BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mikrobiologi merupakan ilmu pengetahuan
tentang perikehidupan makhluk-makhluk kecil yang hanyakelihatan dengan
mikroskop (bahasa Yunani: micros =
kecil, bios = hidup, logos = kata atau ilmu). Makhluk-makhluk
kecil itu disebut dengan mikroorganisme, mikroba, protista, atau jasad renik.
(Dwidjoseputro, 1998)
Ilmu pengetahuan tentang mikroorganisme
dapat diamalkan guna menambah kesejahteraan hidup manusia. Sesuai dengan itu,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai mikrobiologi
industri yang merupakan salah satu dari cabang ilmu mikrobiologi.
Mikrobiologi industri merupakan suatu
usaha memanfaatkan mikrobia sebagai komponen untuk industri atau
mengikutsertakan mikrobia dalam proses. Mikrobia dalam industri menghasilkan
bermacam produk, diantaranya adalah antibiotic dan pakan ternak. (Hidayat,
2006)
Berdasarkan latar belakang diatas,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai mikrobiologi industri yang meliputi
mikrobia penghasil antibiotika, pakan ternak dan mekanisme produksinya.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan dipaparkan
beberapa masalah, yaitu
1. Bagaimanakah peran mikroba dalam proses
pembuatan antibioka ?
2. Bagaimanakah mekanisme kerja mikroba
dalam pembuatan antibiotika ?
3. Bagaimanakah peran mikroba dalam proses
pembuatan pakan ternak ?
4. Bagaimanakah mekanisme kerja mikroba
dalam proses pembuatan pakan ternak ?
C. TUJUAN
Dalam makalah ini diharapkan mencapai
beberapa tujuan, yaitu
1. Untuk mengetahui peran mikroba dalam
proses pembuatan antibioka
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja mikroba
dalam pembuatan antibiotika
3. Untuk mengetahui peran mikroba dalam
proses pembuatan pakan ternak
4. Untuk mengetahui mekanisme kerja mikroba dalam proses
pembuatan pakan ternak.
BAB
II
PEMBAHASAN
Suatu mikroorganisme dianggap layak digunakan dalam
industri, bukan saja mampu menghasilkan substansi yang menarik, tetapi harus
lebih dari itu. Mikroorganisme harus tersedia sebagai biakan murni, sifat
genetiknya harus stabil, dan tumbuh dalam biakan berskala-besar. Biakan juga
harus dapat dipelihara dalam periode waktu yang sangat panjang di laboratorium
dan dalam ‘plant’ industri.
Biakan tersebut lebih disukai jika dapat menghasilkan
spora dan bentuk sel
reproduktif
lain sehingga mikroba mudah diinokulasikan ke dalam fermentor besar.
Karakteristik penting yang harus dimiliki mikroorganisme industri yaitu
harus
tumbuh cepat dan menghasilkan produk yang diharapkan dalam waktu yang
relatif
singkat, karena alasan sebagai berikut:
1.
Alat-alat yang
digunakan pada industri berskala besar termasuk mahal, hal tersebut tidak
menjadi masalah (secara ekonomi) jika produk dapat dihasilkan dengan cepat;
2.
Jika
mikroorganisme tumbuh dengan cepat, kontaminasi fermentor akan berkurang;
3.
Jika
mikroorganisme tumbuh dengan cepat, akan lebih mudah mengendalikan berbagai
faktor lingkungan dalam fermentor.
Sifat penting lain yang harus dimiliki
mikroorganisme industri adalah:
a)
Tidak berbahaya
bagi manusia, dan secara ekonomik penting bagi hewan dan tumbuhan.
b)
Harus
non-patogen dan bebas toksin, atau jika menghasilkan toksin, harus cepat
di-inaktifkan. Karena, ukuran populasi besar dalam fermentor industri, sebenarnya
tidak memungkinkan menghindari kontaminasi dari lingkungan luar fermentor,
suatu patogen yang ada akan mampu mendatangkan masalah.
c)
Mudah
dipindahkan dari medium biakan. Di laboratorium, sel mikroorganisme pertamakali
dipindahkan dengan sentrifugasi, tetapi sentrifugasi bersifat sulit dan mahal
untuk industri skala-besar.
d)
Mikroorganisme
lebih disukai jika berukuran besar, karena sel lebih mudah dipindahkan dari
biakan dengan penyaringan (dengan bahan penyaring yang relatif murah).
Sehingga, fungi, ragi, dan bakteri berfilamen, lebih disukai. Bakteri unisel,
berukuran kecil sehingga sulit dipisahkan dari biakan cair.
e)
Terakhir,
mikroorganisme industri harus dapat direkayasa secara genetik. Dalam
bioteknologi mikroorganisme tradisional peningkatan hasil diperoleh melalui
mutasi dan seleksi. Mutasi akan lebih efektif untuk mikroorganisme dalam bentuk
vegetatif dan haploid, dan bersel satu. Pada organisme diploid dan bersel
banyak mutasi salah satu genom tidak akan menghasilkan mutan yang mudah
diisolasi. Untuk fungi berfilamen, lebih disukai yang menghasilkan spora,
karena filamen tidak mampu mempermudah rekayasa genetika. Organisme juga
diharapkan dapat direkombinasi secara genetik, juga dengan proses seksual dan
beberapa jenis proses paraseksual. Rekombinasi genetik memungkinkan
penggabungan genom tunggal sifat genetik dari beberapa organisme. Teknik yang
sering digunakan untuk menciptakan hibrid, bahkan tanpa siklus seksual adalah
fusi/penggabungan protoplasma, menyertai regenasi sel vegetatif dan seleksi
progeni hibrid. Bagaimanapun, beberapa strain industri sudah diperbaiki secara
genetik tanpa menggunakan rekombinasi genetika. (Kusnadi, tanpa tahun)
1. ANTIBIOTIK
Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang
merupakan gabungan dari kata anti
(lawan) dan bios (hidup). Kalau
diterjemahkan bebas menjadi "melawan sesuatu yang hidup". Antibiotika
di dunia kedokteran digunakan sebagai obat untuk memerangi infeksi yang
disebabkan oleh bakteri atau protozoa. Antibiotika adalah zat yang dihasilkan
oleh suatu mikroba, terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat atau dapat
membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara
semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik
tidak diturunkan dari produk mikroba.
Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba
yang menyebabkan infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas
selektif setinggi mungkin. Artinya, antibiotika tersebut haruslah bersifat
sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Yang
harus selalu diingat, antibiotika hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri
tetapi tidak dapat membunuh virus. Karena itu, penyakit yang dapat diobati
dengan antibiotika adalah penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Cara kerja obat antibiotik ini dapat dibedakan menjadi tiga:
- bakteri akan dicegah tingkat pertumbuhannya
- bakteri dimusnahkan, tetapi secara secara materi(physical) masih ada
- bakteri dimusnahkan dan selnya dihancurkan (Setyaningsih, 2011)
Antibiotika merupakan produk metabolisme
sekunder. Meskipun hasilnya relatif rendah dalam sebagian besar industri
fermentasi, tetapi karena aktivitas terapetiknya tinggi maka menjadi memiliki
nilai ekonomik tinggi, oleh karena itu antibiotika dibuat secara komersial
melalui fermentasi mikroba. Beberapa antibiotika dapat disintesis secara kimia,
tetapi karena kompleksitas bahan kimia antibiotika dan cenderung menjadi mahal,
maka tidak memungkinkan sintesis secara kimia dapat bersaing dengan fermentasi
mikroorganisme.Penggunaan antibiotika secara komersial, pertamakali dihasilkan oleh fungi berfilamen dan oleh bakteri kelompok actinomycetes. Daftar sebagian besar antibiotika yang dihasilkan melalui fermentasi industri berskala-besar, dapat dilihat pada Tabel 1.1. Seringkali, sejumlah senyawa kimia berhubungan dengan keberadaan antibiotika, sehingga dikenal famili antibiotik. Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimianya (Tabel 1.1). Sebagian besar
antibiotika
digunakan secara medis untuk mengobati penyakit bakteri, meskipun sebagian
diketahui efektif menyerang penyakit fungi. Secara ekonomi dihasilkan lebih
dari 100.000 ton antibiotika per tahun, dengan nilai penjualan hampir mendekati
$ 5 milyar.
Tabel
1.1 Beberapa antibiotika yang dihasilkan secara komersial
(Sumber:Brock
& Madigan,(1991 dalam Kusnadi (tanpa tahun)
Tahap-tahap
menuju produk komersial
Suatu
antibiotika yang dihasilkan secara komersial, pada awalnya harus berhasil
diproduksi pada fermentor industri berskala-besar. Salah satu gugus-tugas
penting adalah pengembangan efisiensi metode pemurnian. Metode elaborasi (yang
terperinci) sangat penting dalam ekstraksi dan pemunian antibiotika, karena
jumlah antibiotika yang terdapat dalam cairan fermentasi hanya sedikit (Gambar
1.1).
Gambar 1.1 Seluruh proses ekstraksi dan pemurnian
antibiotik
(Sumber:Brock & Madigan,1991 dalam Kusnadi
(tanpa tahun)
Jika
antibiotika larut dalam pelarut organik yang tidak dapat bercampur dengan air,
maka pemurniannya relatif lebih mudah, karena memungkinkan untuk mengekstraksi
antibiotika ke dalam suatu pelarut bervolume kecil, sehingga lebih mudah
mengumpulkan antibiotika tersebut. Jika antibiotika tidak larut dalam pelarut,
selanjutnya harus dipindahkan dari cairan fermentasi melalui adsorpsi,
pertukaran ion, atau presipitasi secara kimia. Pada semua kasus, tujuannya
untuk memperoleh produk kristalin yang sangat murni, meskipun sejumlah
antibiotika tidak mudah terkristalisasi dan sulit dimurnikan.
Masalah yang berhubungan adalah, kultur
sering menghasilkan produk akhir lain, termasuk antibiotika lain, dalam hal ini
penting mengakhiri proses dengan suatu produk yang hanya terdiri dari
antibiotik tunggal. Pemurnian secara kimia mungkin dibutuhkan untuk
mengembangkan metode dalam rangka menghilangkan produk sampingan yang tidak
diharapkan, tetapi dalam beberapa kasus hal tersebut penting untuk ahli
mikrobiologi untuk menemukan strain yang tidak menghasilkan senyawa kimia dan
tidak diharapkan.
1.1 Klasifikasi Antibiotik
Dalam
beberapa hal mekanisme kegiatan antibiotik sukar diterangkan, karena beberapa
alasan, seperti :
- Kesulitan menetapkan gangguan tersebut sebagai pengaruh sekunder atau primer.
- Kebanyakan antibiotik merupakan substansi kimia yang rumit dan sering tidak mungkin disintesis secara kimia, se-hingga sulit membuat antibiotik bertanda radioaktif.
- Reaksi esensiil yang diblokir, mungkin belum diketahui dengan jelas.
- Metabolisme organisme berbeda satu sama lain walaupun pada prinsipnya sama, sehingga mekanisme kegiatan pada satu organisme, mungkin bukan cara antibiotik tersebut menghambat pertumbuhan organisme lainnya (Usman,1992).
Cara yang ditempuh oleh antibiotik
dalam menekan bakteri dapat bermacam-macam, namun dengan tujuan yang sama yaitu
untuk menghambat perkembangan bakteri. Oleh karena itu mekanisme kerja
antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat dijadikan
dasar untuk mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut:
1. Antibiotik yang menghambat sintesis
dinding sel bakteri. Yang termasuk ke dalam
golongan
ini adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin.
a) Beta-laktam menghambat pertumbuhan
bakteri dengan cara berikatan pada enzim DD-transpeptidase yang memperantarai
dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding
sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan
osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding
peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan
Penicillin) hanya efektif terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan
membran terluar (outer membran) yang terdapat pada bakteri gram
negatif membuatnya tak mampu menembus dinding peptidoglikan.
b) Penicillin meliputi natural Penicillin,
Penicillin G dan Penicillin V, merupakan antibiotik bakterisidal yang
menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk penyakit-penyakit seperti
sifilis, listeria, atau alergi bakteri gram positif/Staphilococcus/Streptococcus.
Namun karena Penicillin merupakan jenis antibiotik pertama sehingga paling lama
digunakan telah membawa dampak resistansi bakteri terhadap antibiotik ini.
Namun demikian Penicillin tetap digunakan selain karena harganya yang murah
juga produksinya yang mudah.
c) Polypeptida meliputi Bacitracin,
Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya bersifat bakterisidal. Bacitracin dan
Vancomycin sama-sama menghambat sintesis dinding sel. Bacitracin digunakan
untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin digunakan untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus.
Adapun Polymixin B digunakan untuk bakteri gram negatif.
d) Cephalosporin (masih segolongan dengan
Beta-laktam) memiliki mekanisme kerja yang hampir sama yaitu dengan menghambat
sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Normalnya sintesis dinding sel ini
diperantarai oleh PBP (Penicillin Binding Protein) yang akan berikatan dengan
D-alanin-D-alanin, terutama untuk membentuk jembatan peptidoglikan. Namun
keberadaan antibiotik akan membuat PBP berikatan dengannya sehingga sintesis
dinding peptidoglikan menjadi terhambat.
e) Ampicillin memiliki mekanisme yang sama
dalam penghancuran dinding peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu
berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan
keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus
membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif.
f) Penicillin jenis lain, seperti
Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik bakterisidal yang digunakan
untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan Methicillin dan
Oxacillin biasanya untuk bakteri gram positif yang telah membentuk kekebalan
(resistansi) terhadap antibiotik dari golongan Beta-laktam.
g) Antibiotik jenis inhibitor sintesis
dinding sel lain memiliki spektrum sasaran yang lebih luas, yaitu Carbapenems,
Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat bakterisidal.
2. Antibiotik yang
menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid,
Lincosamides, Metronidazole.
a) Quinolone merupakan antibiotik
bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara masuk melalui
porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan demikian akan
menghambat replikasi dan transkripsi DNA. Quinolone lazim digunakan untuk infeksi
traktus urinarius.
b) Rifampicin (Rifampin) merupakan
antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan cara berikatan dengan β-subunit
dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada akhirnya
sintesis protein. Rifampicin
umumnya menyerang bakteri spesiesMycobacterum.
c) Nalidixic acid merupakan antibiotik
bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja yang sama dengan Quinolone, namun
Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit demam tipus.
d) Lincosamides merupakan antibiotik yang
berikatan pada subunit 50S dan banyak digunakan untuk bakteri gram
positif, anaeroba Pseudomemranous
colitis. Contoh dari golongan Lincosamides adalah Clindamycin.
e) Metronidazole merupakan antibiotik
bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan berefek menghambat sintesis DNA.
3.
Antibiotik
yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
Macrolide, Aminoglycoside,
Tetracycline, Chloramphenicol,
Kanamycin,
Oxytetracycline.
a) Macrolide, meliputi Erythromycin dan
Azithromycin, menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit
50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA
yang diperlukan untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis,
namun dalam konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide
biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya
infeksi. Macrolide biasanya
digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus.
b) Aminoglycoside meliputi Streptomycin,
Neomycin, dan Gentamycin, merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan
dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik
jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri gram negatif.
c) Tetracycline merupakan antibiotik
bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal 16S-30S dan mencegah
pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian
akan menghambat translasi protein. Namun
antibiotik jenis ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan gigi menjadi
berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati.
d) Chloramphenicol merupakan antibiotik
bakteriostatis yang menghambat sintesis protein dan biasanya digunakan pada
penyakit akibat kuman Salmonella.
4.
Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Contohnya antara lain Ionimycin
dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel
sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel.
5. Antibiotik
yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.
a) Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan
bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase
(DHPS). Dengan dihambatnya enzim
DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri.
Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat, di mana fungsinya adalah
untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan sel
serta sintesis DNA dan protein. Biasanya
Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserriameningitis.
b) Trimetophrim juga menghambat pembentukan
DNA dan protein melalui penghambatan metabolisme, hanya mekanismenya berbeda
dari Sulfonamide. Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase
yang seyogyanya dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi
tetrahidrofolat (THF).
c) Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine)
merupakan antibiotik yang dikenal sebagai purin-antagonis dan analog-glutamin.
Azaserin mengganggu jalannya metabolisme bakteri dengan cara berikatan dengan situs
yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga mengganggu pembentukan glutamin
yang merupakan salah satu asam amino dalam protein.
1.2 Contoh Antibiotik
1.1.1
Penisilin
Penisilin
merupakan salah satu antibiotik yang paling efektif selama empat decade ini. Peningkatan
kebutuhan medis akan penisilin telah membuka peluang bagi pengembangan industri
pembuatan penisilin secara komersial yang menuntut peningkatan kualitas dan
kuantitas dari penisilin yang dihasilkan. Perbaikan kualitas dan kuantitas
penisilin dapat tercapai apabila parameter-parameter metabolik dari proses
fermentasi adalah optimum (Maya,2002).
Penisilin merupakan
campuran asam organik berstruktur komplek yang diisolasi sebagai garam-garam
natrium, kalium dan kalsium. Pensilin dihasilkan selama pertumbuhan dan
metabolisme kapang Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Kultur
yang sama dapat menghasilkan beberapa macam molekul penisilin antara lain
penisilin G dan penisilin V (Husein,1982). Dewasa ini dikenal 5 jenis penisilin
hasil proses fermentasi . Penisilin G merupakan penisilin yang paling banyak
diproduksisecara komersial dewasa ini (Maya,2002).
Sebagai strain penghasil antibiotika salah
satunya adalah Penicillium chrysogenum. Ada beberapa alasan penelitian ini menggunakan
antimikroba ini, antara lain adalah
1.
Mikroorganisme ini menghasilkan antibiotik
Penisilin dengan cara proses fermentasi.
2.
Mikroorganisme ini mempunyai spektrum yang
sangat luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif serta
beberapa jamur dengan daya toksisitas yang rendah.
3.
Antibiotik penisilin dikenal sebagai
antibiotik β-laktam merupakan inhibitor spesifik terhadap sintesis dinding sel
bakteri.
4.
Situs aksi antibiotika ini adalah
transpeptidase dan D-alanin karboksipeptidase, yang mengkatalis polimerisasi
rantai peptidoglikan (1)(3)(7) (Viena ,dkk.2003).
Menurut Maya (2002),
Penisilin diproduksi secara komersial dengan menggunakan bahan baku utama
berupa glokosa, laktosa, dan cairan rendaman jagung. Mineral-mineral yang
digunakan adalah NaNO3, Na2SO4, CaCO3,
KH2PO4, MgSO4, 7H2O, ZnSO4,
dan MnSO4. Untuk meningkatkan yield dan modifikasi tipe penisilin yang akan
dihasilkan, maka kedalam media fermentasi ditambahkan juga precursor, misalnya
phenylacetic acid yang digunakan untuk memproduksi penisilin G. Cairan rendaman
jagung adalah media fermentasi dasar yang terdiri dari asamamino, polipeptida,
asam laktat dan mineral-mineral. Kualitas cairan rendaman jagung sangat
bergantung pada derajat pengenceran hingga diperoleh konsentrasi yang diinginkan, sedangkan
besarnya jumlah nutrient dan alkali yang ditambahkan kedalam media dasar
disesuaikan dengan jumlah media fermentasi dasar ini.
Kemudian Maya (2002)
dalam makalahnya juga mendeskripsikan proses pembuatan penisilin. Proses
fermentasi penisilin didahului oleh tahapan seleksi strain Penicillium chrysogenum
pada media agar di laboratorium dan perbanyakan pada tangki seeding. Penicillium
chrysogenum yang dihasilkan secara teoritis dapat mencapai konversi yield
maksimum sebesar 13 – 29 %. Media fermentasi diumpankan ke dalam fermentol pada
suasana asam (pH 5,5).Proses fermentasi ini diawali dengan sterilisasi media
fermentasi melalui pemanasan dengan steam bertekanan sebesar 15 lb (120 0C)
selama ½ jam. Sterilisasi ini dilanjutkan dengan proses pendinginan fermentol
dengan air pendingin yang masuk ke dalam fermentol melalui coil pendingin.
Fermentol yang
digunakan merupakan fessel vertikal bertekanan yang terbuat dari carbon steel
dan dilengkapi dengan coil pemanas, coil pendingin, pengaduk tipe turbin dan
sparger yang berfungsi untuk memasukkan udara steril.
Saat temperatur
mencapai 75oF (24 oC), media ini diinokulasi pada kondisi aseptic dengan
mengumpankan spora-spora kapang Penicillium chrysogenum. Selama proses
fermentasi berlangsung dilakukan pengadukan, sementara udara steril dihembuskan
melalui sparger kedalam fermentol. Proses fermentasi ini akan berlangsung
secara batch terumpani selama 100 – 150 jam dengan tekanan operasi 5 – 15 psig.
Temperatur operasi dijaga konstan selama fermentasi penisilin berlangsung
dengan cara mensirkulasikan air pendingin melalui coil. Busa-busa yang
terbentuk dapat diminimalkan dengan penambahan agen anti-foam. Kapang aerobic
dibiarkan tumbuh selama 5 – 6 hari saat gas CO2 mulai terbentuk.
Ketika penisilin ini
dihasilkan jumlahnya telah maksimum, maka cairan hasil fermentasi tersebut
didinginkan hingga 28 oF (2 oC), dan diumpankan kedalam
rotary vacum filter untuk memisahkan miselia dan penisilin. Miselia akan
dibuang, sehingga diperoleh filtrat berupa cairan jernih yang mengandung
penisilin. Untuk mendapatkan penisilin yang siap dikomsumsi, maka tahapan
dilanjutkan dengan proses ekstraksi dan kristalisasi.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi
fermentasi penisilin, yaitu
a. Pengaruh Faktor
Lingkungan
Fermentasi
pensilin sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi proses dan lingkungannya.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan penisilin ini
antara lain adalah : Temperatur, pH, Sistem Aerasi, Sistem Pengadukan,
Penggunaan zat anti busa, dan upaya pencegahan kontaminasi pada medium.
b. Temperatur
Fermentasi
untuk pembuatan penisilin akan menghasilkan produk yang maksimum apabila
temperatur operasi dijaga pada 24oC. Temperatur berkaitan erat dengan
pertumbuhan mikroorganisme, karena kenaikan temperatur dapat meningkatkan
jumlah sel mikroorganisme baru. Apabila temperatur sistem meningkat melebihi
temperatur optimumnya, maka produk yang dihasilkan akan berkurang, karena
sebagian dari media fermentasi akan digunakan oleh mikroorganisme untuk
mempertahankan hidupnya.
c. pH
Pengaturan
pH dilakukan untuk mencegah terjadinya fluktuasi pH sistem. Menurut Moyet dan
Coghill kehilangan penisilin dapat terjadi pada pH dibawah 5 atau pH diatas
7,5. PH medium dipengaruhi oleh jenis dan jumlah karbohidrat (glukosa atau
laktosa) dan buffer. Karbohidrat akan difermentasi menjadi asam-asam organik.
Fermentasi glukosa yang berlangsung cepat akan menurunkan pH, sedangkan laktosa
terfermentasi dengan sangat lambat sehingga perubahan pH berlangsung lambat
pula. Konsentrasi gula hasil fermentasi ini berfungsi mempertahankan kenaikan
pH agar tetap lambat. Larutan buffer dapat digunakan untuk mempertahankan pH
sistem. Kalsium karbonat merupakan
senyawa yang sering digunakan untuk tujuan ini. Kalsium karbonat mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan pH sistem saat ditambahkan media fermentasi.
d. Aerasi
Aerasi
yang cukup merupakan hal penting untuk memaksimalkan penisilin, sebab aerasi
dapat menghasilkan oksigen yang dihasilkan oleh kapang Penicillum chrysogenum
untuk metabolismenya. Aerasi pada fermento diberikan melalui proses pengadukan
atau dengan tekanan sebesar 20 lb/in2 akan mengurangi penisilin yang
dihasilkan.
e. Pengadukan
Pemilihan
jenis pengaduk dan kecepatan pengadukan yang sesuai akan memperbaiki hasil
penisilin ketika laju aerasi konstan. Kecepatan pengadukan proses fermentasi
umumnya berkisar pada range 250 – 500 cm/detik. Pembentukan busa yang
berlebihan selama proses fermentasi dapat dieliminasi dengan penambahan tributinit
sutrat. Secara umum, busa akan menurunkan pH apabila konsentrasinya terus
bertambah.
f. Sterilisasi
Kontaminasi
dapat dihindarkan dengan cara sterilisasi
sistem perpipaan, fermentol, dan peralatan lain yang kontak langsung
dengan penisilin. Uap panas umumnya digunakn untuk sterilisasi media fermentasi
dan peralatan tersebut. Zat anti busa dan udara untuk aerasi juga hasus
disterilkan terlebih dahulu sebelum diumpankan kedalam media fermentasi (Maya,
2002).
2. PAKAN TERNAK
Teknik produksi pakan ternak adalah serangkaian
aktivitas yang melibatkan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan pakan
yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh nutrisionist. Bahan pakan terdiri dari bahan organik
dan anorganik. Bahan organik yang terkandung dalam bahan pakan antara lain,
protein, lemak, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, sedang bahan
anorganik yang dimaksud seperti calsium, phospor, magnesium, kalium, natrium
dan lain sebagainya. Kandungan bahan organik ini dapat diketahui dengan
melakukan analisis proximate dan analisis terhadap vitamin dan mineral untuk
masing masing komponen vitamin dan mineral yang terkandung didalam bahan yang
dilakukan di laboratorium dengan teknik dan alat yang spesifik.
Formulasi pakan ternak, biasanya disusun oleh seorang ahli nutrisi (nutrisionist) yang memiliki
pengetahuan yang luas mengenai aspek-aspek teknis, zooteknis dan ekonomis.
Paduan dari ketiga aspek diatas adalah terciptanya suatu susunan tiga atau lebih bahan baku pakan yang telah
diperhitungkan target kandungan nutrisinya sehingga dapat direkomendasikan
penggunaannya untuk ternak dan produk pakan tersebut harus marketable.
Nutrisionist adalah seorang ahli pakan ternak, persyaratan yang harus dimiliki adalah
mengetahui kebutuhan hidup untuk setiap jenis dan periode hidup ternak,
toleransi ternak terhadap zat-zat pakan tertentu, macam dan jenis pakan yang
dapat dimanfaatkan oleh ternak, faktor penghambat (antinutrisi) yang terkandung
dalam bahan pakan, pengaruh musim dan lingkungan terhadap ketersedian bahan
baku pakan, mampu menjamin kontinuitas produksi, mampu menjamin tidak
menyebabkan ternak sakit serta mampu mengkalkulasi formula yang ekonomis dengan
kualitas memenuhi standar.
2.1 Contoh Pakan Ternak
2.1.1
Silase
Silase adalah pakan yang
telah diawetkan yang di proses dari bahan baku yang
berupa tanaman hijauan , limbah industri pertanian, serta bahan
pakan alami lainya, dengan jumlah kadar / kandungan air pada
tingkat tertentu kemudian di masukan dalam sebuah tempat yang tertutup rapat
kedap udara , yang biasa disebut dengan Silo, selama sekitar tiga minggu. Didalam
silo tersebut tersebut akan terjadi beberapa tahap proses anaerob
(proses tanpa udara/oksigen), dimana “bakteri asam laktat akan mengkonsumsi zat
gula yang terdapat pada bahan baku, sehingga terjadilah proses
fermentasi. Silase yang terbentuk karena proses fermentasi ini dapat di simpan
untuk jangka waktu yang lama tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisi dari
bahan bakunya.
Tujuan pembuatan Silase
Tujuan utama pembuatan
silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat
pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa di disimpan dalam kurun
waktu yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai pakan bagi ternak. Sehingga
dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Sayangnya
fermentasi yang terjadi didalam silo (tempat pembuatan silase), sangat tidak
terkontrol prosesnya, akibatnya kandungan nutrisi pada bahan yang di awetkan
menjadi berkurang jumlahnya.. Maka untuk memperbaiki berkurangnya nutrisi
tersbut, beberapa jenis zat tambahan (additive) harus di gunakan agar kandungan
nutrisi dalam silase tidak berkurang secara drastis, bahkan bisa
meningkatkan pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi ternak yang memakannya.
Prinsip Dasar Fermentasi Silase
Prinsip dasar dari pengawetan dengan cara
silase fermentasi adalah sebagai berikut.
·
Respirasi
Sebelum sel-sel di dalam tumbuhan mati atau tidak
mendapatkan oksigen, maka mereka melakukan respirasi untuk membentuk energi
yang di butuhkan dalam aktivitas normalnya. Respirasi ini merupakan konversi
karbohidrat menjadi energi. Respirasi ini bermanfaat untuk menghabiskan oksigen
yang terkandung, beberapa saat setelah bahan di masukan dalam silo. Namun
respirasi ini mengkonsumsi karbohidrat dan menimbulkan panas, sehingga waktunya
harus sangat di batasi. Respirasi yang berkelamaan di dalam
bahan baku silase, dapat mengurangi kadar karbohidrat, yang pada
ahirnya bisa menggagalkan proses fermentasi. Pengurangan kadar oksigen yang
berada di dalam bahan baku silase, saat berada pada ruang yang kedap
udara yg disebut dengan Silo, adalah cara terbaik meminimumkan masa respirasi
ini.
Setelah kadar oksigen habis , maka proses fermentasi
di mulai. Fermentasi adalah menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase.
Sampai dengan kadar pH dimana tidak ada lagi organisme yang dapat hidup dan
berfungsi di dalam silo.Penurunan kadar pH ini dilakukan oleh lactic
acid yang di hasilkan oleh bakteri Lactobacillus. Lactobasillus itu sendiri
sudah berada didalam bahan baku silase, dan dia akan tumbuh dan
berkembang dengan cepat sampai bahan baku terfermentasi. Bakteri ini
akan mengkonsumsi karbohidrat untuk kebutuhan energinya dan mengeluarkan lactic
acid. Bakteri ini akan terus memproduksi lactic acid dan menurunkan kadar pH di
dalam bahan baku silase. Sampi pada tahap kadar pH yang
rendah, dimana tidak lagi memungkinkan bakteri ini beraktivitas.
Sehingga silo berada pada keadaan stagnant, atau tidak ada lagi perubahan yang
terjadi, sehingga bahan baku silase berada pada keadaan yang tetap.
Keadaan inilah yang di sebut keadaan terfermentasi,
dimana bahan baku berada dalam keadaan tetap , yang
disebut dengan menjadi awet. Pada keadaan ini maka silase dapat di
simpan bertahun-tahun selama tidak ada oksigen yang menyentuhnya.
Bakteri ini juga sudah berada pada hijauan atau
bahan baku silase lainnya, saat mereka di masukan kedalam silo. Bakteri
ini mengkonsumsi karbohidrat, protein dan lactic acid sebagai sumber energi
mereka kemudian mengeluarkan Butyric acid, dimana Butyric acid bisa
diasosiasikan dengan pembusukan silase. Keadaan yang
menyuburkan tumbuhnya bakteri clostridia adalah kurangnya kadar
karbohidrat untuk proses fermentasi , yang biasanya di sebabkan oleh kehujanan
pada saat pencacahan bahan baku silase, proses respirasi yang terlalu
lama, terlalu banyaknya kadar air di dalam bahan baku. Dan juga kekurangan
jumlah bakteri Lactobasillus . Itulah sebabnya kadang di perlukan penggunaan
bahan tambahan atau aditive.
Ø
Tahapan atau Phase yang terjadi pada proses fermentasi Silase
Proses fermentasi ini (yang biasa di sebut
dengan Ensiling), berjalan dalam enam phase, yaitu:
v
Phase I
Saat pertama kali hijauan di panen, pada seluruh
permukaan hijauan tersebut terdapat organisme aerobic, atau sering disebut
sebagai bakteri aerobic, yaitu bacteri yang membutuhkan udara / oksigen. Sehingga
pada saat pertamakali hijauan sebagai bahan pembuatan silase di masukan ke
dalam silo, bakteri tersebut akan mengkonsumsi udara/oksigen yang terperangkap
di dalam ruang silo tersebut. Kejadian ini merupakan sesuatu yang tidak di
inginkan untuk terjadi saat ensiling, karena pada saat yang sama bakteri
aerobik tersebut juga akan mengkonsumsi karbohidrat yang sebetulnya di perlukan
bagi bakteri lactic acid.
Walaupun kejadian ini nampak menguntungkan dalam
mengurangi jumlah oksigen di dalam silo , sehingga menciptakan lingkungan
anaerob seperti yang kita kehendaki dalam ensiling, namun kejadian tersebut
juga menghasilkan air dan peningkatan suhu / panas. Peningkatan panas yang
berlebihan akan mengurangi digestibility kandungan nutrisi, seperti
misalnya protein. Proses perubahan kimiawi yang terjadi pada phase
awal ini adalah terurainya protein tumbuhan, yang akan
terurai menjadi amino acid, kemudian menjadi amonia dan amines.
Lebih dari 50% protein yang terkandung di dalam bahan baku akan
terurai. Laju kecepatan penguraian protein ini (proteolysis), sangat tergantung
dari laju berkurangnya kadar pH. Ruang lingkup silo yang menjadi acid, akan
mengurangi aktivitas enzym yang juga akan menguraikan protein.
Lama terjadinya proses dalam tahap ini tergantung pada
kekedapan udara dalam silo, dalam kekedapan udara yang baik maka phase
ini hanya akan bejalan beberapa jam saja. Dengan teknik
penanganan yang kurang memadai maka phase ini akan
berlangsung sampai beberapa hari bahkan beberapa minggu.
Untuk itu maka tujuan utama yang harus di capai pada
phase ensiling ini adalah, semaksimum mungkin di lakukan pencegahan masuknya
udara/oksigen, sehingga keadaan anaerobic dapat secepatnya tercapai.
Kunci sukses pada phase ini adalah:
- Kematangan
bahan
- Kelembaban
bahan
- Panjangnya
pemotongan yang akan menentukan kepadatan dalam silo
- Kecepatan
memasukan bahan dalam silo
- Kekedapan
serta kerapatan silo
v
Phase II
Setelah oksigen habis di konsumsi bakteri aerobic,
maka phase dua ini di mulai, disinilah proses fermentasi dimulai, dengan
dimulainya tumbuh dan berkembangnya bakteri acetic – acid. Bakteri
tersebut akan menyerap karbohidrat dan menghasilkan acetic acid
sebagai hasil ahirnya. Pertumbuhan acetic acid ini sangat diharapkan, karena
disamping bermanfaat untk ternak ruminansia juga menurunkan kadar pH
yang sangat di perlukan pada phase berikutnya. Penurunan kadar pH di
dalam silo di bawah 5.0, perkembangan bakteri acetic acid akan
menurun dan ahirnya berhenti dan itu merupakan tanda berahirnya phase-2. Dalam
fermentasi hijauan phase-2 ini berlangsung antara 24 s/d 72 jam.
v
Phase III
Makin menurunnya kadar pH akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan
bakteri anaerob lainnya yang memproduksi latic acid. Maka pada phase ini latic
acid akan bertambah terus.
v
Phase IV
Dengan bertambahnya jumlah bakteri pada phase 3,
maka karbohidrat yang akan terurai menjadi latic acid
juga makin bertambah. Latic acid ini sangat di butuhkan dan memegang peranan
paling penting dalam proses fermentasi. Untuk pengawetan yang efisien,
produksinya harus mencapai 60% dari total organic acid dalam silase. Saat
silase di konsumsi oleh ternak, latic acid akan di manfaatkan sebagai sumber
energi ternak tersebut.
Phase 4 ini adalah phase yang paling lama saat
ensiling, proses ini berjalan terus sampai kadar pH dari bahan hijauan yang di
pergunakan turun terus, hingga mencapai kadar yang bisa menghentikan
pertumbuhan segala macam bakteri, dan hijauan atau
bahan baku lainnya mulai terawetkan. Tidak akan ada lagi proses
penguraian selama tidak ada udara/oksigen yang masuk atau di masukan.
v
Phase V
Pencapaian final kadar pH tergantung dari jenis
bahan baku yang di awetkan, dan juga kondisi saat di masukan dalam
silo. Hijauan pada umumnya akan mencapai kadar pH 4,5, jagung 4.0. Kadar
pH saja tidaklah merupakan indikasi dari baik buruknya proses fermentasi ini.
Hijauan yang mengandung kadar air di atas 70% akan
mengalami proses yang berlainan pada phase 5 ini. Bukan bakteri yang
memproduksi latic acid yang tumbuh dan berkembang, namun bakteri clostridia
yang akan tumbuh dan berkembang. Bakteri anaerobic ini akan memproduksi butyric
acid dan bukan latic acid, yang akan menyebabkan silase berasa asam. Kejadian
ini berlangsung karena pH masih di atas 5.0 (Tonyu, 2008).
v
Phase VI
Phase ini merupakan phase pengangkatan silage dari
tempatnya /silo.
Proses yang terjadi dalam 6phase
|
Phase I
|
Phase II
|
Phase III
|
Phase IV
|
Phase V
|
Phase VI
|
Umur Silase
|
0-2 hari
|
2-3 days
|
3-4 days
|
4-21 days
|
21 days-
|
|
lactic
|
Respirasi sel; menghasilkan
CO2, panas danair |
Produksi
acetic acid dan lactic acid |
Pembetukan
acid |
Pembentukan Lactic
acid |
Penyimpanan Material
|
Pembusukan Aerobic
re-exposure dengan oxygen |
Perubahan suhu **
|
69-90 F
|
90-84 F
|
84 F
|
84 F
|
84 F
|
84 F
|
Perubahan pH
|
6.5-6.0
|
6.0-5.0
|
5.0-4.0
|
4.0
|
4.0
|
4.0-7.0
|
Produksi yg di hasilkan
|
Acetic acid
dan lactic acid bacteria |
Lactic
acid bacteria |
Lactic
acid bacteria |
pembusukan
|
** Suhu atau temperatur sangat tergantung suhu
ruangan. (Tonyu, 2008)
2.1.2
Pengolahan
Jerami Padi dengan Memanfaatkan Mikroba
Kemajuan bioteknologi dengan
memanfaatkan mikroba merupakan alternatif cara optimalisasi daur ulang limbah pertanian,
dan teknologi starbio adalah salah satu produk bioteknologi tersebut. Starter
mikroba atau starbio adalah probiotik hasil bioteknologi yang dibuat dari
koloni alami mikroba rumen sapi dicampur tanah, akar rerumputan, daun serta
dahan pohon tertentu. Koloni tersebut memiliki mikroba yang spesifik dengan
fungsi yang berbeda-beda seperti mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik.
(Mahardika, 2010)
Untuk meningkatkan kualitas limbah
pertanian seperti jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia dapat digunakan
starbio ternak yang dapat meningkatkan derajat fermentasi bahan organik
terutama komponen serat sehingga menyediakan sumber energi yang lebih baik.
Dengan fermentasi jerami padi dengan starbio menunjukkan peningkatan kualitas
dibanding jerami padi yang tidak difermentasi, dimana kadar protein kasar
mengalami peningkatan dan diikuti dengan penurunan kadar serat kasar.
Penggunaan starbio dalam fermentasi
dapat menurunkan kadar dinding sel jerami padi. Hal ini memberikan indikasi
bahwa selama fermentasi terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa
jerami padi. Mikroba lignolitik dalam starbio membantu perombakan ikatan
lignoselulosa sehingga selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut
oleh enzim lignase. Fenomena ini terlihat dengan menurunnya kandungan selulosa
dan lignin jerami padi yang difermentasi.
Menurunnya kadar lignin menunjukkan
selama fermentasi terjadi penguraian ikatan lignin dan hemiselulosa. Lignin
merupakan benteng pelindung fisik yang menghambat daya cerna enzim terhadap
jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan hemiselulosa. Disamping itu
fermentasi jerami padi dengan strarbio dapat melarutkan sebagian zat-zat
makanan atau mineral-mineral yang sukar larut sehingga mengakibatkan
meningkatnya kecernaan bahan kering dibanding jerami padi tanpa fermentasi.
Hal yang samakecernaan bahan organik
juga mengalami peningkatan pada jerami padi yang difermentasi. Fenomena
ini memberi indikasi bahwa probiotik
starbio dalam proses fermentasi mampu mencerna lignin dan zat-zat yang sukar
larut yang terdapat dalam bahan organik.
Pelaksanaan fermentasi jerami padi
dengan menggunakan starbio dan penambahan urea, terlebih dahulu dipersiapkan
tempat fermentasi berupa naungan/tempat fermentasi (misalnya tiang dari bambu
dan atap dari daun nipah). Prosedur pelaksanaan pengolahan jerami padi adalah
a.
Jerami padi ditumpuk 30 cm, kalau perlu diinjak-injak lalu
ditaburi urea dan starbio masing-masing 0.6 %/berat jerami padi dan kemudian
disiram air secukupnya mencapai kadar air 60 %, dengan tanda-tanda jerami padi
diremas, apabila air tidak menetes tetapi tangan basah berarti kadar air
mendekati 60 %,
b.
Tahapan point pertama diulangi hingga ketinggian mencapai
ketinggian tertentu (misalnya dua meter),
c.
Tumpukan jerami padi dibiarkan selama 21 hari dan tidak
perlu dibolak-balik,
d.
Setelah 21 hari jerami padi dibongkar lalu diangin-anginkan
atau dikeringkan, dan
e.
Jerami padi diberikan pada ternak sapi atau dapat disimpan
sebagi stok pakan. (Mahardika, 2010)
BAB
III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas, dapat diamil kesimpulan, yaitu
1. Dalam proses pembuatan
antibiotika, mikroba berperan penting, adapun beberapa contoh
mikroba, yaitu
2. Mekanisme kerja mikroba
dalam pembuatan antibiotika dapat
terjadi melalui pemurnian dan pengekstrakan serta ada yang melalui 6 fase,
contohnya penisilin
3. Dalam proses pembuatan
pakan ternak, juga dapat digunakan
mikroba, contohnya silase serta pembuatan jerami.
2. SARAN
Adapun
saran yang dapat diambil dalam makalah ini adalah:
- Untuk penulis selanjutnya agar memperbaiki dan menggali kembali mengenai mikrobiologi industri, karena dianggap tulisan yang penulis buat masih jauh dari kata sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar