Neutrofil;
granula beerwarna biru-bercahaya dengan suatu pewarna campuran yang bersifat
asam dan basa.
2. Eosinofil;
granula berwarna merah dengan pewarna yang bersifat asam, cosin.
3. Basofil;
granula berwarna biru gelap dengan pewarna yang bersifat basa, biru metilen.
Neutrofil
juga disebut polimorfonuklear leukosit (PMN) dan sangat bersifat fagositik. PMN
dapat meninggalkan darah dan memasuki jaringan yang terinfeksi, dimana mereka
memakan benda asing. Basofil bukan sel fagosit. Merekka melepaskan senyawa
seperti heparin, serotonin, dan histamine ke dalam darah, dan dipindahkan ke
mast sel ketika mereka meninggalkan pembuluh darah dan memasuki jaringan.
Heparin merupakan suatu antikoagulan darah, sedangkan histamine mampu
menanggapi terjadinya alergi dan beberapa reaksi peradangan. Serotonin
bertindak sebagai suatu moderator sistem saraf. Eosinofil merupakan fagosit
lemah dan dapat meninggalkan darah untuk masuk ke jaringan.
Sel
darah putih yang termasuk agranulosit tanpa granula dalam sitoplasmanya. Dua
macam agranulosit adalah limfosit dan monosit. Limfosit memainkan suatu peran
kunci dalam respon imun spesifik dalam tubuh. Limfosit beredar dalam darah dan
terdapat dalam jaringan limfoid (tonsil, nodus limf, limfa, thymus, sumsum
tulang, appendix, dan Peyer’s patche usus halus). Monosit berkembang menjadi
fagosit aktif, atau makrofag (big eaters).
Dari
pembahasan diatas jelas bahwa dua tipe utama fagosit adalah: neutrofil (PMN
atau polimorf) dan makrofag. Berasal dari sumsum tulang ketika infeksi terjadi,
keduanya bermigrasi ke daerah yang terinfeksi. Selanjutnya PMN dari darah masuk
ke jaringan, mereka bekerja untuk beberapa jam dan selanjutnya mati, akan
digantikan oleh PMN penyerang berikutnya dengan jumlah yang sangat banyak yang
berasal dari sumsum tulang masuk ke dalam darah. Untuk beberapa saat, kira-kira
setengah dari jumlah PMN melekat atau bergerak secara berlahan pada dinding
kapiler dan vena kecil. Dalam peredaran, monosit membesar dan berkembang
menjadi makrofag yang sangat fagositik, segera setelah meinggalkan darah pada
tempat infeksi dan memasuki jaringan. Ketika makrofag meninggalkan darah dan
memasuki daerah yang terinfeksi, mereka disebut makrofag jaringan. Makrofag
jaringan juga bermigrasi ke paru-paru, limfa, dan tempat lain dimana mikroba
ditemukan. Beberapa “fixed” makrofag (histiosit), memasuki jaringan dan organ
tertentu dan menetap disana. Fixed makrofag ditemukan pada hati (sel kupffer),
paru-paru (makrofag alveolar), sistem saraf (sel mikroglia), jaringan
bronchial, nodus limf (makrofag dendritik), limfa, rongga perut, sumsum tulang.
Dalam
proses fagositosis, pertama membutuhkan perlekatan mikroorganisme terhadap sel
fagosit. Kekuatan elektrostatis dilibatkan pada awal perlekatan. Kekuatan
perlekatan dan penelanan dipermudah oleh senyawa serum yang disebut opsonin.
Opsonin merupakan antibosi yang terdapat secara alami dan suatu komponen sistem
komplemen. PMN memiliki reseptor spesifik pada permukaannya untuk antibody
tersebut juga untuk fargmen komplemen C3b. Opsonin pertama akan bersentuhan
dengan permukaan mikroba, membuat bakteri lebih menarik untuk fagosit.
Setelah
fagosit menyentuh suatu mikroorganisme pada permukaannya, melakukan penonjolan
yang disebut pseudopodia yang mengelilingi mikroorganisme selama penelanan.
Pseudopodia tersebut melebur dan membentuk suatu vakuola fagositik yang disebut
fagosom yang mengandung mikroba. Fagosom selanjutnya memisahkan diri dan memasuki
sitoplasma. Tahap selanjutnya bergantung pada aktivitas granula sitoplasma yang
disebut lisosom, yang terdiri dari enzim pencernaan dan senyawa pembunuh
mikroba. Lisosom bergerak menuju fagosom, melebur dnegan membrannya, dan
membentuk suatu vakuola pencerna yang disebut fagolisosom. Lisosom melepaskan
racunnya ke dalam fagolisosom, maka dimulai pencernaan dan pembunuhan
mikroorganisme.
Dalam
fagolisosom, pH menjadi sangat asam (3,5-4), membunuh beberapa bakteri. Enzim
lisosom yang dipindahkan ke dalam vakuola pencerna termasuk lisozim (yang
menghidrolisis peptidoglikan pada dinding sel bakteri) dan berbagai enzim
hidrolitik lain yang memecah komponen makromolekul mikroorganisme. Lebih daari
60 enzim yang berbeda ditemukan dalam lisosom. Mekanisme pembunuh bakteri utama
dihasilkan oleh “respiratory burst”. Pengaktifan sel fagosit meningkatkan
konsumsi oksigen untuk mendukung ppeningkatan aktivitas metabolic fagositosis.
Metabolit oksigen yang sangat toxik dihasilkan, termasuk oksigen tunggal,
superoksida, H2O2, radikal OH, dan hipoklorit. Dalam fagosom sebagian besar
mikroba dibunuh oleh enzim, pH rendah, atau metabolit oksigen dalam 10-30
menit, meskipun kerusakan yang sempurna membutuhkan beberapa jam.
Gabungan
kekuatan enzim lisosom dan metabolit toksik biasanya cukup untuk mengancurkan
semua mikroorganisme yang masuk. Bagaimanapun, mikroba berbeda dalam menanggapi
aktivitas fagositik. Bakteri Gram-positif dengan cepat dihancurkan. Bekteri
Gram-negatif lebih kebal karena dinding selnya relative tahan untuk dicerna.
Tapi beberapa bakteri, seperti Mycobacterium
tuberculosis dan Listeria
monocytogenes, juga beberapa fungi dan parasit, menjadi kebal terhadap
tindakan fagositik, dan juga dapat memperbanyak diri dalam fagosit.
Proses
perlekatan, penelanan, dan pencernaan mikroorrganisme dalam makrofag secara
umum serupa pada PMN, meskipun terdapat beberapa perbedaan penting. Makrofag
mempunyai kemampuan untuk merubah bentuk permukaannnya (membentuk kerutan) dan
berdiferensiasi. Makrofag juga mengeluarkan sekurang-kurangnya 32 produk
metabolisme yang berbeda, mulai dari lisosom sampai kolagenase, yang membantu
pertahanan antimikroba. Mereka tidak bergerak dalam hal merespon senyawa kimia
seperti pada PMN. Enzim lisosom dalam makrofag juga berbeda dari yang terdapat
dalam PMN. Makrofag tidak memiliki protein kationik yang sama seperti ditemukan
dalam granua polimorf; juga tidak menghasilkan metabolit oksigen yang sangat
toksik. Perbedaan ini diperlihatkan dalam kemampuannya untuk mencerna
microorganism. Sebagai contoh, makrofag kurang efektif dibandingkan dengan PMN
dalam membunuh ragi Candida albicans
atau bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Walaupun demikian, makrofag diaktifkan oleh interferon (menjadi makrofag
“marah”) yang dapat membunuh mikroorganisme tersebut (Kusnadi, 2003).
5.
Komplemen, Sitokin, Interferon, TNF
Di
samping mediator (perantara) seluler dari pertahanan internal tubuh, terdapat
mediator terlarut (Komplemen, Sitokin, Interferon, TNF) yang mendukung
pertahanan inang. Serum dari hewan tingkat tinggi mengandung suatu kelompok
kurang lebih 20 protein interaktif yang memiliki hubungan korelasi dengan
komplemen, jadi pemberian nama tersebut karena aksi komplemen tersebut pada
reaksi yang berperantara antibody tertentu. Komplemen memainkan peranan penting
dalam resistensi melawan infeksi. Hal ini merupakan prinsip mediator terlarut
dari respon peradangan. Komponen masing-masing protein komplemen diidentifikasi
dengan suatu system penomoran. Beberapa protein komplemen bertindak sebagai
enzim protease, memotong dan mengaktifkan protein selanjutnya yang berada dalam
urutan.
Tahap kunci dalam aktivasi system komplemen merupakan
pemotongan komponen yang disebut C3 menjadi dua fragmen, C3a dan C3b.
Pemotongan C3 dapat dimulai dengan dua cara berbeda, jalur klasik dan jalur
alternative. Komponen C3a meningkatkan perubahan peradangan, sedangkan C3b
berkumpul/ menempel pada mikroorganisme menyebabkan mkikroorganisme tersebut
terikat dengan reseptor untuk C3b pada makrofag fagositik dan neutrofil, dalam
proses yang disebut opsonisasi. (Antibodi juga mengopsonisasi mikroorganisme,
meningktakan fagositosis, karena makrofag dan neutrofil juga mengekspresikan
reseptor permukaan untuk antibodi). Perubahan tempat c3b pada sel atau
permukaan mikroorganisme dapat menyebabkan fiksasi komplemen mengakibatkan
lisis sel.
Jalur alternative merupakan aktivasi non spesifik dari
aliran komplemen ketika kuantitas antibody spesifik tidak cukup tersedia untuk
mengaktifkan jalur klasik. Hal ini dipicu oleh polisakarida mikroorganisme dan
endotoksin yang terkandung dalam membran sel bakteri Gram negative, protozoa,
dan ragi. Dalam cairan tubuh ini terjadi lebih cepat dibandingkan dengan
permukaan sel dan tidak dibutuhkan
adanya kompleks antigen-antibodi atau unit pengenal C1.
Akhirnya, jalur klasik dan alternative menjadi sutau
jalur yang membentuk unit seragam membrane, yang membentuk kompleks litik.
Kompleks litik membentuk suatu saluran melintasi membrane sitoplasma sel.
Saluran ini menyebabkan ion kalsium meninggalkna sel dan masuknya air serta ion
Na; sel membesar dan hancur. Protein komplemen ikut serta dalam resistensi imun
spesifik dan non spesifik (Sudiana, 2011).
Gambar
dua jalur aktivasi komplemen (Sudiana, 2011)
Sitokin merupakan mediator yang berfungsi mengatur
(meningkatkan atau menurunkan) immunogenic, peradangan, dan perbaikan respon
inang terhadap luka. Limfosit menghasilkan limfokin dan monosit atau makrofag
menghasilkan monokin. Perbedaan sitokin dengan hormone terletak pada tempat
dihasilkannya yaitu tidak melalui kelenjar yang terspesialisasi. Sitokin
berperan kepada sel yang dekat dengan tempat dihasilkannya, cukup jauh dari sel
target dan dalam keadaan normal tidak terdapat dalam serum. Sitokin dapat
berupa peptide atau glikoprotein dengan berat molekul sekitar 6000 dan 60.000
dalton. Limfokin merupakan protein
terlarut yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh limfosit T
‘sensitized;/tersensitisasi/dibuat peka.
Sel ini digambarkan sebagai sensitizied karena mereka menyusun suatu
respon sebelumnya terhadap suatu antigen spesifik. Limfosit T sensitizied yang
dihasilkan limfokin juga diketahui sebagai delayed hypersensitivity lymphocites
(DHLs) karena dari reaksi kulit mereka dihasilkan. Mereka juga disebut limfosit
t helper karena membantu sel lain untuk meningkatkan responnya terhadap
antigen.
Limfokin memainkan aktivitas biologis yang sangat beragam
terhadap berbagia macam sel target. Kira-kira 100 aktifitas biologis yang
berbeda dianggap berbeda dari limfokin. Sebagai contoh, limfokin dapat menarik
makrofag. Juga dapatr menghambat migrasi, dan mengaktifkan makrofag, dan
meracuni se lasing atau sel terinfeksi virus, dan mereka dapat diukur dengan
melihat banyaknya sel yang rusak dan hancur dalam beberapa reaksi peradanganl.
Jadi berbagi macam sel dapat dipengaruhi oleh limfokin, termasuk neutrofil,
limfosit lain, sel endothelial rongga jantung, dan pembuluh darah, dan
fibroblast. Secara umum, limfokin dapat
dianggap senyawa yang member tanda sel lain untuk meningkatkan atau mengurangi
suatu aktifitas spesifik; mereka tersedia sebagai tanda komunikasi
interseluler.
Meskipun limfosit dapat distimulasi oleh antigen spesifik
untuk menghasilkan limfokin, produksi limfokin tidak spesifik. Pengaruh
limfokin yang sangat luas disebabkan oleh DHLs yang dianggap suatu jaringan
kerja limfokin kompleks. Satu dari peran utamanya disebut interleukin-2 (IL-2),
karena bertindak sebagai sinyal diantara 2 leukosit. Limfokin lain adalah
interferon yang membantu menghentikan infeksi virus tidak hanya memicu
membettuk protein antivirus dalam sel yang berdekatan tapi juga meningkatkan
sitotosik sel T. Makrofag juga menghasilkan limfokin yang memoengaruhi limfosit
dan sel tubuh lain. Sebagai contoh, limfosit makrofag membantu menstimulasi
DHLs untuk menghasilkan IL-2 dan beberapa sel tubuh untuk mengahasilkan
beberapa enzim proteolitik, limfokin demikian disebut IL-1. IL-1 juga diketahui
sebagai pyrogen endogen, sejak ia mampu menanggapi perubahan dari pusat
hipotalamus menghasilkan demam selama infeksi. Oleh karena itu, jelas bahwa
keseluruhan efek limfokin adalah meningkatkan aktifitas mekanisme perlindungan
nonspesifik melawan infeksi.
Sampai saat ini sudah diketahui
bermacam limfokin, antara lain:
a)
Interleukin 1 (IL-1): dihasilkan oleh makrofag ILdan
mempengaruhi suatu kesatuan sel yang banyak. Menyebabkan peningkatan produksi
sel sumsum tulang, menyebabkan makrofag menghasilkan sitokin lain, menyebabkan
sel T mengasilkan limfokin, proliferasi sel B, meningkatkan kecepatan metabolic
PMN. Pada jaringan non limfoid dapat mempengaruhi adiposit, kondrosit, sel
epitel, osteoklas, sel otak, sel synovial, sel otot polos, hepatosit, sel
adrenal, dan fibroblast.
b)
IL-2 : dihasilkan oleh sel T dan leukosit granuler besar.
Mengaktifkan sel T dan sel NK dan menyebabkan proliferasi sel B.
c)
IL-3 : dihasilkan oleh sel T dan membantu awal pertumbuhan
sel hematopoietic.
d)
IL-4 : dihasilkan oleh sel T helper dan merupakan suatu
factor pertumbuhan untuk sel T dan sel B. Membantu pertumbuhan sel
mast.Mempengaruhi pergantian rantai H epsilon pada IgE.
e)
IL-5 : dihasilkan oleh sel T helper. Menstimulasi sel B dan
eosinofil dan membantu pergantian untuk IgA.
f)
IL-6 : dihasilkan oleh fibroblas dan sel
lain. Mempengaruhi sel B.g)
g)
IL-7 : dihasilkan oleh sel stroma dan merupakan
faktor pertumbuhan limfositik untuk sel pre-B dan pre-Th)
h)
IL-8 : dihasilkan oleh makrofag. Merupakan
bahan kemotaktik untuk neutrofildan sel T
i)
.G-CSF (granulocyte colony stimulating factor) :
dihasilkan oleh monosit danmembangkitkan neutrofil.
j)
M-CSF (macrophage colony stimulating factor) :
dihasilkan oleh monosit danmembangkitkan makrofag (Kusnadi,
2003).
Interferon adalah senyawa alami yang melindungi sel lain dari infeksi dengan virus
yang sama maupunyang tidak berhubungan. Interferon sebenarnya hanya senyawa
alami dengan denganperbedaan kemampuan untuk menghambat replikasi virus
intraseluler.Interferon merupakan protein berukuran kecil yang dihasilkan oleh
seleukariot dalam respon terhadap infeksi virus atau RNA rantai-ganda asing
(virus atausintetik). Sel terinfeksi menghasilkan interferon
dalam beberapa jam, bahkanbeberapa hari. Interferon dikeluarkan dan
digunakan oleh sel lain. ketika sel tersebutterinfeksi virus, interferon
menyebabkan sel menghasilkan molekul yang mencegahreplikasi virus yang
menginfeksi.
Interferon bertindak
pada suatu sel yang tidak terinfeksi dengan caraberikatan pada reseptor
permukaan sel, menyebabkan sel mensintesis protein lainyang tinggal dalam sel
dan melindunginya dari infeksi semua virus. Efek keseluruhan adalah
menghambat transkripsi gen virus dengan mendegradasi mRNA. Dengan cara
tersebut, siklus replikasi virus diganggu, dan infeksi dihentikan
atauprosesnya diperlambat sampai respon immun spesifik cukup untuk
menghilangkanvirus yang menginfeksi. Secara khusus, interferon pertama
menyebabkan produksisuatu molekul yang disebut sintetase 2.5-oligoadenilat.
Jika suatu sel dapatberinteraksi dengan interferon, dan menghasilkan sintetase
2.5-oligoadenilat,kemudian terinfeksi dengan virus, virus mengaktifkan enzim
untuk menghasilkanoligoriboadenilat terikat-2.5. Adanya senyawa ini menyebabkan
pengaktifan suatusenyawa yang ada, molekul tidak aktif yang disebut L
ribonuklease yangmendegradasi mRNA.
Gambar mekanisme
interferon melawan virus (Hendrik, 2011)
Interferon juga mampu
meningkatkan aktivitas sitotoksik alami sel NK,sehingga membuatnya memiliki
peranan dalam pengawasan immunologis melawankeganasan penyakit. Bagaimanapun,
peran perlindungan utama interferon adalah melawan infeksi virus, karena
interferon dihasilkan secara lokal dan lebih cepat daripada antibodi spesifik.
Tubuh kita memiliki
suatu antibody yang dapat malawan infeksi antigen dari luar. Antigen adalah zat
asing yang tidak dikenali oleh sel inang. Immunoglobulin yang terbentuk akibat
tanggapan terhadap antigen adalah protein yang tersusun dari dua rantai polipepetida
dengan ukuran berlainan., rantai yang lebih besar dinamakan rantai berat dan
yang kebih kecil dinamakan rantai ringan. Berdasarkan perbedaan antigen dalam
rantai beratnya, immunoglobulin dibedakana menjadi lima kelas, yaitu IgG, IgA,
IgM, IgD, dan IgE. Terdapat dua antigen rantai ringan yang disebut kappa dan
lambda.
Masing-masing kelaas
immunoglobulin memiliki sifat yang unik. IgG dan uriadalah yang secara
kuantitatif paling penting karena menyusun 80 % antibody. igA terutama
ditemukan pada sekresi tubuh seperti air ludah dan urin dalam saluran
pencernaan dan urogenital. IgM sangat efektif dalam mematikan bakteri Gram
negative. Pada permukaan sel B, IgD memainkan peranan dalam sintesis antibody.
IgE bertangggung jawab terhaap banyak tipe alergi pada makanan dan serbuk sari.
Tiga tipe sel yang terlibat dalam sintesis immunoglobulin adalah sel B, sel T,
dan makrofag (Volk, 1988). Ketiganya telah dijelaskan di bagian sebelumnya.
2.7 ANTIMIKROBA
Antimikroba adalah obat-obat yang digunakan untuk
memberantas infeksi mikroba pada manusia. Antibiotic adalah senyawa kimia yang
dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan
bakteri dan organisme lain. Antimikroba dapat bersifat :
1.
Bakteriostatik,
yaitu yang menghambat dan menghentikan laju pertumbuhan bakteri. Contoh :
tetrasiklin, kloramfenikol, eritrosin
2.
Bakterisid,
yaitu yang bersifat membunuh bakteri. Contoh : penisilin, sefalosforin,
gentasmisin
Gambar perbandingan antara bakteriostatik dan
bakteriosid (Hendrik, 2011)
Antimikroba
mempunyai 5 mekanisme kerja yang utama yaitu :
1.
Antimetabolit
Antimikroba
bekerja memblok tahap metabolic spesifik mikroba. Termasuk dalam hal ini adalah
sulfonamide dan trimetrofin. Sulfonamide akan menghambat pertumbuhan sel dengan
cara menghambat sintesa asam folat oleh bakteri. Sulfonamide bebas secara
struktur mirip dengan asam folat, para amino asam benzoate (PABA), dan bekerja
sebagai penghambat kompetitif untuk enzim-enzim yang mempersatukan PABA dan
sebagian pteridin menjadi asam dihidropteroat. Trimetrofin secara strujtur
mirip pteridin yang dihidrolisis oleh enzim yang dihidrofolat reduktase dan
bekerja sebagai penghambat kompetitif enzim tersebut yang dapat mengurangi
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
2.
Menghambat
sintesis dinding sel. Contoh : penisilin, sefalosforin, vankomisin
3.
Menghambat
fungsi membrane sel. Disini, antimikroba bekerja secara langsung pada membrane
sel yang akan mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa
interseluler bakteri. Contoh : polimiksin
4.
Menghambat
sintesis protein.
Antimikroba
mempengaruhi fungsi ribosom bakteri yang menyebabkan sintesis protein dihambat.
Dalam hal ini, antibiotic dapat berinteraksi dengan ribosom 30s, termasuk
aminoglikosida, tetrasiklin dan spektinomisin atau berinteraksi dengan ribosom
50s, misalnya pada kloramfenikol dan eritromisin.
5.
Menghambat
asam nukleat. Contohnya : rifampisin
akan mengikat dan menghambat DNA-dependent RNA polymerase yang ada pada
bakteri, kuinolon akan mengambat DNA girase
Gambar
mekanisme kerja antimikroba beserta contohnya (Hendrik, 2011)
Penggolongan
Antimikroba
Antimkroba
dapat digolongkan berdasarkan strukturnya, yaitu :
1.
Antibiotik
golongan beta laktam. Contohnya : penisilin dan sefalosforin
2.
Antibiotik
golongan aminoglikosida. Contohnya : Neomisin, vankomisin, kanamisin
3.
Antibiotik
golongan tetrasiklin
4.
Antibitik
golongan makrolida. Contohnya : eritromisin
5.
Sulfonamida.
Contohnya : sulfadiazine, sulfametoksazol
6.
Antibiotik
golongan kuinolon. Contohnya : flouroquinolon, siprofloksasin
7.
Antijamur.
Contohnya : Amfoterisin B, glisefulvin, ketokonazol (Dalimunthe, 2009).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
·
Mikroorganisme
dapat bersifat pathogen, yakni membuat kerusakan atau kerugian terhadap tubuh
inang. Suatu mikroorganisme dapat memasuki jaringan tubuh inang dan
memperbanyak diri, sehingga menimbulkan infeksi.
·
Kemampuan
beberapa bakteri pathogen dalam infeksi ditentukan kelengkapan dari bakteri
tersebut, misalnya ada tidaknya fimbria, kapsul, pergerakan, dan sebagainya. Bakteri
pathogen memiliki kelengkapan enzim yang dapat berperan sebagai toksin baik
enzim ekstraseluler maupun intraseluler yang dapat meningkatkan derajat
virulensi bakteri tersebut.
·
Faktor
resistensi dari sel inang meliputi factor resistensi liingkungan dan resistensi
dari ras, individu, dan species itu sendiri
·
Mekanisme
pertahanan dalam melawan infeksi mikroorganisme ada dua macam yaitu eksternal
dan internal. Mekanisme pertahanan eksternal merupakan factor dalam resistensi
inang nonspesifik. Di sini bukan hanya factor mekanik yaitu oleh kulit mukosa
membran, tapi juga barrier senyawa kimia. Sedangkan mekanisme pertahanan
internal dilakukan ketika mikroorganisme dapat menembus pertahanan eksternal. Komponen
mekanisme pertahanan internal yang ada merupakan barrier yang kuat untuk infeksi.
Hal ini termasuk mediator seluler dari sistem imun (“ sel natural killer”/ sel
NK, dan sel fagosit) dan suatu faktor terlarut sangat beragam, yang bertindak
sebagai perantara
·
Antimikroba
adalah obat-obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia.
Antimikroba dapat bersifat
a. Bakteriostatik,
yaitu yang menghambat dan menghentikan laju pertumbuhan bakteri. Contoh :
tetrasiklin, kloramfenikol, eritrosin
b. Bakterisid,
yaitu yang bersifat membunuh bakteri. Contoh : penisilin, sefalosforin,
gentasmisin.
3.2
Saran
·
Bagi para
pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai mikrobiologi kesehatan,
hendaknya dapat mengeksplor lebih dalam lagi mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan materi tersebut.
·
Setelah
mengetahui pengaruh negative dari mikroorganisme pathogen terhadap inangnya,
terutama manusia, hendaknya kita dapat melakukan upaya pencegahan agar dampak
buruk dari mikroorganisme tersebut dapat diminimalisir.
·
Upaya pencegahan
yang dapat dilakukan antara lain :
a) Menjaga
kebersihan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
b) Menjauhi
sumber-sumber penyakit
c) Memperbanyak
konsumsi vitamin C agar kekebalan tubuh meningkat
d) Mengkonsultasikan
penyakit-penyakit yang timbul kepada dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar