Minggu, 27 Oktober 2013

LEARNING CYCLE, PROBLEM SOLVING, DAN PROBLEM POSING



Nama                                      : Linda Tri Antika
NIM/ Kelas                             : 130341816943 / A
Resume untuk Tanggal     : Kamis, 31 Oktober 2013

MATERI I
LEARNING CYCLE
(SIKLUS BELAJAR)

Pembelajaran Biologi memerlukan suatu proses, bukan hanya sekedar mempelajari konsep-konsep. Agar siswa atau peserta didik dapat mempelajarinya maka diperlukan pembelajaran yang dapat mengungkapkan konsep melalui suatu gejala atau fenomena. Sesuai dengan perkembangan paradigma pembelajaran yang inovatif, maka sebaiknya pembelajaran Biologi melaui paradigma konstruktivisme dapat menerapkan pendekatan inkuiri ilmiah, kontekstual, dan pendekatan belajar kooperatif. Untuk menerapkan pendekatan pembalajaran tersebut maka akan dibahas model pembelajaran Siklus Belajar untuk pembelajaran Biologi.

1. Pengertian Siklus Belajar
Siklus belajar berasal dari kerja Robert Karplus dan teman-temannya selama  pengembangan Science Curriculum Improvement Study (SCIS). Bermula, siklus belajar terutama berdasarkan pada pandangan teoritis Jean Piaget, namun demikian hal ini konsisten dengan teori belajar yang lain, seperti yang telah dikembangkan oleh David Ausubel. Salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivis ialah penggunaan siklus belajar (Herron, 1988) yang terdiri atas tiga fasa, yaitu fasa eksplorasi, fasa pengenalan konsep, dan fasa aplikasi konsep.
Siklus belajar sebenarnya merupakan cara berpikir dan bertindak sesuai dengan bagaimana siswa belajar. Menurut Martin (1994:202-203) bahwa dari hasil riset yang mereka lakukan tentang penggunaan model siklus belajar pada pembelajaran ternyata hasilnya dapat meningkatkan prestasi siswa dan pengembangan ketrampilan prosesnya serta dapat meningkatkan intelektual anak dalam belajar.
Lawson dalam Dahar (1996) mengemukakan tiga macam siklus belajar yaitu menjelaskan keadaan : deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif. Dalam siklus belajar deskriptif para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), guru memberi nama pada pola itu (pengenalan konsep), kemudian pola itu di tentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi). Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan; apa? Tetapi tidak menimbulkan pertanyaan ; mengapa?
Dalam siklus belajar empiris-induktif para siswa juga menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya menemukan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Bentuk siklus hipotesis-deduktif, dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya para. siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini (eksplorasi). Konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan (pengenalan konsep), dapat diterapkan pada situasi-situasi lain di kemudian hari (aplikasi konsep).

2. Macam Siklus Belajar
Lawson (Dahar, 1996: 155) mengemukakan tiga macam siklus belajar, yaitu: deskriptif, empiris induktif, dan hipotesis deduktif. Ketiga siklus belajar ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a)   Siklus Belajar Deskriptif
Siklus belajar tipe deskriptif ini menghendaki hanya pola-pola deskriptif (misalnya klasifikasi). Dalam siklus ini siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), kemudian guru memberikan nama pada pola itu (pengenalan konsep) lalu pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Bentuk ini dinamakan deskriptif, sebab siswa dan guru hanya memberikan apa yang mereka amati tanpa adanya hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka.

b)  Siklus Belajar Empiris Induktif
Dalam siklus ini, selain menemukan dan memberikan suatu pola empiris dan suatu konteks khusus (eksplorasi), siswa juga dituntut untuk mengemukakan sebab-sebab yang mungkin terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk memindahkan atau menghubungkan konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru (pengenalan konsep). Siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama tahap eksplorasi dengan bimbingan guru untuk melihat kesesuaian antara sebab-sebab yang dihipotesiskan dengan datadan fenomena lain yang dikenal (aplikasi konsep).

c)  Siklus Belajar Hipotesis Deduktif
Siklus belajar hipotesis deduktif dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya siswa diminta untuk menemukan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis tersebut dan merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak dan hipotesis lain diterima, sehingga konsep-konsep dapat diperkenalkan (pengenalan konsep). Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan dapat diterapkan pada situasi-situasi lain dikemudian hari (aplikasi konsep). Jadi, siklus belajar hipotesis deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi misalnya mengendalikan variabel, penalaran korelasional, dan penalaran hipotesis deduktif.

3. Variasi dalam Siklus Belajar
Pada pembelajaran yang mengacu pada konstruktivisme, guru harus memperhatikan beberapa hal, misalnya adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya, menekankan pada kemampuan minds-on dan hands, mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual, mengakui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, dan mengutamakan terjadinya interaksi sosial. Herron (1988), menyebutkan salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivisme ialah penggunaan pendekatan learning cycle.
Banyak versi siklus belajar bermunculan dalam kurikulum sains dengan tahap yang berkisar dari tiga (3E), empat (4E), lima (5E) sampai tujuh (7E). Berikut adalah penjelasan masing-masing versi.

a)  Siklus Belajar 3E
Herron (1988) menyatakan bahwa siklus belajar adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan mengikuti pola tertentu yang terdiri dari tiga tahap, dijelaskan sebagai berikut.

Tahap 1 : Exploration
Dimaksudkan untuk menggali konsepsi awal siswa. Dalam tahap ini, guru berperan secara tidak langsung. Guru merupakan pengamat yang telah siap dengan berbagai pertanyaan guna membantu siswa (individu atau kelompok). Siswa aktif melakukan kegiatan yang dapat melatih keterampilan proses, seperti mencatat, mengkomunikasikan, menafsirkan dan sebagainya.

Tahap 2 :  Concept Development
Tahap dimana guru mengumpulkan informasi dari para siswa berkaitan dengan pengalaman dalam tahap eksplorasi. Pada tahap ini guru meminta siswa mengungkapkan hasil bacaan (rangkuman) yang telah mereka lakukanpada tahap eksplorasi. Dilakukan diskusi dan pengenalan konsep-konsep yang dibahas.

Tahap 3 :  Concept Application
Tahap penerapan konsep, adalah tahap dimana guru menyiapkan situasi yang dapat dipecahkan berdasarkan pengalaman eksplorasi dan pengenalan konsep. Pada tahap ini diberikan permasalahan yang dapat dipecahkan dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dijelaskan sebelumnya.
Gambar 1. Siklus Belajar 3E

b)  Siklus Belajar 4E
Penjelasan masing-masing tahap pada siklus belajar 4E adalah sebagai berikut.
Tahap  1 : Exploration (penyelidikan)
Pada tahap ini para siswa belajar melalui keterlibatan dan tindakan-tindakan, gagasan-gagasan mereka dan hubungan-hubungan dengan materi baru diperkenalkan dengan bimbingan guru yang minimal agar memungkinkan siswa menerapkan pengetahuan sebelumnya, mengembangkan minat, menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu terhadap materi itu. Materi perlu disusun secara cermat sehingga sasaran belajar itu menggunakan konsep dan gagasan yang mendasar. Selama tahap ini guru menilai pemahaman para siswa terhadap sasaran pelajaran. Menurut Bybee bahwa, tugas guru disini tidak boleh memberitahukan atau menerangkan konsep.

Tahap 2 : Explanation (Pengenalan)
Pada tahap ini para siswa kurang terpusat dan ditunjukkan untuk mengembangkan mental. Tujuan dari tahap ini guru membantu para siswa memperkenalkan konsep sederhana, jelas dan langsung yang berkaitan dengan tahap sebelumnya, dengan berbagai strategi para siswa disini harus terfokus pada pokok penemuan konsep-konsep yang mendasar secara kooeperatif dibawah bimbingan guru (guru sebagai fasilitator) mengajukan konsep-konsep itu secara sederhana, jelas dan langsung.

Tahap 3 : Expansion (Perluasan)
Pada tahap ini para siswa  mengembangkan konsep-konsep yang baru dipelajari untuk diterapkan pada contoh-contoh lain, dipakai sebagai ilustrasi konsep intinya dapat membantu para siswa mengembangkan  gagasan-gagasan mereka dalam kehidupannya.

Tahap 4 : Evaluation (Evaluasi)
Pada tahap ini ingin mengetahui penjelasan para siswa terhadap siklus pembelajaran ini. Evaluasi dapat berlangsung setiap tahap pembelajaran, untuk menggiring pemahaman konsep juga perkembangan keterampilan proses. Evaluasi bukan hanya pada akhir bab. Dari tahap-tahap yang disebutkan di atas menurut  Carin dan Martin tujuan paedagoginya adalah sama.
Gambar 2. Siklus Belajar 4E


c)  Siklus Belajar 5E
Kelima tahap learning cycle 5E dijelaskan sebagai berikut.
Tahap 1 :    Engagement (mengajak)
Yaitu tahap yang bertujuan mempersiapkan diri siswa agar terkondisi dalam menempuh tahap berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka, serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam tahap engagement ini minat dan keingintahuan siswa tentang topic yang akan dipelajari berusaha dibangkitkan. Siswa juga diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi.

Tahap 2 :    Exploration (menyelidiki)
Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur.

Tahap 3 : Explaination (menjelaskan)
Dalam tahap ini guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini siswa menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari.

Tahap 4 : Elaboration/Extention (memperluas)
Pada tahap ini siswa menerapkan konsep dan keterampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan Problem solving.

Tahap 5 : Evaluation (evaluasi)
Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap efektifitas tahap-tahap sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep atau kompetensi siswa melalui Problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong siswa melakukan investigasi lebih lanjut.
Gambar 3. Siklus Belajar 5E

d)  Siklus Belajar 7E
Eisenkraft (2003: 57) menjelaskan tahapan pada siklus belajar 7E sebagai berikut.
Tahap 1 : Elicit (mendatangkan pengetahuan awal siswa)
Yaitu tahap untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan awal siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar timbul respon dari pemikiran siswa serta menimbulkan kepenasaran tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tahap ini dimulai dengan pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan pelajaran yang akan dipelajari dengan mengambil contoh yang mudah diketahui siswa seperti kejadian sehari-hari yang secara umum memang terjadi.

Tahap 2 : Engage (ide, rencana pembelajaran dan pengalaman)
Yaitu tahap dimana siswa dan guru akan saling memberikan informasi dan pengalaman tentang pertanyaan-pertanyaan awal tadi, memberitahukan siswa tentang ide dan rencana pembelajaran sekaligus memotivasi siswa agar lebih berminat untuk mempelajari konsep dan memperhatikan guru dalam mengajar. Tahap ini dapat dilakukan dengan demonstrasi, diskusi, membaca, atau aktifitas lain yang digunakan untuk membuka pengetahuan siswa dan mengembangkan rasa keingintahuan siswa.

Tahap 3 : Explore (menyelidiki)
Yaitu tahap yang membawa siswa untuk memperoleh pengetahuan dengan pengalaman langsung yang berhubungan dengan konsep yang akan dipelajari. Siswa dapat mengobservasi, bertanya, dan menyelidiki konsep dari bahan-bahan pembelajaran yang telah disediakan sebelumnya.

Tahap 4 : Explain (menjelaskan)
Yaitu tahap yang didalamnya berisi ajakan terhadap siswa untuk menjelaskan konsep-konsep dan definisi-definisi awal yang mereka dapatkan ketika tahap eksplorasi. Kemudian dari definisi dan konsep yang telah ada didiskusikan sehingga pada akhirnya menuju konsep dan definisi yang lebih formal.

Tahap 5 : Elaborate (menerapkan)
Yaitu tahap yang bertujuan untuk membawa siswa menerapkan simbol-simbol, definisi-definisi, konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan pada permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan contoh dari pelajaran yang dipelajari.

Tahap 6 : Evaluate (menilai)
Yaitu tahap evaluasi dari hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini dapat digunakan berbagai strategi penilaian formal dan informal. Guru diharapkan secara terus menerus dapat mengobservasi dan memperhatikan siswa terhadap kemampuan dan keterampilannya untuk menilai tingkat pengetahuan dan atau kemampuannya, kemudian melihat perubahan pemikiran siswa terhadap pemikiran awalnya.

Tahap 7 : Extend (memperluas)
Yaitu tahap yang bertujuan untuk berfikir, mencari, menemukan dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari bahkan kegiatan ini dapat merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari.
Gambar 4. Siklus Belajar 7E


MATERI II
PROBLEM SOLVING DAN PROBLEM POSING

A.  PROBLEM SOLVING
1.  Pengertian Problem Solving
Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah dan memecahkan berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat (Hamalik, 1994:151).
Dalam pembelajaran, Problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran yang menghadapkan siswa pada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode Problem solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berfikir, sebab dalam Problem solving dapat menggunakan metode lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.

2.  Langkah Problem Solving
Langkah-langkah Problem solving menurut konsep Dewey yang merupakan berpikir itu menjadi dasar untuk Problem solving  adalah sebagai berikut:
1)        Adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah.
2)        Masalah itu diperjelas dan dibatasi.
3)        Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan atau diklasifikasikan.
4)        Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesa-hipotesa kemudian hipotesa-hipotesa dinilai, diuji agar dapat ditentukan untuk diterima atau ditolak.
5)        Penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai kepada kesimpulan.

3.  Manfaat dan Tujuan Problem Solving
Manfaat dari penggunaan metode Problem solving pada proses belajar mengajar untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. metode Problem solving memberikan beberapa manfaat antara lain :
a)      Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta dalam mengambil kepuutusan secara objektif dan mandiri
b)      Mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, anggapan yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin bertambah
c)      Melalui inkuiri atau Problem solving kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang bener – bener dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam altenatif
d)     Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual maupun kelompok

Adapun tujuan dari pembelajaran Problem solving dijelaskan sebagai berikut.
a)        Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
b)        Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi siswa.
c)        Potensi intelektual siswa meningkat.
d)       Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan

4.  Kelebihan dan Kekurangan Problem Solving
Pembelajaran Problem solving ini memiliki keunggulan dan kelemahan. keunggulan model pembelajaran Problem solving yaitu melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan, berpikir dan bertindak kreatif, memecahkan masalah yang di hadapi secara realistis, mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan, menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan, merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat, serta dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan khususnya dunia kerja.
Sementara kelemahan pembelajaran Problem solving itu sendiri seperti beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut. Dalam pembelajaran Problem solving ini memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.

B.  PROBLEM POSING
Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, yang mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Indonesia. Suryanto (1998:1) dan As’ari (2000:4) memadankan istilah  Problem posing dengan pembentukan soal. Sedangkan Sutiarso (1999:16) menggunakan istilah membuat soal, Siswono (2000:7) menggunakan istilah pengajuan soal, dan Suharta (2000:4) menggunakan istilah pengkonstruksian masalah.

Problem posing memiliki beberapa pengertian, yaitu:
a)        Problem posing ialah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit.
b)        Problem posing ialah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (Silver & Cai, 1996:294).
c)        Problem posing ialah perumusan soal dari informasi atau situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah penyelesaian suatu soal (Silver & Cai, 1996:523).
d)       Menurut Brown dan Walter (1993:15) informasi atau situasi Problem posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal, atau selesaian dari suatu soal.

2. Jenis Problem Posing
Dalam pelaksanaanya dikenal beberapa jenis model Problem posing, dijelaskan sebagai berikut.
a)        Situasi Problem posing bebas
Siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
b)       Situasi Problem posing semi terstruktur
Siswa diberikan situasi atau informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
c)        Situasi Problem posing terstruktur
Siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.
Dalam proses belajar mengajar, guru dituntut memiliki strategi atau cara agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Penguasaan materi saja tidaklah mencukupi, melainkan harus menguasai berbagai teknik penyampaian materi dan juga dapat menggunakan metode yang tepat dalam proses belajar mengajar sesuai materi sehingga siswa dapat memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap.

3. Langkah Pembelajaran Menggunakan Problem Posing
Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan Problem posing menurut Budiasih dan Kartini dalam Budi Hartati adalah sebagai berikut:
1)        Membuka kegiatan pembelajaran
2)        Menyampaikan tujuan pembelajaran
3)        Menjelaskan materi pelajaran
4)        Memberikan contoh soal
5)        Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum    jelas.
6)        Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan  menyelesaikannya
7)        Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan
8)        Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa
9)        Menutup kegiatan pembelajaran

3.  Aplikasi Problem Posing dalam Pembelajaran
Menurut Usmanto (2007) pembelajaran Problem posing dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1)        Problem posing Tipe Pre-Solution Posing
Siswa membuat pertanyaan dan jawaban berdasarkan pertanyaan dan jawaban berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh guru. Jadi, yang diketahui pada soal itu dibuat guru, sedangkan siswa membuat pertanyaan dan jawaban sendiri.
2)        Problem posing Tipe Within Solution Posing
Siswa memecahkan pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan yang relevan dengan pertanyaan guru.
3)        Problem posing Tipe Post Solution Posing
Siswa membuat soal yang sejenis dan menantang seperti yang dicontohkan oleh guru. Jika guru dan siswa siap maka siswa dapat diminta untuk mengajukan soal yang menantang dan variatif pada pokok bahasan yang diterangkan guru. Siswa harus bisa menentukan jawabannya sendiri. Jika siswa gagal menemukan jawabannya maka guru merupakan narasumber utama bagi siswanya. Jadi, guru harus benar-benar menguasai materi.