Sabtu, 05 Oktober 2013

PENDEKATAN LINGKUNGAN & SALINGTEMAS DAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES & CBSA/SAL



Nama                                      : Linda Tri Antika
NIM/ Kelas                             : 130341816943 / A
Resume untuk Tanggal     : Kamis, 10 Oktober 2013

MATERI 1
PENDEKATAN LINGKUNGAN DAN SALINGTEMAS

1.        PENDEKATAN LINGKUNGAN
A. Pengertian Pendekatan Lingkungan
Pendekatan lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha untuk meningkatkan keterlibatan siswa melalui pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran akaan menarik siswa, jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan, sehingga apa yang dipelajari berhubungan dengan kehidupan dan berfaedah bagi lingkungan (Khusnin, 2008).
Yulianto (2002) menyatakan bahwa pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar dimana lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari sering digunakan pendekatan lingkungan. Sehingga dapat dikatakan lingkungan yang ada di sekitar merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar.
Karli dan Margaretha (2002) menjelaskan bahwa pendekatan lingkungan adalah suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan, dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan.
Nasution (1976:197) dalam Habiba (2006) mengatakan pendekatan lingkungan atau karyawisata adalah pendekatan yang berorientasi pada alam bebas dan nyata, tidak harus selalu ke tempat yang jauh tetapi dapat dilakukan di lingkungan alam sekitar kita. Jadi menggunakan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran adalah memanfaatkan atau menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk keperluan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Penggunaaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna sebab anak dihadapkan pada kondisi yang sebenarnya. Pelajaran biologi dengan menggunakan bahan-bahan alami lebih menguntungkan bagi siswa dan pengalaman bersahabat dengan alam lebih cenderung menyiapkan perasaan positif bagi siswa terhadap keajaiban alam. Hal senada juga diungkapkan Suniarsih (2006) yaitu berlangsungnya proses pembelajaran tidak terlepas dengan lingkungan sekitar.
Pendidikan lingkungan sebagai suatu dimensi, di dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan lingkungan. Di dalam model pengajaran, pendekatan ini diklasifikasikan berdasarkan lingkungan belajarnya. Jadi pendekatan lingkungan tidak memiliki sintaks pembelajaran.

B.  Tujuan Pendekatan Lingkungan
Dalam proses belajar mengajar, terkadang guru menampilkan sosok tiruan dari benda se-benarnya yang dijadikan sebagai objek pelajaran, akan tetapi akan lebih mengena bila si murid kita ajak langsung terjun kealam (lingkungan) agar dalam penganalisisan data lebih mengena karena langsung pada objek sesungguhnya yang real dan konkrit.
Adapun tujuan pendekatan lingkungan sebagai sumber belajar dijelaskan sebagai berikut.
a)      Supaya kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan siswa duduk di kelas ber-jam-jam sehingga motivasi belajar siswa akan lebih tinggi.
b)      Supaya hakikat Belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan pada keadaan yang sebenarnya.
c)      Supaya bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya dan lebih actual sehingga ke-benarannya lebih akurat.
d)     Supaya kegiatan belajar siswa lebih kon-prehenshif dan lebih aktif sebab dapat di-lakukan dengan berbagai cara seperti wa-wancara, mengamati dan lain-lain.
e)      Supaya sumber belajar menjadi lebih kaya di-sebabkan lingkungan yang dipelajari beraneka ragam.
f)       Supaya siswa dapat memahami dan meng-hayati aspek yang ada di lingkungannya.

C.  Manfaat dan Pentingnya Pendekatan Lingkungan
Pendidikan lingkungan membentuk siswa menjadi sadar terhadap lingkungan. Kesadaran lingkungan memiliki makna kognitif dan afektif. Sadar lingkungan memiliki beberapa arti: (1) tahu dan mengekspresikan dampak perilaku terhadap lingkungan; (2) tahu dan mampu mengekspresikan tentang berbagai penyelesaian; (3) memahami perlunya langkah penelitian sebagai bekal pengambilan keputusan; (4) memahami pentingnya kerja sama dalam menyelesaikan masalah lingkungan (Mastur, 2004).
Ada beberapa alasan yang menjadikan lingkungan itu sangat penting dalam interaksi belajar mengajar, yaitu :
a)  Sebagai sasaran belajar
Kita ingat kembali tentang tujuan pendidikan SD, antara lain agar anak dapat mengenal alam sekitar. Alam sekitar ini ten-tunya termasuk “lingkungan”. Jadi segala sesuatu di sekitar anak itu merupakan objek untuk diajarkan kepada anak, atau lingkungan merupakan sasaran belajar bagi anak SD.
b)  Sebagai sumber belajar
Ada berbagai macam sumber belajar, mi-salnya guru, buku–buku, labolatorium, tenaga ahli, dan lain–lainnya, yang sering terlupakan orang adalah “lingkungan”. Lingkungan me-rupakan sumber belajar yang tidak habis–habisnya memberikan pengetahuan kepada kita. Semakin  banyak kita gali semakin banyak yang kita dapatkan, tidak hanya bagi IPA itu sendiri tetapi juga berupa sumber dari berbagai macam ilmu pengetahuan seperti IPS dan Matematika.
c)  Sebagai sarana belajar
Lingkungan merupakan suatu sarana belajar yang baik, bahkan lingkungan yang alamiah menyediakan bahan-bahan yang tidak perlu dibeli, misal udara, cahanya matahari, pepohonan, air su-ngai, rerumputan dan sebagainya. Jadi lingkungan adalah suatu sasaran belajar yang ekonomis.

D.  Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Lingkungan
1)  Kelebihan
a)    Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak.
b)   Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
c)    Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak, kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.
d)   Praktis dan mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus seperti  listrik
e)    Karena benda-benda tersebut berasal dari lingkungan siswa, maka benda-benda tersebut akan sesuai dengan karakteristik  dan kebutuhan siswa.  Hal ini juga sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual (contextual learning).
f)    Pelajaran lebih aplikatif, maksudnya materi belajar yang diperoleh siswa melalui media lingkungan kemungkinan besar akan dapat diaplikasikan langsung,  karena siswa   akan sering menemui  benda-benda atau peristiwa serupa dalam kehidupannya sehari-hari.
g)   Lebih komunikatif, sebab benda dan peristiwa yang ada di lingkungan siswa biasanya mudah dicerna oleh siswa, dibandingkan dengan me-dia yang dikemas (didesain).
h)   Menghemat biaya, karena memanfaatkan benda-benda yang telah ada di lingkungan.

2)  Kelemahan
a)   Kegiatan belajar kurang dipersiapkan sebelumnya yang menyebabkan ketika siswa diajak ke tempat tujuan tidak melakukan kegiatan belajar yang di harapkan sehingga terkesan main-main.
b)   Ada kesan dari guru dan siswa bahwa ke-giatan mempelajari lingkungan mem-perlukan waktu yag lebih lama, sehingga meng-habiskan waktu untuk belajar di kelas.
c)   Sempitnya pandangan guru bahwa kegiatan belajar hanya terjadi di dalam kelas.

2.        PENDEKATAN SALINGTEMAS
A.  Pengertian Pendekatan SALINGTEMAS
SALINGTEMAS merupakan bentuk pembelajaran yang mengaitkan antara materi pelajaran dengan lingkungan, teknologi, dan dampaknya bagi masyarakat. Sehingga, dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan komponen sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari (Lisdiana, 2001 : 28).

B.  Hal Penting dalam Pembelajaran SALINGTEMAS
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pembelajaran berbasis salingtemas adalah sebagai berikut.
a)    Menggunakan berbagai macam sumber belajar, baik berupa media cetak, elektronik maupun keadaan nyata di sekitar kita.
b)   Memberikan peluang kepada siswa untuk lebih berperan aktif, sedangkan guru bertindak selaku fasilitator aktif yang selalu memberikan masukan kepada siswa, tanpa menyalahkan pendapat siswa.
c)    Membawa siswa untuk lebih memiliki harga diri, sehingga mereka lebih termotivasi untuk berperan aktif.
d)   Menciptakan suasana belajar yang senang dan terhindar dari suasana tegang yang dapat membuat siswa menjadi takut.
e)    Mengarahkan dan memberi motivasi kepada siswa, sehingga siswa dapat  lebih berpikir kreatif. 

C.  Tahap Pelaksanaan Pembelajaran SALINGTEMAS
Secara garis besar, tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran berbasis salingtemas adalah :
1)  Inisiasi
Pada tahap ini, guru mengangkat isu atau masalah yang ada dalam kehidupan peserta didik sehari-hari, atau yang hangat di media (koran, TV, dll.). Isu atau masalah yang diangkat bisa pula berasal dari peserta didik. Setelah pemilihan isu, dilakukan penggalian cara pandang dan pemahaman peserta didik terhadap isu atau masalah tersebut.
Untuk melangkah ke tahap berikut, guru bersama-sama peserta didik merumuskan masa­lah, atau menegaskan batas-batas topik isu tersebut untuk mengarahkan perhatian yang memusat pada isu yang jelas. Pembatasan ini akan memperjelas kompetensi sains apa yang diperlukan untuk memahami atau memecahkan masalah tersebut.
2)  Penetapan Kompetensi Sains
Guru mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terkait dengan isu yang diangkat. Seperti dijelaskan pada ragam pendekatan salingtemas, kompetensi dasar yang relevan bisa berasal dari satu bab, atau lintas bab, atau bahkan lintas mata pelajaran. Dari kajian ini, dikumpulkan kompetensi dasar (sains dan non-sains) yang diperlukan untuk lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Jika guru sebenarnya telah mempersiapkan topik yang akan diangkat sebelum tahap inisiasi, maka guru bisa mengetahui daftar target kompetensi sains sebelum pertemuan inisiasi di atas.
c)  Dekontekstualisasi
Pada tahap ini, peserta didik perlu dipersiapkan untuk menghadapi tahap sesudahnya yaitu pembelajaran konsep dan prinsip sains, yang dalam kasus-kasus tertentu akan merupakan tahap yang memiliki learning curve yang tajam. Tahap penyiapan peserta didik ini disebut dekontekstualisasi, karena peserta didik perlu dipersiapkan agar fokus pada pembelajaran konsep dan prinsip-prinsip yang perlu dikuasai, tanpa terganggu oleh konteks, isu, atau masalah yang diangkat.
Tahap ini bisa berupa peralihan yang tak kentara dan mulus dari tahap inisiasi pemilihan konteks ke tahap setelah dekontekstualisasi yaitu pembelajaran sains. Guru bisa men­ciptakan suasana kelas yang memungkinkan peralihan mulus ini. Tahap ini bisa pula berupa permintaan tegas kepada peserta didik, agar meninggalkan diskusi tentang isu/masalah, tapi mulai memusat­kan perhatian pada pencapaian kompetensi sains (atau bidang lain) yang dibutuh­kan untuk memahami atau menye­lesaikan masalah.
Proses dekontekstualisasi yang gagal akan menyebabkan “keberhasilan-semu” pada pembelajaran berbasis salingtemas. Peserta didik terlihat antusias terhadap kegiatan pembelajaran, tertarik pada isu atau masalah yang diangkat, aktif dalam pencarian solusi masalah (atau bergairah dalam diskusi untuk memahami masalah), tetapi tidak terjadi pem­belajaran konsep dan prinsip sains, yang justru merupakan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Landasan keilmuan yang digunakan untuk berusaha memahami isu atau memecahkan masalah hanya konsep dan prinsip yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya, dan tidak terjadi proses pembelajaran konsep dan prinsip baru yang diharapkan. Tanpa penguasaan prinsip dan konsep itu, pemecahan masalah yang dihasilkan tidak memiliki landasan yang kuat, atau bahkan keliru!
d)  Pembelajaran Sains
Pada tahap ini terjadi pembelajaran konsep dan prinsip sains (atau pembelajaran bidang-bidang lain yang relevan, jika pembelajaran berbasis STM digunakan untuk lintas mata-pelajaran). Pada tahap ini, diperlukan sarana untuk memastikan bahwa peserta didik memahami dan diharapkan mampu menerapkan konsep dan prinsip yang mewakili kompetensi dasar dalam standar isi. Pengujian penguasaan peserta didik dapat pula dilakukan lewat pengamatan guru terhadap tahap sesudah ini (yaitu tahap menerapkan prinsip dan konsep untuk memecahkan atau memahami masalah, dengan landasan keilmuan yang lebih kuat).
Pada pembelajaran ini, guru dapat memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan bahan yang disampaikan. Karena pembelajaran yang dilakukan telah diawali dengan konteks yang mema­yungi, yang dekat dengan kehidupan peserta didik, maka diharapkan kualitas pembelajaran bisa meningkat, dengan peserta didik yang lebih aktif, dll.
Seperti dijelaskan sebelumnya, keberhasilan tahap ini selain ditentukan oleh metode pembelajaran yang dipilih dan proses pembelajaran yang terjadi, juga sangat ber­gantung pada keberhasilan tahap dekontekstualisasi sebelumnya, yang mempersiap­kan suasana yang baik untuk tahap ini. Untuk sebagian peserta didik, proses dekonteks­tualisasi yang baik dan pembelajaran konsep/prinsip yang berhasil dapat secara tajam mengubah persepsi peserta didik terhadap permasalahan yang dihadapi.
e)  Penerapan
Pada tahap ini, guru dan peserta didik secara bersama menerapkan konsep dan prinsip sains pada isu atau masalah yang diangkat. Guru perlu menahan diri untuk tidak terlalu cepat membantu peserta didik menerapkan apa yang baru dipelajarinya pada isu tersebut. Guru sejauh mungkin hanya memfasilitasi usaha peserta didik untuk memahami atau memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Pada tahap ini, seharusnya terjadi pemantapan konsep dan prinsip pada diri peserta didik. Proses menerapkan pengetahuan, konsep, dan prinsip pada hal yang nyata akan memberi makna lebih terhadap pengetahuan tersebut. Pada bentuknya yang paling sederhana, tahap ini tidak menuntut terjadinya proses pemecahan masalah, melainkan hanya peningkatan pemahaman peserta didik pada isu yang diangkat. Guru dapat mengajukan permintaan sederhana kepada peserta didik untuk mencoba menjelaskan isu tersebut berdasarkan pengetahuan baru yang telah diper­oleh pada pembelajaran yang dilakukan.
f)  Integrasi
Tahap penerapan dilanjutkan dengan usaha membangun keterkaitan antar konsep dan prinsip sains yang diajarkan. Wawasan terapan yang diperoleh pada tahap sebelumnya akan memperkaya cara pandang terhadap keterkaitan antar konsep dan prinsip tersebut. Wawasan tersebut juga akan memberi gambaran keterkaitan yang jelas antara konsep/prinsip sains dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
Untuk memperkaya tahap ini, guru dapat mengajak peserta didik untuk berdiskusi tentang kemungkinan penerapan konsep/prinsip baru yang dipelajari pada konteks selain isu atau masalah yang diangkat pada pembelajaran berbasis salingtemas ini. Pengayaan ini akan memberi kemampuan kepada peserta didik untuk menerapkan suatu prinsip pada situasi yang berbeda.
g)  Perangkuman
Akhirnya, guru atau peserta didik dapat merangkumkan hasil pembelajaran berbasis salingtemas yang telah dilakukan. Lewat tahap perangkuman ini, ditegaskan berbagai kompetensi dasar yang telah dimiliki peserta didik, dan wawasan terapan yang telah dimiliki. Tahap ini harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik dalam mempelajari sesuatu yang baru, dan dalam memecahkan atau me­mahami masalah yang relevan dengan kehidupannya.

MATERI II
PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES DAN CBSA/SAL

1.        PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES
A.  Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses pada hakikatnya adalah suatu pengelolaan kegiatan belajar-mengajar yang berfokus pada pelibatan siswa secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan hasil belajar (Semiawan, 2002).
Pendekatan keterampilan proses adalah perlakuan yang diterapkan dalam pembelajaran yang menekankan pada pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan kemudian mengkomunikasikan perolehannya. Keterampilan memperoleh pengetahuan dapat dengan menggunakan kemampuan olah pikir (psikis) atau kemampuan olah perbuatan (fisik) (Popy dkk, 2009:2)
Pendekatan keterampilan proses dapat diartikan juga sebagai wawasan atau anutan pengembangan keterampilan–keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang prinsipnya telah ada dalam diri siswa. Pendekatan keterampilan proses pada pembelajaran sains lebih menekankan pembentukan keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikaskan hasilnya.

B. Prinsip Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pembelajaran
Dalam mengajarkan keterampilan proses, siswa benar-benar melakukan pengamatan, pengukuran, pemanipulasian variabel dan sebagainya. Ringkasnya, siswa bertindak sebagai ilmuwan. Oleh karena itu pendekatan ini lebih banyak melibatkan siswa dengan obyek-obyek konkrit, yaitu siswa aktif berbuat. Pendekatan keterampilan proses memberi siswa pemahaman yang valid tentang hakikat sains. Siswa dapat menghayati keasyikan sains dan dapat lebih baik memahami fakta-fakta dan konsep-konsep. Siswa diberi kesempatan untuk belajar sambil berbuat, menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup (Trianto, 2010).
Pendekatan keterampilan proses menekankan bagaimana siswa belajar, bagaimana mengelola perolehannya, sehingga mudah dipahami dan digunakan dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pembelajaran diusahakan agar siswa memperoleh pengalaman dan pengetahuan sendiri, melakukan penyelidikan ilmiah, melatih kemampuan-kemampuan intelektualnya, dan merangsang keingintahuan serta dapat memotivasi kemampuannya untuk meningkatkan pengetahuannya yang baru diperolehnya. Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproseskan perolehan anak akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap ilmiah dan nilai yang dituntut. Dengan demikian, keterampilan-keterampilan itu menjadi roda penggerak penemuan dan pengembangan fakta dan konsep (Trianto, 2010)

C.  Langkah Pendekatan Keterampilan Proses
Langkah-langkah pelaksanaan keterampilan proses antara lain dijelaskan sebagai berikut (Trianto, 2010:144).
a)        Mengamati, keterampilan mengumpulkan data atau informasi melalui penerapan dengan indera.
b)        Menggolongkan (mengklasifikasikan), yaitu keterampilan menggolongkan benda, kenyataan, konsep, nilai atau kepentingan tertentu. Untuk membuat penggolongan perlu ditinjau persamaan atau perbedaan antara benda, kenyataan atau konsep sebagai dasar penggolongan.
c)        Menafsirkan (menginterpretasikan), yaitu keterampilan menafsirkan sesuatu berupa benda, kenyataan, peristiwa konsep dan informasi yang telah dikumpulkan melalui pengamatan, perhitungan, penelitian atau eksperimen.
d)       Meramalkan, yaitu mengantisipasi atau menyimpulkan suatu hal yang akan terjadi pada waktu yang akan datang berdasarkan perkiraan atas kecenderungan atau pola tertentu atau hubungan antar data atau informasi. Misalnya berdasarkan pengalaman tentang keadaan cuaca sebelumnya, apabila mendung pasti akan terjadi hujan atau sebaliknya. Siswa dapat meramalkan keadaan cuaca yang akan terjadi. Meramal tidak sama dengan menebak. Menebak adalah memperkirakan suatu hal tanpa berdasarkan data atau informasi yang ada.
e)        Menerapkan, yaitu menggunakan hasil belajar berupa informasi, kesimpulan, konsep, hokum, teori dan keterampilan. Melalui penerapan, hasil belajar dapat dimanfaatkan, diperkuat, dikembangkan atau dihayati.
f)         Merencanakan penelitian, yaitu keterampilan yang amat penting karena menentukan berhasil-tidaknya penelitian. Keterampilan ini perlu dilatih, Karena selama ini pada umumnya kurang diperhatikan dan kurang terbina. Pada tahap ini ditentukan masalah atau objek yang akan diteliti, tujuan dan ruang lingkup penelitian, sumber data atau informasi, cara analisis, alat dan bahan atau sumber kepustakaan yang diperlukan. Jumlah orang yang terlibat, langkah-langkah pengumpulan dan pengolahan data atau informasi, serta tata cara melakukan penelitian.
g)        Mengkomunikasikan, yaitu menyampaikan perolehan atau hasil belajar kepada orang lain dalam bentuk tulisan, gambar, gerak, tindakan atau penampilan.

D.  Pentingnya Pendekatan Keterampilan Proses
Menurut Dimiyati, mengatakan bahwa pendekatan keterampilan proses (PKP) perlu diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut.
  1. Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi
  2. Pengalaman intelektual emosional dan fisik dibutuhkan agar didapatkan agar hasil belajar yang optimal
  3. Penerapan sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ini. (Dimiyati, 2002: 137)
Pembinaan dan pengembangan kreatifitas berarti mengaktifkan murid dalam kegiatan belajarnya. Untuk itu cara belajar siswa aktif (CBSA) yang mengembangkan keterampilan proses yang dimaksud dengan keterampilan di sini adalah kemampuan fisik dan mental yang mendasar  sebagai penggerak kemampuan-kemampuan lain dalam individu.
Sedangkan Conny (1990 : 14). mengatakan bahwa ada beberapa alasan yang melandasi perlu diterapkan pendekatan keterampila proses (PKP) dalam kegiatan belajar mengajar yaitu:
a)        Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan konsep kepada siswa.
b)        Para ahli psikologi umumnya berpendapat bahwa anak-anak muda memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh kongkrit.
c)        Penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat relatif benar seratus persen penemuannya bersifat relatif 
d)       Dalam proses belajar mengajar pengembangan konsep tidak dilepaskand ari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak didik.

2.        PENDEKATAN CBSA/SAL
A.  Pengertian Pendekatan CBSA
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secar fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip. Konsep CBSA yang dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah dan belum terpogram.  Akan tetapi dengan CBSA para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan dikelas secara bersama-sama.

B. Hakikat Pendekatan CBSA
Siswa pada hakikatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif. Hakikat dari CBSA adalah proses keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya:
ü  Proses asimilasi/ pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. 
ü  Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan. 
ü  Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakikat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien. Dalam menerapkan konsep CBSA, hakikat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.

C.  Prinsip-Prinsip Pendekatan CBSA
Prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
Dimensi subjek didik :
  • Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direncanakan oleh guru.
  • Keberanian untuk mencari kesempatan berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar. Hal ini terwujud bila guru bersikap demokratis.
  • Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang oleh guru.
  • Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
  • Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.
Dimensi Guru
  • Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
  • Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
  • Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
  • Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara serta tingkat kemampuan masing-masing.
  • Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
Dimensi Program
  • Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
  • Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep maupun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
  • Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Dimensi situasi belajar-mengajar
  • Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
  • Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.