Untuk kesekian ribu kalinya aku
merasa bahwa kebahagiaan itu tidak selalu berbanding lurus dengan hal-hal yang
bersifat simbolik; entah itu pangkat, gelar raden, pendidikan, nominal uang,
dan sebagainya. Banyak orang yang mendapatkan kebahagiaan justru dari hal yang
sederhana, jauh dari simbol-simbol seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tentu
saja setiap orang mempunyai cara sendiri bagaimana mendapatkan kebahagiaan.
Yakinku, kebahagiaan selalu sama. Artinya,
setiap orang yang merasakan bahagia selalu sama rasanya. Jiwa lega, ceria,
lepas, tanpa beban yang berarti.
Faktanya, aku sering merasa perlu
orang lain untuk membangkitkan rasa bahagia, meskipun kata-kata bijak
mengatakan bahwa kita sendirilah yang bisa menciptakan kebahagiaan itu. Tapi,
aku membuktikan bahwa memang bahagia hampir selalu hadir dengan perantara orang
lain. Mungkin tidak hanya aku saja, aku rasa semua orang begitu. Atau
jangan-jangan memang hanya aku saja? (kriik
kriik kriiiik)
Nah, maksud bahagia tidak selalu
berbanding lurus dengan hal yang bersifat simbolik itu adalah bagaimana dan
siapa orang lain bisa membangkitkan kita untuk berbahagia, atau setidaknya
membuat hati lebih ceria. Dalam hal ini, aku memang agak egois, menganalisa orang
lain kira-kira siapa yang bisa membuatku bahagia, lalu aku lebih suka berkumpul
dengan mereka, tertawa bersama, saling berbagi, dan Bahagia bersama-sama. Hhmm..
Ini juga yang menyadarkanku bahwa aku adalah manusia normal, punya ego.
Siapa yang tidak
jatuh cinta, seorang Ibu dengan ramah dan tulusnya meladeni pembeli-pembelinya.
Aku selalu merasa saat Bu Tun tersenyum, maka seluruh sel-sel dalam tubuhnya juga ikut
tersenyum. Di dunia rantau tersebut, aku baru merasakan senyum semacam
itu. Putrinya yang juga ramah dan baik semakin membuatku jatuh hati dengan
keluarga itu. Lama-lama aku pun menjadi sangat akrab dengan mereka dan sudah
seperti keluarga sendiri saja. Dan ternyata, memang terbukti sangat banyak
pelanggan yang merasakan hal serupa. Aku semakin merasa normal dengan
kecenderunganku terhadap orang lain.
Faktanya
lagi, aku terbiasa duduk satu ruangan dengan dosen dengan gelar tertinggi, tapi
ternyata aku sadar bahwa aku hadir karena adanya kepentingan akademik, baik itu
kepentingan dosen yang membutuhkanku atau kepentinganku sendiri yang
membutuhkan dosen. Begitu seterusnya setiap hari. Ternyata, jiwaku suka
pilih-pilih lho untuk bisa lepas ~betul-betul
bahagia~. (issh isshh iiisshh).
Lalu
Bu Tun? Tidak hanya karena aku butuh membeli makan utuk sarapan, tapi
sebenarnya jiwaku selalu haus dengan keramahan dan ketulusan beliau. Mungkin
aku agak berlebihan, tapi memang itu yang aku rasakan. Padahal banyak penjual
makan yang lain, tapi jiwaku tidak menangkap hal serupa seperti pada beliau.
Ya, aku dia-diam banyak belajar
dari Bu Tun bahwa aku harus membiasakan tersenyum dengan tulus pada semua orang,
tidak pura-pura, bukan fake smile.
Namun entah apakah selama ini aku tersenyum dengan kerlingan mata –sebagai
cerminan hati- yang meneduhkan seperti beliau? Ah, sudahlah. Aku tidak perlu
menjelma seperti beliau hanya untuk tersenyum pada orang lain kan?
Hmm.. Sebagai efek, sebenarnya aku membiasakan diri tersenyum pada orang lain karena aku merasa sangat bahagia saat orang lain membalas senyumku. Itu saja. Kembali sadar, aku bahagia atas perantara orang lain. Aku menyimpulkan bahwa ternyata memang kebahagiaan tidak akan pernah lepas dari peran orang lain, yah.. ^^
Pada akhirnya, aku tetap pada keyakinanku bahwa siapapun yang merasa bahagia, maka selalu sama rasanya dengan orang lain saat bahagia. Oleh karena itu, rumus bahagia akan selalu sama sampai kapanpun. Jika aku berusaha membuat orang lain bahagia, maka aku akan bahagia. ^^
Hmm.. Sebagai efek, sebenarnya aku membiasakan diri tersenyum pada orang lain karena aku merasa sangat bahagia saat orang lain membalas senyumku. Itu saja. Kembali sadar, aku bahagia atas perantara orang lain. Aku menyimpulkan bahwa ternyata memang kebahagiaan tidak akan pernah lepas dari peran orang lain, yah.. ^^
Pada akhirnya, aku tetap pada keyakinanku bahwa siapapun yang merasa bahagia, maka selalu sama rasanya dengan orang lain saat bahagia. Oleh karena itu, rumus bahagia akan selalu sama sampai kapanpun. Jika aku berusaha membuat orang lain bahagia, maka aku akan bahagia. ^^
Bagaimana dengan teman-teman? Apakah punya pengalaman yang serupa? ^^