Suaminya telah meninggal setahun lalu. Kini ia hidup sebagai janda
dengan lima orang anak; Manu, Ripin, Haron, Ambar, dan Nong. Dari kelima
anaknya yang hanya lulusan SD dan MTs, hanya Nong lah putra bungsu yang mampu
melanjutkan sekolah sampai ke univesitas negeri di luar kota atas bantuan
beasiswa tidak mampu. Dengan motor bututnya, Nong sekali-kali pulang kampung
untuk ibunya di rumah yang sebenarnya sudah mulai tak layak tinggal. Sedangkan anak-anaknya
lainnya ikut bersama suami atau istri masing-masing dan telah memberikan
cucu-cucu yang sudah besar, bahkan kabarnya, setelah lulus SD, cucu
perempuannya telah dinikahkan.
Sekali-kali ketika akan pulang kampung, aku menyisihkan uang jajan
untuk diamplop padanya.
“Terima kasih banyak, Nak. Nanti
malam aku akan tahajjud dan berdo’a khusus untukmu ya”, bisiknya menerima amplop yang aku tempelkan
pada telapak tangan kanannya.
Do’a kebaikan, imbalan yang cukup menggiurkan untuk seorang lemah
iman sepertiku. Sebenarnya dalam hati tidak ada pamrih sedikitpun; aku hanya
kecanduan dengan kerlingan bahagia di bola matanya yang memberitahuku bahwa uang
biru itu akan menjadi hidupnya untuk beberapa hari ke depan, walau hanya selembar.
Bahkan karenanya, aku bercita-cita menjadi orang kaya dengan banyak uang untuk
bisa memberinya lebih banyak lembar dalam amplop. Dia, Ningsih. Orang di desa
memanggilnya Buk Ning.
Aku mengenalnya, dan melihat keyakinannya yang kuat kepada Tuhan;
kesetiaannya dalam shalat berjama’ah Maghrib dan Subuh di masjid, do’anya yang
khusyu’, juga sapanya yang ramah, suaranya yang lirih saat tadarus di bulan
Ramadhan. Ya, aku diam-diam tertarik pada sosok wanita ini. Seringkali secara
sengaja aku shalat berjejer dengannya, sebab aku selalu rindu dengan aroma
balsam wangi di mukenah lusuh miliknya.
Beberapa bulan setelah suaminya meninggal..
Saat aku kembali pulang kampung, sampailah desas desus mengejutkan pada
telingaku.
“Buk Ning, bermesraan dengan Sahiq di sawah!”.
Aku sama sekali tidak percaya dengan gosip tentang Buk Ning yang
tidak lagi muda telah melakukan perbuatan terlarang dengan suami wanita lain. Bagaimana
mungkin?. Ah, aku tetap yakin gosip ini hanya fitnah dari mulut-mulut pendusta
atau iri terhadap Buk Ning yang aku kenal sangat taat kepada Tuhan. Lebih kejam
lagi, pergunjingan lain yang aku dengar bahwa mereka berdua memang sudah lama
menjalin asmara sebelum suami Buk Ning meninggal. Berita macam apa ini?.
Beberapa bulan kemudian setelah aku kembali ke tanah rantau, lagi-lagi
mendengar kabar bahwa Buk Ning telah menikah sirih dengan Sahiq. Aku begitu
jengah dengan gosip tak beradab semacam itu, kepada orang yang sangat aku hormati.
Hingga suatu hari aku menyaksikan dengan mata dan akal sehat; Sahiq sedang
duduk santai menyeruput rorkok dan sesekali meneguk kopi di rumah Buk Ning.
Bibirku bergetar menyaksikan, mataku melebar, hatiku benar-benar telah dibuat
kecewa oleh keyakinanku sendiri pada Buk Ning.
Manusia biasa, mencintai adalah fitrah. Namun jika pelampiasan cinta
itu dibenci Tuhan, tidak lagi menjadi fitrah, tapi nafsu. Tapi manusia tetaplah
manusia, tempat bersarangnya dosa karena khilaf. Pembelaanku terhadap Buk Ning.
Beberapa belas bulan kemudian, ternyata aku masih menyisakan kekagumanku
terhadap Buk Ning, ia masih rajin berjama’ah Maghrib dan Subuh di masjid, sama
seperti dulu. Tapi mataku terhenti pada bibirnya yang berubah hitam pekat.
Kisahnya, disebabkan ia alergi dengan obat tertentu. Sepertinya alergi yang
tidak begitu serius. Aku pun sedikit lega, mengingat sekarang telah ada suami
yang menafkahi. Aku tetap menyimpan uang sisihanku, namun bukan lagi untuk Buk
Ning.
Musibah …
“Buk Ning lumpuh..!! Buk Ning tidak bisa berbicara..!!”.
Teriak salah seorang tetangga.
Aku bergegas memakai gamis dan jilbabku untuk mencari tahu kebenaran
berita musibah itu. Aku berjalan cepat, tenggorokanku tercekat, berdo’a semoga
berita itu tidak tepat. Mataku melebar melihat rumah Buk Ning yang berjarak 100
meter dari rumahku kini telah penuh dengan sandal berwarna-warni.
Demi apa Tuhan, aku dengan sadar melihatnya terbujur kaku di haribaan
Ambar putrinya. Ambar bercerita bahwa beberapa jam sebelumnya, ibunya masih
bekerja di sawah. Lalu setelah pulang, ia benar-benar menjelma seperti patung.
Bahkan tidak dapat berkedip sekalipun. Beberapa hari di rumah sakit tidak
membuahkan hasil. Ia terserang stroke.
Aku mencari seseorang. Dimana Sahiq? Tidak ada!.
Buk Ning lalu dibantu oleh saudaranya untuk terapi di salah satu desa
di Songenep sana. Hasilnya cukup baik, Buk Ning bisa duduk, berkedip, menelan
makanan, dan melambaikan tangannya. Namun tetap tidak bisa berbicara, apalagi
berjalan. Bersamaan dengan kejadian ini, hatiku bertanya kepada Tuhan, “Buk Ning janda miskin yang taat, mengapa
harus dia yang terserang stroke?”. Aku kala itu pun mempertanyakan dimana
keadilan Tuhan sesungguhnya. Jiwaku bergejolak, pahala dari Tuhan tampak
abu-abu, dan dosa adalah kepastian.
Hingga kini berbulan-bulan lamanya, Buk Ning masih tetap sama.
Sepertinya sanak keluarga telah menyerah dengan sakit Buk Ning. Aku meminta
pada Tuhan agar Ambar selalu dikuatkan dan sabar merawat ibunya; sebab Sahiq
tidak pernah lagi mengunjungi mantan istrinya yang telah lumpuh. Hatiku
benar-benar mengutuk laki-laki itu.
“A a a wa waa eeee..”, kata
Buk Ning manggut-manggut sambil mengelus pipiku setiap kali berkunjung padanya.
Entah apa yang akan diucapkannya. Bibirnya yang hitam tersenyum menyeka air
mataku yang selalu tumpah ruah tak terbendung ketika di hadapannya.
Tenggorokanku selalu panas menerima kenyataan orang yang aku kagumi mendapat
musibah seberat ini.
Pamekasan, 26 April 2016