Nama : Linda
Tri Antika
NIM/ Kelas : 130341816943 / A
Resume untuk
Tanggal : Kamis, 31 Oktober 2013
MATERI
I
LEARNING
CYCLE
(SIKLUS
BELAJAR)
Pembelajaran
Biologi memerlukan suatu proses, bukan hanya sekedar mempelajari konsep-konsep.
Agar siswa atau peserta didik dapat mempelajarinya maka diperlukan pembelajaran
yang dapat mengungkapkan konsep melalui suatu gejala atau fenomena. Sesuai
dengan perkembangan paradigma pembelajaran yang inovatif, maka sebaiknya
pembelajaran Biologi melaui paradigma konstruktivisme dapat menerapkan
pendekatan inkuiri ilmiah, kontekstual, dan pendekatan belajar kooperatif.
Untuk menerapkan pendekatan pembalajaran tersebut maka akan dibahas model
pembelajaran Siklus Belajar untuk pembelajaran Biologi.
1. Pengertian Siklus
Belajar
Siklus
belajar berasal dari kerja Robert Karplus dan teman-temannya selama pengembangan Science Curriculum Improvement
Study (SCIS). Bermula, siklus belajar terutama berdasarkan pada pandangan
teoritis Jean Piaget, namun demikian hal ini konsisten dengan teori belajar
yang lain, seperti yang telah dikembangkan oleh David Ausubel. Salah satu
strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivis ialah penggunaan siklus
belajar (Herron, 1988) yang terdiri atas tiga fasa, yaitu fasa eksplorasi, fasa
pengenalan konsep, dan fasa aplikasi konsep.
Siklus
belajar sebenarnya merupakan cara berpikir dan bertindak sesuai dengan
bagaimana siswa belajar. Menurut Martin (1994:202-203) bahwa dari hasil riset
yang mereka lakukan tentang penggunaan model siklus belajar pada pembelajaran
ternyata hasilnya dapat meningkatkan prestasi siswa dan pengembangan
ketrampilan prosesnya serta dapat meningkatkan intelektual anak dalam belajar.
Lawson
dalam Dahar (1996) mengemukakan tiga macam siklus belajar yaitu menjelaskan
keadaan : deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif. Dalam siklus
belajar deskriptif para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam
suatu konteks khusus (eksplorasi), guru memberi nama pada pola itu (pengenalan
konsep), kemudian pola itu di tentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi).
Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan; apa? Tetapi tidak
menimbulkan pertanyaan ; mengapa?
Dalam
siklus belajar empiris-induktif para siswa juga menemukan dan memberikan suatu
pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya
menemukan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Bentuk siklus
hipotesis-deduktif, dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab.
Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis) yang mungkin
terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya para. siswa diminta untuk menurunkan
konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini (eksplorasi).
Konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan
didiskusikan (pengenalan konsep), dapat diterapkan pada situasi-situasi lain di
kemudian hari (aplikasi konsep).
2. Macam Siklus
Belajar
Lawson
(Dahar, 1996: 155) mengemukakan tiga macam siklus belajar, yaitu: deskriptif,
empiris induktif, dan hipotesis deduktif. Ketiga siklus belajar ini dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a) Siklus Belajar Deskriptif
Siklus
belajar tipe deskriptif ini menghendaki hanya pola-pola deskriptif (misalnya
klasifikasi). Dalam siklus ini siswa menemukan dan memberikan suatu pola
empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), kemudian guru memberikan nama
pada pola itu (pengenalan konsep) lalu pola itu ditentukan dalam
konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Bentuk ini dinamakan deskriptif, sebab
siswa dan guru hanya memberikan apa yang mereka amati tanpa adanya
hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka.
b) Siklus Belajar Empiris Induktif
Dalam
siklus ini, selain menemukan dan memberikan suatu pola empiris dan suatu
konteks khusus (eksplorasi), siswa juga dituntut untuk mengemukakan sebab-sebab
yang mungkin terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran
analogi untuk memindahkan atau menghubungkan konsep-konsep yang telah
dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru (pengenalan konsep).
Siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama tahap eksplorasi dengan
bimbingan guru untuk melihat kesesuaian antara sebab-sebab yang dihipotesiskan
dengan datadan fenomena lain yang dikenal (aplikasi konsep).
c) Siklus Belajar Hipotesis Deduktif
Siklus
belajar hipotesis deduktif dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan
sebab. Siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis)
yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya siswa diminta untuk menemukan
konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis tersebut dan
merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji
hipotesis-hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil eksperimen menyebabkan
beberapa hipotesis ditolak dan hipotesis lain diterima, sehingga konsep-konsep
dapat diperkenalkan (pengenalan konsep). Akhirnya konsep-konsep yang relevan
dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan dapat diterapkan pada
situasi-situasi lain dikemudian hari (aplikasi konsep). Jadi, siklus belajar
hipotesis deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi misalnya mengendalikan
variabel, penalaran korelasional, dan penalaran hipotesis deduktif.
3. Variasi
dalam Siklus Belajar
Pada
pembelajaran yang mengacu pada konstruktivisme, guru harus memperhatikan
beberapa hal, misalnya adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui
pengalaman sebelumnya, menekankan pada kemampuan minds-on dan hands, mengakui
bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual, mengakui bahwa
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, dan mengutamakan terjadinya
interaksi sosial. Herron (1988), menyebutkan salah satu strategi mengajar untuk
menerapkan model konstruktivisme ialah penggunaan pendekatan learning cycle.
Banyak versi
siklus belajar bermunculan dalam kurikulum sains dengan tahap yang berkisar
dari tiga (3E), empat (4E), lima (5E) sampai tujuh (7E). Berikut adalah
penjelasan masing-masing versi.
a) Siklus Belajar 3E
Herron
(1988) menyatakan bahwa siklus belajar adalah suatu pendekatan pembelajaran
dengan mengikuti pola tertentu yang terdiri dari tiga tahap, dijelaskan sebagai berikut.
Tahap 1 : Exploration
Dimaksudkan
untuk menggali konsepsi awal siswa. Dalam tahap ini, guru berperan secara tidak
langsung. Guru merupakan pengamat yang telah siap dengan berbagai pertanyaan
guna membantu siswa (individu atau kelompok). Siswa aktif melakukan kegiatan
yang dapat melatih keterampilan proses, seperti mencatat, mengkomunikasikan, menafsirkan
dan sebagainya.
Tahap 2 : Concept Development
Tahap dimana
guru mengumpulkan informasi dari para siswa berkaitan dengan pengalaman dalam
tahap eksplorasi. Pada tahap ini guru meminta siswa mengungkapkan hasil bacaan
(rangkuman) yang telah mereka lakukanpada tahap eksplorasi. Dilakukan diskusi
dan pengenalan konsep-konsep yang dibahas.
Tahap 3 : Concept Application
Tahap penerapan
konsep, adalah tahap dimana guru menyiapkan situasi yang dapat dipecahkan
berdasarkan pengalaman eksplorasi dan pengenalan konsep. Pada tahap ini
diberikan permasalahan yang dapat dipecahkan dengan menerapkan konsep-konsep
yang telah dijelaskan sebelumnya.
Gambar 1. Siklus Belajar 3E
b) Siklus Belajar 4E
Penjelasan
masing-masing tahap pada siklus belajar 4E adalah sebagai berikut.
Tahap 1 :
Exploration (penyelidikan)
Pada tahap ini
para siswa belajar melalui keterlibatan dan tindakan-tindakan, gagasan-gagasan
mereka dan hubungan-hubungan dengan materi baru diperkenalkan dengan bimbingan
guru yang minimal agar memungkinkan siswa menerapkan pengetahuan sebelumnya,
mengembangkan minat, menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu terhadap materi
itu. Materi perlu disusun secara cermat sehingga sasaran belajar itu
menggunakan konsep dan gagasan yang mendasar. Selama tahap ini guru menilai
pemahaman para siswa terhadap sasaran pelajaran. Menurut Bybee bahwa, tugas
guru disini tidak boleh memberitahukan atau menerangkan konsep.
Tahap 2 : Explanation
(Pengenalan)
Pada tahap ini
para siswa kurang terpusat dan ditunjukkan untuk mengembangkan mental. Tujuan
dari tahap ini guru membantu para siswa memperkenalkan konsep sederhana, jelas
dan langsung yang berkaitan dengan tahap sebelumnya, dengan berbagai strategi
para siswa disini harus terfokus pada pokok penemuan konsep-konsep yang
mendasar secara kooeperatif dibawah bimbingan guru (guru sebagai fasilitator)
mengajukan konsep-konsep itu secara sederhana, jelas dan langsung.
Tahap 3 : Expansion
(Perluasan)
Pada tahap ini
para siswa mengembangkan konsep-konsep yang baru dipelajari untuk
diterapkan pada contoh-contoh lain, dipakai sebagai ilustrasi konsep intinya
dapat membantu para siswa mengembangkan gagasan-gagasan mereka dalam
kehidupannya.
Tahap 4 : Evaluation
(Evaluasi)
Pada tahap ini
ingin mengetahui penjelasan para siswa terhadap siklus pembelajaran ini.
Evaluasi dapat berlangsung setiap tahap pembelajaran, untuk menggiring
pemahaman konsep juga perkembangan keterampilan proses. Evaluasi bukan hanya
pada akhir bab. Dari tahap-tahap yang disebutkan di atas menurut Carin
dan Martin tujuan paedagoginya adalah sama.
Gambar 2. Siklus Belajar 4E
c) Siklus Belajar 5E
Kelima
tahap learning cycle 5E dijelaskan sebagai berikut.
Tahap 1
: Engagement (mengajak)
Yaitu tahap
yang bertujuan mempersiapkan diri siswa agar terkondisi dalam menempuh tahap
berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka,
serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran
sebelumnya. Dalam tahap engagement ini minat dan keingintahuan siswa tentang
topic yang akan dipelajari berusaha dibangkitkan. Siswa juga diajak membuat
prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam
tahap eksplorasi.
Tahap 2
: Exploration (menyelidiki)
Pada tahap ini
siswa diberi kesempatan untuk bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa
pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat
pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah
literatur.
Tahap 3 : Explaination
(menjelaskan)
Dalam tahap ini
guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri,
meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan
diskusi. Pada tahap ini siswa menemukan istilah-istilah dari konsep yang
dipelajari.
Tahap 4 : Elaboration/Extention
(memperluas)
Pada tahap ini siswa
menerapkan konsep dan keterampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan
seperti praktikum lanjutan dan Problem solving.
Tahap 5 : Evaluation
(evaluasi)
Pada tahap ini
dilakukan evaluasi terhadap efektifitas tahap-tahap sebelumnya dan juga
evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep atau kompetensi siswa melalui Problem
solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong siswa melakukan
investigasi lebih lanjut.
Gambar 3. Siklus Belajar 5E
d) Siklus Belajar 7E
Eisenkraft
(2003: 57) menjelaskan tahapan pada siklus belajar 7E sebagai berikut.
Tahap 1 : Elicit
(mendatangkan pengetahuan awal siswa)
Yaitu tahap
untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan awal siswa terhadap pelajaran yang
akan dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang
pengetahuan awal siswa agar timbul respon dari pemikiran siswa serta
menimbulkan kepenasaran tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh guru. Tahap ini dimulai dengan pertanyaan mendasar yang
berhubungan dengan pelajaran yang akan dipelajari dengan mengambil contoh yang
mudah diketahui siswa seperti kejadian sehari-hari yang secara umum memang
terjadi.
Tahap 2 : Engage
(ide, rencana pembelajaran dan pengalaman)
Yaitu tahap
dimana siswa dan guru akan saling memberikan informasi dan pengalaman tentang
pertanyaan-pertanyaan awal tadi, memberitahukan siswa tentang ide dan rencana
pembelajaran sekaligus memotivasi siswa agar lebih berminat untuk mempelajari
konsep dan memperhatikan guru dalam mengajar. Tahap ini dapat dilakukan dengan
demonstrasi, diskusi, membaca, atau aktifitas lain yang digunakan untuk membuka
pengetahuan siswa dan mengembangkan rasa keingintahuan siswa.
Tahap 3 : Explore
(menyelidiki)
Yaitu tahap yang
membawa siswa untuk memperoleh pengetahuan dengan pengalaman langsung yang
berhubungan dengan konsep yang akan dipelajari. Siswa dapat mengobservasi,
bertanya, dan menyelidiki konsep dari bahan-bahan pembelajaran yang telah
disediakan sebelumnya.
Tahap 4 : Explain
(menjelaskan)
Yaitu tahap yang
didalamnya berisi ajakan terhadap siswa untuk menjelaskan konsep-konsep dan
definisi-definisi awal yang mereka dapatkan ketika tahap eksplorasi. Kemudian
dari definisi dan konsep yang telah ada didiskusikan sehingga pada akhirnya
menuju konsep dan definisi yang lebih formal.
Tahap 5 : Elaborate
(menerapkan)
Yaitu tahap yang
bertujuan untuk membawa siswa menerapkan simbol-simbol, definisi-definisi,
konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan pada permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan contoh dari pelajaran yang dipelajari.
Tahap 6 : Evaluate
(menilai)
Yaitu tahap
evaluasi dari hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini dapat
digunakan berbagai strategi penilaian formal dan informal. Guru diharapkan
secara terus menerus dapat mengobservasi dan memperhatikan siswa terhadap
kemampuan dan keterampilannya untuk menilai tingkat pengetahuan dan atau
kemampuannya, kemudian melihat perubahan pemikiran siswa terhadap pemikiran
awalnya.
Tahap 7 : Extend
(memperluas)
Yaitu tahap
yang bertujuan untuk berfikir, mencari, menemukan dan menjelaskan contoh
penerapan konsep yang telah dipelajari bahkan kegiatan ini dapat merangsang
siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain
yang sudah atau belum mereka pelajari.
Gambar 4. Siklus Belajar 7E
MATERI
II
PROBLEM
SOLVING DAN PROBLEM
POSING
A. PROBLEM SOLVING
1. Pengertian Problem Solving
Problem solving
adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah dan
memecahkan berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil
kesimpulan yang tepat dan cermat (Hamalik, 1994:151).
Dalam
pembelajaran, Problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran
yang menghadapkan siswa pada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode Problem solving (metode
pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan
suatu metode berfikir, sebab dalam Problem solving dapat menggunakan
metode lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
2. Langkah Problem Solving
Langkah-langkah
Problem solving menurut konsep Dewey yang merupakan berpikir itu menjadi
dasar untuk Problem solving adalah sebagai berikut:
1)
Adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah.
2)
Masalah itu diperjelas dan dibatasi.
3)
Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan
atau diklasifikasikan.
4)
Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesa-hipotesa
kemudian hipotesa-hipotesa dinilai, diuji agar dapat ditentukan untuk diterima
atau ditolak.
5)
Penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus
berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai
kepada kesimpulan.
3. Manfaat dan Tujuan Problem Solving
Manfaat
dari penggunaan metode Problem solving pada proses belajar mengajar
untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. metode Problem solving
memberikan beberapa manfaat antara lain :
a)
Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan
permasalahan, serta dalam mengambil kepuutusan secara objektif dan mandiri
b)
Mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, anggapan yang
menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin bertambah
c)
Melalui inkuiri atau Problem solving kemampuan berpikir tadi
diproses dalam situasi atau keadaan yang bener – bener dihayati, diminati siswa
serta dalam berbagai macam ragam altenatif
d)
Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan
cara berpikir objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual
maupun kelompok
Adapun tujuan dari
pembelajaran Problem solving dijelaskan sebagai berikut.
a)
Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian
menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
b)
Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik
bagi siswa.
c)
Potensi intelektual siswa meningkat.
d)
Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses
melakukan penemuan
4. Kelebihan dan Kekurangan Problem Solving
Pembelajaran
Problem solving ini memiliki keunggulan dan kelemahan. keunggulan model
pembelajaran Problem solving yaitu melatih siswa untuk mendesain suatu
penemuan, berpikir dan bertindak kreatif, memecahkan masalah yang di hadapi
secara realistis, mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan, menafsirkan dan
mengevaluasi hasil pengamatan, merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat, serta dapat membuat
pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan khususnya dunia kerja.
Sementara
kelemahan pembelajaran Problem solving itu sendiri seperti beberapa
pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya terbatasnya
alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta
akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut. Dalam pembelajaran Problem
solving ini memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan
metode pembelajaran yang lain.
B. PROBLEM POSING
Problem posing merupakan
istilah dalam bahasa Inggris, yang mempunyai beberapa padanan dalam bahasa
Indonesia. Suryanto (1998:1) dan As’ari (2000:4) memadankan istilah Problem
posing dengan pembentukan soal. Sedangkan Sutiarso (1999:16) menggunakan
istilah membuat soal, Siswono (2000:7) menggunakan istilah pengajuan soal, dan
Suharta (2000:4) menggunakan istilah pengkonstruksian masalah.
Problem posing memiliki
beberapa pengertian, yaitu:
a)
Problem posing ialah
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal
yang rumit.
b)
Problem posing ialah
perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah
diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (Silver & Cai,
1996:294).
c)
Problem posing ialah
perumusan soal dari informasi atau situasi yang tersedia, baik dilakukan
sebelum, ketika, atau setelah penyelesaian suatu soal (Silver & Cai,
1996:523).
d)
Menurut Brown dan Walter (1993:15) informasi atau situasi Problem
posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau
konsep, alat peraga, soal, atau selesaian dari suatu soal.
2. Jenis Problem Posing
Dalam
pelaksanaanya dikenal beberapa jenis model Problem posing, dijelaskan
sebagai berikut.
a)
Situasi Problem posing bebas
Siswa
diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan
apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan
sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
b)
Situasi Problem posing semi terstruktur
Siswa
diberikan situasi atau informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk
mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan
konsep tertentu.
c)
Situasi Problem posing terstruktur
Siswa
diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa
diminta untuk mengajukan soal baru.
Dalam
proses belajar mengajar, guru dituntut memiliki strategi atau cara agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Penguasaan materi saja
tidaklah mencukupi, melainkan harus menguasai berbagai teknik penyampaian
materi dan juga dapat menggunakan metode yang tepat dalam proses belajar
mengajar sesuai materi sehingga siswa dapat memiliki pengetahuan, keterampilan
dan sikap.
3. Langkah
Pembelajaran Menggunakan Problem Posing
Langkah-langkah
pembelajaran menggunakan pendekatan Problem posing menurut Budiasih dan
Kartini dalam Budi Hartati adalah sebagai berikut:
1)
Membuka kegiatan pembelajaran
2)
Menyampaikan tujuan pembelajaran
3)
Menjelaskan materi pelajaran
4)
Memberikan contoh soal
5)
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal
yang belum jelas.
6)
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan
menyelesaikannya
7)
Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan
8)
Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa
9)
Menutup kegiatan pembelajaran
3. Aplikasi Problem Posing dalam
Pembelajaran
Menurut Usmanto
(2007) pembelajaran Problem posing dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu:
1)
Problem posing
Tipe Pre-Solution Posing
Siswa
membuat pertanyaan dan jawaban berdasarkan pertanyaan dan jawaban berdasarkan
pernyataan yang dibuat oleh guru. Jadi, yang diketahui pada soal itu dibuat
guru, sedangkan siswa membuat pertanyaan dan jawaban sendiri.
2)
Problem posing Tipe Within Solution Posing
Siswa
memecahkan pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan yang relevan
dengan pertanyaan guru.
3)
Problem posing Tipe Post Solution Posing
Siswa
membuat soal yang sejenis dan menantang seperti yang dicontohkan oleh guru.
Jika guru dan siswa siap maka siswa dapat diminta untuk mengajukan soal yang
menantang dan variatif pada pokok bahasan yang diterangkan guru. Siswa harus
bisa menentukan jawabannya sendiri. Jika siswa gagal menemukan jawabannya maka
guru merupakan narasumber utama bagi siswanya. Jadi, guru harus benar-benar
menguasai materi.