Nama :
Linda Tri Antika
NIM/ Kelas : 130341816943 / A
Resume untuk
Tanggal : Kamis, 26 September 2013
Bahasan : 1. Kognitivisme dan Konstruktivisme
2. Humanisme dan Revolusi Sosio-Kultural
KOGNITIVISME DAN
KONSTRUKTIVISME
A. KOGNITIVISME
1) Pengertian
Kognitivisme
Teori belajar kognitif
lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari
proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas.
2) Ciri-ciri Aliran
Kognitivisme
a. Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b. Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c. Mementingkn peranan kognitif
d. Mementingkan kondisi waktu sekarang
e. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Belajar kognitif ciri
khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk
reppresentatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau di
hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang
semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang
menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah
kembali kenegerinya sendiri. Tampat-tempat yang dikunjuginya selama berada di
lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di
tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya
tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang
disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.
3) Tokoh-tokoh
a. Teori Perkembangan
Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget
Teorinya memberikan banyak
konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, bahwa
belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif siswa. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak
memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan
secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan
kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah : Bahasa dan cara berfikir siswaberbeda
dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa
yang sesuai dengan cara berfikir siswa; siswa akan belajar lebih baik apabila
dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu siswa agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya; Bahan yang harus dipelajari siswa
hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing; Berikan peluang agar siswa belajar
sesuai tahap perkembangannya. Di dalam kelas, siswa hendaknya diberi peluang
untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
b. Teori Perkembangan
Kognitif, dikembangkan oleh Bruner
Berbeda dengan Piaget,
Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan. Bagi
Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan
kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya digunakan.
Menurut Bruner untuk
mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai siswa mancapai tahap perkembangan
tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat
diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya
sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner yang terkenal
dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang
sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi
disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang
terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan
melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery
learning).
·
Implikasi Teori Bruner
dalam Proses Pembelajaran :
Menghadapkan siswa pada
suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; siswa akan berusaha
membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah
dimilikinya; dan dengan pengalamannya siswa akan mencoba menyesuaikan atau
mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai
keseimbangan di dadalam benaknya
c. Teori Perkembangan Kognitif,
dikembangkan oleh Ausubel
Proses belajar terjadi
jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan
baru.
Proses belajar terjadi
melaui tahap-tahap:
·
Memperhatikan stimulus
yang diberikan
·
Memahami makna stimulus
menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Menurut Ausubel siswa
akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer),
dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced
organizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi
pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Advanced organizer memberikan
tiga manfaat yaitu : Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang
akan dipelajari. Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang
sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. Dapat membantu siswa untuk memahami
bahan belajar secara lebih mudah.
4) Aplikasi teori
Kognitivisme
Aplikasi teori belajar
kognitivisme dalam pembelajaran yaitu guru harus memahami bahwa siswa bukan
sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah
dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa
sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika
tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang
bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan
siswa.
5) Kelebihan dan
kelemahan teori Kognitivisme
a. Kelebihannya à menjadikan siswa lebih
kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.
b. Kekurangannya à teori tidak menyeluruh
untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan khususnya di tingkat
lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya
masih belum tuntas.
B. KONSTRUKTIVISME
1) Pengertian
Konstruktivisme
Kontruksi berarti
bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah
suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata (Annisa, 2011).
2) Ciri-ciri
Konstruktivisme
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya
dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar.
3. Siswa aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses
kontruksi berjalan lancar.
5. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
Selain itu, yang paling
penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada
siswa . siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang
guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi
menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka
sendiri untuk belajar.
3) Aplikasi dan
Implikasi dalam Pembelajaran
a. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas
dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti
ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan
bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun
seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang
guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya.
Karena, hanya dengan usaha yangkeras para sisiwa sedirilah para siswa akan
betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
b. Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan
materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan
oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan
mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang
dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk
masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”,
menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa
tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
e. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh siswa.
f. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok
dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g. Siswa diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang
membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri siswa
(Annisa, 2011).
4) Kelebihan dan
Kekurangan Konstruktivisme
a. Kelebihan
Siswa berfikir untuk
menyelesaikan masalah, ide, dan membuat keputusan. Paham karena siswa
terlibat secara langsung dalam mengkonstruksi pengetahuan baru, mereka akan
lebih faham dan bisa mengapliksikannya dalam semua situasi. Selian itu siswa
terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan teman dan guru dalam membina
pengetahuan baru; Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung
jawab siswa itu sendiri; Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan
pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya; Membantu siswa untuk
mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap; Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri; Lebih menekankan pada
proses belajar bagaimana belajar itu.
b. Kekurangan
Dalam bahasan
kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya
dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung;
siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya.
HUMANISME DAN REVOLUSI SOSIO-KULTURAL
A. HUMANISME
1) Pengertian Teori Belajar Humanistik
Dalam teori belajar humanistik proses belajar
harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini
sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini
lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya
yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide
belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya,
seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.. Teori apapun dapat dimanfaatkan
asal tujuan untuk “memanusiakan manusia”
(mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Dalam teori belajar humanistik, belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami
perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si
siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
2) Tokoh
Teori Humanistik
1. Carl
Rogers
Carl R. Rogers kurang menaruh perhatian kepada
mekanisme proses belajar. Belajar dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi.
Mereka berpendapat bahwa belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila
tidak ada keterlibatan intelektual maupun emosional peserta didik. Oleh karena
itu, menurut teori belajar humanisme bahwa motifasi belajar harus bersumber
pada diri peserta didik.
Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu: (1)
belajar yang bermakna dan (2) belajar yang tidak bermakna. Belajar yang
bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan
perasaan peserta didik, dan belajar yang tidak bermakna
terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi
tidak melibatkan aspek perasaan peserta didik.
Menurut Roger, peranan guru dalam kegiatan
belajar siswa menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai fasilitator yang
berperan aktif dalam : (1) membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar
siswa bersikap positif terhadap belajar, (2) membantu siswa untuk memperjelas
tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar, (3)
membantu siswa untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai
kekuatan pendorong belajar, (4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada
siswa, dan (5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai
siswa sebagaimana adanya.
2. Arthur
Combs
Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi
individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak
relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan
karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya
tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu
sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Untuk itu guru harus
memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut
sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah
keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Perilaku internal membedakan seseorang dari
yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi
pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk
memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dalam
dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat
pada satu.. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan
lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu
dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi,
hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu
terlupakan.
3) Prinsip-prinsip Teori Belajar Humanistik
Beberapa
prinsip Teori belajar Humanistik:
- Manusia mempunyai belajar alami
- Belajar signifikan terjadi apabila materi plajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu
- Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
- Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
- Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam memperoleh cara.
- Belajar yang bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya
- Belajar lancer jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
- Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
- Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
- Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar
Roger sebagai ahli dari
teori belajar humanisme mengemukakan beberapa prinsip belajar yang penting
yaitu: (1) Manusia itu memiliki keinginan alamiah untuk belajar, memiliki rasa
ingin tahu alamiah terhadap dunianya, dan keinginan yang mendalam untuk
mengeksplorasi dan asimilasi pengalaman baru, (2) Belajar akan cepat dan lebih
bermakna bila bahan yang dipelajari relevan dengan kebutuhan siswa, (3)
belajar dapat di tingkatkan dengan mengurangi ancaman dari luar, (4) belajar
secara partisipasif jauh lebih efektif dari pada belajar secara pasif dan orang
belajar lebih banyak bila belajar atas pengarahan diri sendiri, (5) belajar
atas prakarsa sendiri yang melibatkan keseluruhan pribadi, pikiran maupun
perasaan akan lebih baik dan tahan lama, dan (6) kebebasan, kreatifitas,
dan kepercayaan diri dalam belajar dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri
orang lain tidak begitu penting.
4)
Aplikasi Teori Belajar Humanistik
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada
ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang
diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator
bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada
siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa
memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses
belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
- Merumuskan tujuan belajar yang jelas
- Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
- Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
- Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
- Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
- Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
- Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
- Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini
cocok untuk diterapkan. Keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa
diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa
mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau
etika yang berlaku.
E.
Implikasi Teori Belajar Humanistik
Psikologi
humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas
fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa
(petunjuk):
a) Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas
b) Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c) Dia
mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d) Dia
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e) Dia
menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
f) Di dalam
menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi
yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi
dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
g) Bilamana
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
h) Dia
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
i)
Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar
j)
Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator,
pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya
sendiri.
B. REVOLUSI SOSIO-KULTURAL
1) Dasar
Terbentuknya Teori Sosio-Kultural
Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural, yaitu.
Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural, yaitu.
1. Piaget
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan
karena adanya karsa individu artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa
berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibanding
orang-orang yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah individu
yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial menjadi faktor sekunder.
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan
jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan
belajar. Perkembangan kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi
biologis dengan lingkungan sehingga terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai
ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi dan akomodasi).
Pendekatan kognitif dalam belajar dan
pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran
kontruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada
beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam
kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi individualisme dan
gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat. pendekatan ini
kurang sesuai denga tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir
ini.
2.
Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan
cara menelusuri asal usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan
bahasa yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan
fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal
dari kehidupan sosial atau kelompoknya.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang
anak dapat terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga
dengan yang lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus
berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari
perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah
tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di
lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
2)
Konsep Teori Sosio-Kultural
Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis
Vygotsky tentang perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosiokoltural
dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu genetic law of development, zona
of proximal development, dan mediasi.
a. Hukum
Genetik Tentang Perkembangan (Genetic Law Of Development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang
akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau
intermental dan intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini
menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan
konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif
seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau
keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi
terhadap proses-proses sosial tersebut.
b. Zona Perkembangan
Proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone
of proximal development) ke dalam dua tingkat:
(1) Tingkat
perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri (intramental).
(2) Tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten (intermental). Jarak
antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan
potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal
diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang
masih berada dalam proses pematangan.
c. Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses
psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychologis tools atau
alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Ada dua jenis mediasi, yaitu:
(1)
Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk
melakukan self- regulation yang meliputi: self planning, self monitoring, self
checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini berkembang dalam
komunikasi antar pribadi.
(2)
Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah
yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem. Mediasi
kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep
ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).
3) Pengaruh
Sosio-Kultural Pada Perkembangan Kognisi
a. Pengaruh Sosial Pada Perkembangan Kognisi
a. Pengaruh Sosial Pada Perkembangan Kognisi
Menurut Vygotsky, anak adalah seorang eksplorer
yang mempunyai rasa ingin tahu tinggi, sangat aktif dalam pembelajaran, selalu
ingin menemukan sendiri, dan mengembangkan pemahaman baru. Namun demikian
Vygostky lebih menekankan pada kontribusi sosial dalam proses perkembangan dan
tidak melihat peranan besar dalam penemuan sendiri. Perkembangan pertama dalam
lingkup sosial muncul dalam individu sebagai kategori interpsikological dan
kemudian pada anak sebagai kategori intrapsikologikal. Contohnya adalah
voluntary attention (perhatian otomatis), logical memory (memori logis),
pembentukan konsep, dan perkembangan kemampuan memilih.
Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada
anak terjadi melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman,
Tutor ini menjadi model dalam berperilaku atau menyediakan instruksi verbal
untuk anak. Model inilah yang disebut dengan dialog kooperatif atau
kolaboratif. Anak mencari pemahaman perilaku atau instruksi dari tutor,
menginternalisasi informasi dan menggunakannya untuk memformulasikan perilaku
mereka.
b. Pengaruh
Budaya Pada Perkembangan Kognisi
Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan harus
dilihat dari perspektif 4 tahap yang saling berhubungan dalam interaksi anak
dengan lingkungan:
1)
Perkembangan Ontogenic, adalah perkembangan individu sepanjang hayat, digunakan
oleh hampir semua ahli psikologi dalam menganalisa perkembangan manusia.
2)
Perkembangan Microgenic, mengacu pada perubahan yang terjadi pada waktu yang
relatif singkat, misalnya perubahan yang dapat dilihat pada saat anak
memecahkan masalah penjumlahan pada setiap minggunya selama 11 minggu (Siegler
& Jenkins, 1989).
3)
Perkembangan Phylogenic adalah perubahan yang berskala evolusi, diukur dalam
ribuan dan bahkan jutaan tahun. Vygostsky sendiri berpendapat bahwa untuk
pemahaman sejarah spesies dapat memberikan masukan pada perkembangan anak.
4)
Perkembangan Sociohistorical, mengacu pada perubahan yang terjadi pada budaya,
kepercayaan, norma, dan teknologi.
Disini Vygotsky menekankan bagaimana seseorang
berkembang dalam lingkungan yang berubah. Dengan berfokus pada individu atau
pun pada lingkungan tidak cukup untuk menjelaskan mengenai perkembangan
seseorang. Untuk itu perkembangan sebaiknya dipelajari dari konteks sosial dan
budaya.
4) Aplikasi Teori Sosio-Kultural
Aplikasi
teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-kultural dalam
pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
a.
Pendidikan Informal (Keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan
keluarga, dimana anak pertama kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan,
sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan prilaku
masing-masing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda,
karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga beragam,
misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan
dalam keluarga dan sebagainya.
b.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya
banyak bermunculan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada
anak, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak
hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
c.
Pendidikan formal
Aplikasi
teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi
antara lain:
(1)
Kurikulum
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia
pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006
tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang standar
kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang standar
kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia memberikan
pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk mempelajari
sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui
beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
(2)
Siswa
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami
pembelajaran secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu
pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak
mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran memberikan
kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya
pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
(3) Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi
dalam pembelajaran lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator,
evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh
karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan
guru membantu perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri dalam bentuk
pengayaan, remedial pembelajaran.
5) Kelebihan dan Kekurangan Teori Sosio-Kultural
Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh
beberapa keuntungan:
1. Anak
memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan
proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran
perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat
perkembangan aktualnya;
3. Pembelajaran
lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan
intermentalnya daripada kemampuan intramental;
4. Anak
diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang
telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas
atau pemecahan masalah;
5. Proses
belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan
kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara
bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu
terbatas pada perilaku yang tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak
seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan
masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung oleh karena itu
diteliti oleh para teoriwan perilaku.