Sabtu, 19 Maret 2011

Distribusi Bentos dan Fitoplankton

Distribusi Bentos dan Fitoplankton

Sungai memiliki berbagai macam peran dan manfaat. Ditinjau dari aspek ekologi, Sungai berperan sebagai sumber cadangan air, menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering, mencegah terjadinya banjir, sumber energi, dan sumber makanan nabati maupun hewani.
Kehidupan di air dijumpai tidak hanya pada permukaan air tetapi juga pada dasar air. Di dasar air, jumlah kehidupan sangat terbatas, karena ketersediaan nutrien juga terbatas. Oleh karena itu hewan yang hidup di air dalam, hanyalah hewan-hewan yang mampu hidup dengan jumlah dan jenis nutrien juga terbatas.

SUNGAI
Hewan yang hidup di dasar perairan adalah makrozoobentos. Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Dengan adanya kelompok bentos yang hidup menetap (sesile) dan daya adaptasi bervariasi terhadap kondisi lingkungan, membuat hewan bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Makrobentos memiliki peranan ekologis dan struktur spesifik dihubungkan dengan makrofita air yang merupakan materi autochthon. Karakteristik dari masing-masing bagian makrofita akuatik ini bervariasi, sehingga membentuk substratum dinamis yang komplek yang membantu pembentukan interaksi-interaksi makroinvertebrata terhadap kepadatan dan keragamannya sebagai sumber energi rantai makanan pada perairan akuatik.
Di dalam sungai berdasarkan daerah atau subhabitatnya terdapat tiga zona yaitu, zona littoral, limnetik dan profundal. Zona littoral merupakan daerah perairan yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai dasar. Zona limnetik adalah daerah air terbuka sampai kedalaman penetrasi cahaya yang efektif, pada umumnya tingkat ini berada di mana kedalaman di mana intensitas cahaya penuh. Sedangkan zona profundal merupakan bagian dasar dan daerah air yang dalam dan tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif. Tidak ada batasan tegas yang dapat dibuat antara danau dan kolam. Ada perbedaan kepentingan secara ekologis, selain dari ukuran keseluruhan. Dalam danau, zona limnetik dan profundal, relatif besar ukurannya dibanding zona litoral. Bila sifat-sifat kebalikan biasanya disebut kolam, jadi rawa adalah daerah dengan ciri antara danau dan kolam (Ngabekti, 2004).
Komunitas di zona profundal mempunyai sifat yang berbeda. Karena tidak ada cahaya, penghuni daerah profundal tergantung pada zona limnetik dan litoral untuk bahan makanan dasar. Sebaliknya zona profundal memberikan nutrisi yang telah di daur ulang yang terbawa oleh arus dan binatang yang berenang ke zona lain. Keanekaragaman kehidupan zona profundal, seperti dapat diduga tidak besar, tetapi apa yang ada di situ penting. Komunitas utama terdiri dari bakteri dan jamur, yang terutama banyak di pertemuan antara air dan lumpur dimana bahan organik tertimbun, dan kelompok binatang konsumen dalam bentuk bentos seperti cacing darah atau larva chironomid yang mengandung hemoglobin dan annelida, serta kerang kecil dari beberapa keluarga sphaeridae. Cacing annelida yang merah sering bertambah jumlahnya di air yang tercemar dengan buangan domestik, cacing ini disebut cacing lumpur. Organisme di dalam air berdasarkan bentuk kehidupannya dapat dibagi menjadi 5 yaitu, plankton, perifiton, nekton, neuston dan bentos. Bentos merupakan organisme yang hidup di dalam atau atas dasar dari cekungan perairan (Whitten, 1952).
Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993). Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring makanan karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai pedator, suspension feeder, detritivor, scavenger dan parasit. Makrobentos merupakan salah satu kelompok penting dalam ekosistem perairan. Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension feeder, pemakan detritus, karnivor atau sebagai pemakan plankton.
Berdasarkan cara makannya, makrobentos dikelompokkan menjadi 2.
a. Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air.
b. Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar.
Kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) umumnya tedapat dominan disubstrat berpasir misalnya moluska-bivalva, beberapa jenis echinodermata dan crustacea. Sedangkan pemakan deposit banyak tedapat pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta. Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrozoobentos digolongkan menjadi kelompok epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup didalam dasar perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup selamanya sebagai bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang mendiami daerah dasar misalnya kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai stadium larva yang seringkali ikut terambil pada saat melakukan pengambilan contoh plankton.
Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan pergerakannya, yaitu kelompok hewan bentos yang hidupnya menetap (bentos sesile), dan hewan bentos yang hidupnya berpindah-pindah (motile). Hewan bentos yang hidup sesile seringkali digunakan sebagai indikator kondisi perairan (Setyobudiandi, 1997). Distribusi bentos dalam ekonomi perairan alam mempunyai peranan penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif. Untuk distribusi kualitatif. Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi bentos adalah:
1. perairan seperti pasang surut,
2. kedalaman dan kecepatan arus,
3. kekeruhan atau kecerahan
4. substrat dasar dan suhu air.
5. kandungan oksigen dan karbondioksida terlarut
6. pH
7. bahan organik,
8. kandungan hara berpengaruh terhadap hewan bentos.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu sebagai stabilisator sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dibandingkan di udara, arus dapat mempengaruhi distribusi gas terlarut; garam dan makanan serta organisme dalam air, oksigen terlarut (DO) berpengaruh terhadap fotosintesis organisme, kebutuhan oksigen biologi (BOD) mempengaruhi respirasi organisme dalam air dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar. Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan (Chusnia, 2010).
Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar ("bottom feeder")

PLANKTON
Istilah plankton pertama kali diperkenalkan oleh Victor Hensen pada tahun 1887, yang berarti pengembara. Plankton merupakan sekelompok biota di dalam ekosistem akuatik (baik tumbuhan maupun hewan) yang hidup mengapung secara pasif, sehingga sangat dipengaruhi oleh arus yang lemah sekalipun (Arinardi, 1997).
Menurut Hutabarat dan Evans (1985), plankton adalah suatu organisme yang terpenting dalam ekologi laut. Kemudian dikatakan bahwa bahwa plankton merupakan salah satu organisme yang berukuran kecil dimana hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan laut.
Menurut Nontji (2005), plankton adalah organisme yang hidupnya melayang atau mengambang di dalam air. Kemampuan geraknya, kalaupun ada, sangat terbatas hingga organisme tersebut terbawa oleh arus namun, mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut, karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Selain itu hampir semua hewan laut memulai kehidupannya sebagai plankton terutama pada tahap masih berupa telur dan larva.

Jenis-Jenis Plankton
Klasifikasi dalam biologi membedakan plankton dalam dua kategori utama yaitu fitoplankton yang meliputi semua hubungan renik dan zooplankton yang meliputi hewan yang umumnya renik (Rutter, 1973 dalam Sahrainy, 2001). Fitoplankton ada yang berukuran besar dan kecil dan biasanya yang besar tertangkap oleh jaringan plankton yang terdiri dari dua kelompok besar, yaitu diatom dan dinoflagellata. Diatom mudah dibedakan dari dinoflagellata karena bentuknya seperti kotak gelas yang unik dan tidak memiliki alat gerak. Pada proses reproduksi tiap diatom akanmembela dirinya menjadi dua. Satu belahan dari bagian hidup diatom akan menempati katup atas (epiteka) dan belahan yang kedua akan menempati katup bawah (hipoteka). Sedangkan kelompok utama kedua yaitu dinoflagellata yang dicirikan dengan sepasang flagella yang digunakan untuk bergerak dalam air. Beberapa dinoflagellata seperti Nocticula yang mampu menghasilkan cahaya melalui proses bioluminesens (Nybakken, 1992).
Anggota fitoplankton yang merupakan minoritas adalah berbagai alga hijau biru (Cyanophyceae), kokolitofor (Coccolithophoridae, Haptophyceae), dan silicoflagellata (Dictyochaceae, Chrysophyceae). Cyanophyceae laut hanya terdapat di laut tropik dan sering sekali membentuk “permadani” filamen yang padat dan dapat mewarnai air (Nybakken, 1992).
Sachlan (1972) menggolongkan algae dalam tujuh golongan berdasarkan pigmen yang dikandungnya dan habitatnya, yaitu :
Cyanophyta : alga biru yang hidup di air tawar dan laut.
Chlorophyta : alga hijau banyak hidup di air tawar
Chrysophyta : alga kuning yang hidup di air tawar dan laut
Phyrrophyta : alga yang hidup sebagai plankton di air tawar dan di laut
Eugulenophyta : hidup di air tawar dan di air payau
Phaeophyta : alga coklat yang hidup sebagai rumput laut
Rhodophyta : alga merah yang hidup sebagai rumput laut.
Fitoplankton hanya dapat dijumpai pada lapisan permukaan saja karena mereka hanya dapat hidup di tempat-tempat yang mempunyai sinar matahari yang cukup untuk melakukan fotosintesis. Mereka akan lebih banyak dijumpai pada tempat yang terletak di daerah continental shelf dan di sepanjang pantai dimana terdapat proses upwelling. Daerah ini biasanya merupakan suatu daerah yang cukup kaya akan bahan-bahan organic (Hutabarat dan Evans, 1985).
Berlawanan dengan fitoplankton, zooplankton yang merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka ragam dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Namun demikian dari susdut ekologi, hanya satu golongan dari zooplankton yang sangat penting artinya, yaitu subklas copepoda (klas Crustaceae, filum Arthropoda). Kopepoda adalah crustacea haloplanktonik yang berukuran kecil yang mendominasi zooplankton disemua samudra dan laut. Hewan kecil ini sangat penting artinya bagi ekonomi ekosistem-ekosistem bahari karena merupakan herbivora primer dalam laut. Dengan demikian, copepoda berperan sebagai mata rantai yang amat penting antara produksi primer fitoplankton dengan karnivora besar dan kecil (Nybakken, 1992).
Menurut Arinardi (1997), plankton digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu berdasarkan kemampuan membuat makanan, berdasarkan ukuran, berdasarkan daur hidupnya.

Berdasarkan Kemampuan Membuat Makanan
Berdasarkan kemampuan membuat makanan, plankton digolongkan menjadi dua golongan utama, yaitu fitoplankton dan zooplankton.

Fitoplankton
Fitoplankton disebut juga plankton nabati, adalah tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang di laut. Ukurannya sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Umumnya fitoplankton berukuran 2 – 200 µm (1 µm = 0,001mm). Fitoplankton umumnya berupa individu bersel tunggal, tetapi juga ada yang berbentuk rantai.

Gambar 1. Beberapa Contoh Phytoplankton

Meskipun ukurannya sangat kecil, namun fitoplankton dapat tumbuh dengan sangat lebat dan padat sehingga dapat menyebabkan perubahan warna pada air laut. Fitoplankton mempunyai fungsi penting di laut, karena bersifat autotrofik, yakni dapat menghasilkan sendiri bahan organik untuk makanannya. Selain itu, fitoplankton juga mampu melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik karena mengandung klorofil. Karena kemampuannya ini, fitoplankton disebut sebagai produser primer.
Bahan organik yang diproduksi fitoplankton menjadi sumber energi untuk menjalani segala fungsi faalnya. Tetapi, di samping itu energi yang terkandung di dalam fitoplankton dialirkan melalui rantai makanan. Seluruh hewan laut seperti udang, ikan, cumi-cumi, sampai ikan paus yang berukuran raksasa bergantung pada fitoplankton baik secara langsung atau tidak langsung melalui rantai makanan.

Zooplankton
Zooplankton, disebut juga plankton hewani, adalah hewan yang hidupnya mengapung, atau melayang dalam laut. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaannya sangat ditentukan ke mana arus membawanya. Zooplankton bersifat heterotrofik, yang maksudnya tak dapat memproduksi sendiri bahan organik dari bahan inorganik. Oleh karena itu, untuk kelangsungan hidupnya, ia sangat bergantung pada bahan organik dari fitoplankton yang menjadi makanannya. Jadi, zooplankton lebih berfungsi sebagai konsumen (consumer) bahan organik.


Gambar 2. Beberapa contoh zooplankton
Ukurannya yang paling umum berkisar 0,2 – 2 mm, tetapi ada juga yang berukuran besar misalnya ubur-ubur yang bisa berukuran sampai lebih satu meter. Kelompok yang paling umum ditemui antara lain kopepod (copepod), eufausid (euphausid), misid (mysid), amfipod (amphipod), kaetognat(aetognath). Zooplankton dapat dijumpai mulai dari perairan pantai, perairan estuaria, di depan muara sampai ke perairan di tengah samudra, dari perairan tropis hingga ke perairan kutub.
Zooplankton ada yang hidup di permukaan dan ada pula yang hidup di perairan dalam. Ada pula yang dapat melakukan migrasi vertikal harian dari lapisan dalam ke permukaan. Hampir semua hewan yang mampu berenang bebas (nekton) atau yang hidup di dasar Taut (bentos) menjalani awal kehidupannya sebagai zooplankton yakni ketika masih berupa terlur dan larva. Baru dikemudian hari, menjelang dewasa, sifat hidupnya yang semula sebagai plankton berubah menjadi nekton atau bentos.

Berdasarkan Ukuran
Kini, dengan kemajuan teknik penyaringan yang dapat lebih baik memilah-milah partikel yang sangat halus, penggolongan plankton berdasarkan ukurannya lebih berkembang. Ukuran plankton sangat beraneka ragam, dari yang sangat kecil hingga yang besar. Penggolongan di bawah ini diusulkan oleh Sieburth dkk. (1978) yang kini banyak diacu orang.

Makroplankton (2-20 mm)
Contohnya adalah Pteropods; Chaetognaths; Euphausiacea (krill); Medusae; ctenophores; salps, doliolids and pyrosomes (pelagic Tunicata); Cephalopoda.

Mesoplankton (0,2-2 mm)
Sebagian besar zooplankton berada dalam kelompok ini, seperti metazoans;
copepods; Medusae; Cladocera; Ostracoda; Chaetognaths; Pteropods; Tunicata; Heteropoda.

Mikroplankton (20-200 µm)
Contohnya adalah: eukaryotic protist besar; kebanyakan phytoplankton; Protozoa (Foraminifera); ciliates; Rotifera; metazoans muda – Crustacea (copepod nauplii)

Nanoplankton (2-20 µm)
Plankton yang lolos dari jaring, tetapi lebih besar dari 2 µm. Atau berukuran 2-20 µm; Contohnya: eukaryotic protista kecil; Diatoms kecil; Flagellates kecil; Pyrrophyta; Chrysophyta; Chlorophyta; Xanthophyta

Picoplankton (0,2-2 µm)
Contohnya: eukaryotic protists kecil; bacteria; Chrysophyta
Femtoplankton (< 0.2 μm)
Contohnya: Virus laut.

Berdasarkan Daur Hidupnya
Berdasarkan daur hidupnya plankton dibagi menjadi:

Holoplankton
Dalam kelompok ini termasuk plankton yang seluruh daur hidupnya dijalani sebagai plankton, mulai dari telur, larva, hingga dewasa. Kebanyakan zooplankton termasuk dalam golongan ini. Contohnya: kokepod, amfipod, salpa, kaetognat. Fitoplankton termasuk juga umumnya adalah holoplankton.
Meroplankton
Plankton dari golongan ini menjadi kehidupannya sebagai plankton hanya pada tahap awal dari daur hidup biota tersebut, yakni pada tahap sebagai telur dan larva saja. Beranjak dewasa ia akan berubah menjadi nekton, yakni hewan yang dapat aktif berenang bebas, atau sebagai bentos yang hidup menetap atau melekat di dasar laut. Oleh sebab itu, meroplankton sering pula disebut sebagai plankton sementara.
Pada umumnya ikan menjalai hidupnya sebagai plankton ketika masih dalam tahap telur dan larva kemudian menjadi nekton setelah dapat berenang bebas. Kerang dan karang adalah contoh hewan yang pada awalnya hidup sebagai plankton pada tahap telur hingga larva, yang selanjutnya akan menjalani hidupnya sebagai bentos yang hidup melekat atau manancap di dasar laut.
Meroplankton ini sangat banyak ragamnya dan umumnya mempunyai bentuk yang sangat berbeda dari bentuk dewasanya. Larva crustacea seperti udang dan kepiting mempunyai perkembangan larva yang bertingkat-tingkat dengan bentuk yang sedikitpun tidak menunjukkan persamaan dengan bentuk yang dewasa. Pengetahuan mengenai meroplankton ini menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan upaya budidaya udang, crustacea, mollusca, dan ikan.

Berdasarkan Habitat
Plankton berdasarkan habitatnya, dapat digolongkan menjadi 5, yaitu:
1. Limnoplankton (di danau)
2. Heleoplankton (di kolam)
3. Potamoplankton (di sungai)
4. Hipalmiroplankton (di air payau)
5. Haliplankton (di laut)

Berdasarkan Asal-Usulnya
Plankton berdasarkan asal-usulnya dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Autoplankton
Yaitu plankton yang berasal dari habitat tersebut (plankton asli dari suatu habitat).

b. Alloplankton
Yaitu plankton yang berasal dari luar habitat tersebut (plankton pendatang).

Komposisi dan Kelimpahan Plankton
Penyebaran fitoplankton lebih merata dibandingkan dengan zooplankton karena kondisi perairan yang memungkinkan produksi fitoplankton seperti sifat fototaksis positif yang dimiliki dan menyenangi sinar dan mendekati cahaya. Lain halnya dengan zooplankton yang berpindah secara vertikal dan horizontal yang mengikuti perkembangan fitoplankton dan bersifat tidak menyenangi sinar dan cemderung menjauhi cahaya (Nybakken,1992). Crustacea merupakan jenis zooplankton yang terpenting bagi ikan-ikan baik di perairan tawar maupun perairan laut. Pada phylum Arthropoda, hanya crustacea yang dapat hidup sebagai plankton dalam perairan. Zooplankton banyak terdapat di perairan pantai terutama dekat dengan muara sungai karena pada muara sungai banyak terdapat makanan zooplankton yaitu fitoplankton dan terdapat banyak zat hara yang terbawa oleh arus (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Siklus pembelahan sel pada fitoplankton relatif lebih singkat daripada zooplakton. Sehingga untuk mencapai jumlah yang banyak bagi zooplankton diperlukan waktu yang lama. Selanjutnya dikatakan bahwa copepoda merupakan hewan pemakan fitoplakton yang sangat efisien dan ternyata dapat menurunkan kepadatan populasi fitoplankton secara mencolok di perairan (Nybakken, 1992).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Plankton

1. Suhu
Suhu di lautan adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangan dari organisme. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis hewan yang terdapat di berbagai tempat di dunia (Hutabarat dan Evans, 1985).
Plankton dari jenis fitoplankton hanya dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang mempunyai sinar matahari yang cukup. Akibatnya penyebaran fitoplankton besar pada lapisan permukaan laut saja. Keadaan yang demikian memungkinkan untuk terjadinya proses fotosintesis. Sejak sinar matahari yang diserap oleh lapisan permukaan laut, maka lapisan ini relatif panas sampai ke kedalaman 200 m (Hutabarat dan Evans, 1985).
Walaupun Plankton potensial berbahaya menyebar luas secara geografis dan hal ini mengidentifikasikan adanya kisaran yang luas terhadap toleransi suhu, tetapi spesies alga potensial berbahaya daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu. Kisaran suhu optimal bagi spesies alga potensial berbahaya adalah 250–300 C dan kemampuan proses fotosintesis akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran optimal tersebut (Gross dan Enevoldsen, 1998 dalam Gosari, 2002).

2. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut. Konsentrasi ini biasanya sebesar 3% dari berat seluruhnya atau sering juga disebut bagian perseribu (permil) dan biasa ditulis dengan 35‰. Konsentrasi garam-garam ini jumlahnya relative sama dalam setiap contoh-contoh air laut, sekalipun mereka diambil dari tempat yang berbeda di seluruh dunia (Hutabarat dan Evans,1985).
Hampir semua organisme laut dapat hidup pada daerah yang mempunyai perubahan salinitas yang sangat kecil, misalnya daerah estuaria adalah daerah yang mempunyai salinitas rendah karena adanya sejumlah air tawar yang masuk yang berasal dari daratan dan juga disebabkan karena adanya pasang surut di daerah ini kisaran salinitas yang normal untuk kehidupan organisme di laut adalah berkisar antara 30-35 ppm (Gosari, 2002).
Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Yang pertama karena zona intertidal terbuka pada saat pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, akibatnya salinitas akan turun secara drastis (Nybakken, 1992).

3. Potensial Hidrogen (pH)
pH merupakan pengukuran asam atau basa suatu larutan. Keasaman terjadi karena berlebihnya ion H+ pada suatu larutan, sedangkan alkalinitas terjadi karena berlebihnya ion OH- pada suatu larutan. Potensial hidrogen atau sifat keasaman atau basa (alkalinitas) suatu larutan sangatlah penting dalam faktor kelarutan dalam air laut terutama terhadap pengendapan mineral atau unsur-unsur dan kehidupan organisme pada suatu kondisi tertentu (Hutabarat dan Evans, 1985).
Derajat keasaman (pH) adalah nilai logaritma tentang besarnya konsentrasi ion hidrogen sehingga menunjukkan kondisi air atau tanah tersebut basa atau asam. Pada umumnya kedalaman dasar juga mencirikan nilai pH dari air laut dan substrat dasarnya sehingga dapat diketahui bahwa tingkat keasaman pada daerah yang lebih dalam akan lebih rendah dibandingkan pada daerah yang lebih dangkal (Usman, 2006).

4. Arus
Menurut Hutabarat dan Evans (1985), arus merupakan pergerakan massa air yang disebabkan oleh adanya perbedaaan densitas atau angin. Arus dapat dibagai menjadi arus permukaan dan arus upwelling. Arus dapat disebabkan oleh angin, juga dipengaruhi oleh faktor topografi dasar laut, pulau-pulau yang ada disekitarnya, gaya coriolis dan perbedaan densitas air laut.
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang panjang termasuk pasang surut (Nontji, 2005).

5. Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan bahan-bahan yang terdapat dalam perairan. Kekeruhan air dapat disebabkan oleh lumpur, partikel tanah, serpihan tanaman, dan fitoplankton. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan organisme yang menyesuaikan diri pada air yang jernih menjadi terhambat dan dapat pula menyebabkan kematian karena mengganggu proses respirasi (Hutagalung et al., 1997).

6. DO
Oksigen yang terdapat dalam air laut terdiri dari dua bentuk senyawa, yaitu terikat dengan unsur lain dan sebagai molekul bebas. Kelarutan molekul oksigen yang terdapat dalam air laut dipengaruhi secara fisika, sebagai contoh kelarutannya sangat dipengaruhi oleh suhu air. Sumber utama oksigen dalam air laut berasal dari udara melalui proses difusi dan dari hasil fotosintesis fitoflankton pada siang hari faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya malam hari), adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terurai (Hutagalung et al., 1997).
Faktor lain yang mempengaruhi penyebaran plankton adalah faktor kimiawi. Menurut Sachlan (1972), penyebaran plankton dalam perairan dipengaruhi oleh sifat fototaksis. Fitoplankton bersifat fototaksis positif, dan zooplankton bersifat fototaksis negatif.

Distribusi Plankton
Plankton terdapat mulai dari lingkungan air tawar hingga ke tengah samudera. Dari perairan tropis hingga ke peraiaran kutub. Boleh dikatakan tak ada permukaan laut yang tidak di huni oleh plankton. Nontji (2008) membagi plankton berdasarkan sebaran horizontalnya, baik fitoplankton maupun zooplankton menjadi :

Plankton Neritik
Plankton neritik (neritic plankton) hidup di perairan pantai dengan salinitas yang relative rendah. Kadang-kadang masuk sampai ke peraian payau di depan muara dengan salinitas 5-10 psu (practical salinity unit, dulu digunakan istilah ‰ atau permil, g/kg). akibat pengaruh lungkungan yang terus menerus berubah disebabkan arus dan pasang surut, komposisi plankton neritik ini sangat kompleks, bisa merupoakan campuran plankton laut dan plankton asal perairan air tawar. Beberapa diantaranya malah telah dapat beradaptasi dengan lingkungan estuaria yang payau (Nontji, 2008).

Plankton Oseanik
Plankton oseanik hidup diperairan lepas pantai hingga ke tengah samudra. Karena itu plankton oseanik ditemukan pada perairan yang salinitasnya tinggi. Karena luasnya wilayah perairan oseanik ini, maka banyak jenis plankton tergolong dalam kelompok ini (Nontji, 2008).
Penggolongan seperti di atas tidaklah terlalu kaku, karena ada juga plankton yang hidup mulai dari perairan neritik hingga oseanik hingga dapat disebut neritik oseanik (Nontji, 2008).
Persebaran atau distribusi horizontal plankton memang sangat ditentukan oleh factor-faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, dan arus. Oleh sebab itu kehadiran plankton jenis tertentu dapat digunakan sebagai indicator akan massa air atau arus laut. Di English Channel misalnya, bila kaetognat Sagitta setosa merajai, itu mengindikasikan massa air dari laut utara yang bersalinitas rendah telah masuk ke selat ini. Sebaliknya bila Sagitta ellegans yang merajai, itu mengindikasikan massa air bersalinitas tinggi dari samudra atlantik merambah masuk sampai ke selat ini. Demikian pula ubur-ubur Cyanea capilata dapat dijadikan indicator adanya arus air dingin, sedangkan Physalia physalis sebagai indicator arus air hangat.contoh lain misalnya copepod Eurytemora affinis telah menyesuaikan diri untuk hidup diperairan estuaria dengan salinitas rendah, dan karena keberadaannya dapat dijadikan indicator perairan estuaria. Di Indonesia ditemukan copepod Labidocera muranoi dari perairan mangrove, yang mungkin dapat pula dijadikan indicator perairan dengan salinitas rendah (Nontji, 2008).
Plankton hidup di laut mulai dari lapisan yang tipis di permukaan sampai pada kedalaman yang sangat dalam. Dilihat dari sebaran vertikalnya plankton, Nontji (2008) membaginya menjadi :

Epiplankton
Epiplankton adalah plankton yang hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman sekitar 100m. Lapisan laut teratas ini kira-kira sedalam sinar matahari dapat menembus. Namun dari kelompok epiplankton ini ada juga yang hidup di lapisan yang sangat tipis di permukaan yang langsung berbatasan dengan udara. Plankton semacam ini disebut neuston. Contoh yang menarik adalah fitoplankton Trichodesmium, yang merupakan sianobakteri berantai panjang yang hidup di permukaan dan mempunya keistimewaan dapat mengikat nitrogen langsung dari udara. Neuston yang hidup pada kedalaman sekitar 0-10cm disebut hiponeuston. Ternyata lapisan tipis ini mempunyai arti yang penting karena bisa mempunyai komposisi jenis yang kompleks.
Dari kelompok neuston ini ada juga yang mengambang dipermukaan dengan sebagian tubuhnya dalam air dan sebagian lain lagi tersembul ke udara. Yang begini disebut pleuston. Contoh pleuston yang menarik adalah ubur-ubur api, yang Physalia physalis, yang lazim juga diberi julukan Portuguese man of war bagian atasnya menggelembung mencuat dari permukaan bagaikan layar yang dapat di tiup angin yang menghayutkan plankton tersebut. Sebenarnya ubur-ubur api ini merupakan hewan koloni. Setiap individu terbentuk dari empat koloni, masing-masing berbeda fungsinya namun semuanya berada dalam hubungan kerja yang harmonis. Kelompok pertama membentuk pelampung dan layar, kelompok kedua membentuk umbai-umbai tentakel yang panjang dilengkapi nemanocist atau sel pennyengat yang ampuh untuk menangkap mangsa, kelompok ketiga mencernakan makanan, dan kelompok empat untuk melaksanakan pembiakan. Physalia physalis ini disebut ubur-ubur api karena bila tersentuh akan dapat menyengat kulit kita hingga melepuh dengan rasa panas bagaikan disundut api. Ada lagi pleuston yang juga menarik yakni Janthina, yang merupakan keong laut yang hidup menggantung di lapisan film permukaan dengan busa yang dihasilkannya bagaikan pelampung.

Mesoplankton
Mesoplankton yakni plankton yang hidup di lapisan tengah, pada kedalaman sekitar 100-400m. Pada lapisan ini intensitas cahaya sudah sangat redup sampai gelap. Oleh sebab itu di lapisan ini fitoplankton, yang memerlukan sinar matahari untuk fotosintesis, umumnya sudah tidak dijumpai. Lapisan ini dan lebih dalam didominasi oleh zooplankton. Beberapa copepod sepeti Eucheuta marina tersebar secara vertical sampai lapisan ini atau lebih dalam. Dari kelompok eufausid juga banyak terdapat di lapisan ini, misalnya thysanopoda, eufhausida, Thysanoessa, nematoscelis. Tetapi eufaosid ini juga dapat melakukan migrasi vertical sampai lapisan di atasnya.

Hypoplankton
Hypoplankton adalah plankton yang hidupnya pada kedalaman lebih dari 400m. termasuk dalam kelompok ini adalah batiplankton yang hidup pada kedalaman >600m, dan abisoplankton yang hidup di lapisan yang paling dalam,sampai 3000-4000m.
Sebagai contoh, dari kelompok eufaosid, Betheuphaosia ambylops, dan Thysanopoda adalah jenis tipikal laut dalam yang menghuni perairan pada kedalaman lebih dari 1500m. sedangkan dari kelompok kaetognat Eukrohnia hamat, Eukrohnia bathypelagica termasuk yang hidup pada kedalaman lebih dari 1000m.

Metode Perhitungan Plankton
Peralatan yang digunakan dalam perhitungan sampel yaitu:

1. Haemocytometer.
Haemacytometer merupakan gelas-objek atau gelas preparat yang kalau dilihat dari samping akan terlihat pada permukaan bagian tengah agak lebih rendah bila dibandingkan dengan bagian kiri-kanannya. Selisih perbedaan permukaan ini tertulis pada alat tersebut sebagai “depth”. Tertulis : depth = 0,100 mm. Ukuran kotak yang terbentuk dari garis-garis yang bersilangan dalam keadaan sebenarnya 1 mm × 1 mm, sehingga luas permukaan yang bergaris adalah 1 mm2 (Nontji, 2008).
Untuk menghitung jumlah plankter, mula-mula air sampel yang telah diambil di lapangan diteteskan di atas permukaan Haemacytometer bagian tengah, kemudian ditutup dengan cover glass sehingga air akan menutupi permukaan Haemacytometer bergaris (Nontji, 2008).
Karena luas permukaan yang bergaris adalah 1 mm2 dan tinggi air 0,1 mm (depth), maka volume airnya: 1 mm2 × 0,1 mm = 0,1 mm3 atau 0,0001 c. Dengan menghitung jumlah plankter di dalam ruang di atas permukaan bergaris tersebut, maka dapat diketahui jumlah individu plankton per cc air (Nontji, 2008).

2. Sedgwick-Rafter ( Omori dan Ikeda, 1992 )
Pengamatan dengan alat ini ditujukan bagi Mikrozooplankton dan Fitoplankton dengan menggunakan mikroskop binokuler perbesaran 100 x.

3. Bolgorov (Omori dan Ikeda, 1992 ).

Pengamatan dengan alat ini ditujukan bagi zooplankton dengan menggunakan mikroskop binokuler perbesaran 40 x.

Kelimpahan Fitoplankton & Zooplankton



Dimana:
K = Nilai kelimpahan plankton (ind/liter ; sel/liter)
N = Jumlah jenis plankton hasil pencacahan (ind;sel)
f = fraksi yang dipergunakan
v = volume air tersaring (liter)

Metode Pengambilan
Menurut Nontji (2008), pengambilan contoh fitoplankton sejak lama orang menggunakan jaring plankton (plankton net), kemudian berkembang dalam berbagai variasi bentuk dan ukuran. Dalam pengoperasiannya jaring plankton dapat ditarik horizontal permukaan laut dari kapal atau perahu, dengan kecepatan rendah sekitar 2 knot (m/jam) selama beberapa menit. Berapa lama jaring ini ditarik memerlukan pertimbangan dan pengalaman sendiri dan disesuaikan dengan kondisi perairan setempat. Jaring plankton yang telah di angkat dari laut, harus segera disemprotkan dari luar plankton yang masih menempel pada bagian dalam badan jaring dapat turun semua masuk ke botol penampung.
Pengambilan sampel di perairan dangkal (>10 m) dilakukan secara horizontal dengan menarik jaring selama 5 menit di bawah permukaan air. Di laut yang relatif jeluk (>200 m), pengambilan fitoplankton hanya dibatasi mulai dari kejelukan 150 m ke atas sampai 0 m (permukaan laut), sedangkan untuk zooplankton, mulai dari kejelukan 200 m ke atas sampai permukaan laut (0 m) (Nontji, 2008).

Sampling secara Horizontal
Metode pengambilan plankton secara horizontal ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran plankton horizontal. Plankton net pada suatu titik di laut, ditarik kapal menuju ke titik lain. Jumlah air tersaring diperoleh dari angka pada flowmeter atau dengan mengalikan jarak di antara dua titik tersebut dengan diameter plankton net. Flowmeter untuk peningkatan ketelitian.

Sampling secara Vertikal
Meletakkan plankton net sampai ke dasar perairan, kemudian menariknya ke atas. Kedalaman perairan sama dengan panjang tali yang terendam dalam air sebelum digunakan untuk menarik plankton net ke atas. Volume air tersaring adalah kedalaman air dikalikan dengan diameter mulut plankton net.

Jenis Peralatan Sampling Plankton:
Sampling menggunakan tabung/botol air (Water bottle) (Omori dan Ikeda, 1992).
Sampling dilakukan dengan mengambil air laut pada kedalaman tertentu, menggunakan botol 100 ml. Sampling pada perairan di wilayah pantai dimana kelimpahan plankton tinggi. Sampling untuk plankton berukuran kecil (fito atau nannoplankton). Sampling mendapatkan air sampel 1 – 50 liter. Sampling menggunakan Van Dorn/ Nansen Bottle Sampler (Omori dan Ikeda,1992)

Gambar 7. Botol Nansen
Tabung Van Dorn atau Nansen Bottle Sampler terbuka diturunkan pada kedalaman tertentu. Tabung Van Dorn atau Nansen Bottle Sampler akan ditutup dengan meluncurkan ring atau besi pemberat sehingga bagian atas dan bawah akan tertutup.
Sampling menggunakan Pompa Hisap (Romimohtarto dan Juwana,1998)

Gambar 8. Pompa Hisap
Sampling dengan memompa air laut dari kedalaman tertentu. Ujung pompa hisap diturunkan sampai dengan kedalaman tujuan. Air sampel ditampung dan disaring. Keuntungannya volume dan kedalaman dapat ditentukan. Kekurangannya volume air dibatasi oleh diameter pipa penghisap. Tidak semua plankton dapat terhisap sesuai tujuan.
Sampling menggunakan Plankton Net (Omori dan Ikeda,1992; Romimohtarto &
Juwana, 1998). Plankton Net untuk phytoplankton berukuran diameter 31 cm dengan mata jaring berukuran 30 – 60 mikron. Plankton Net untuk zooplankton berukuran diameter 45 cm dengan mata jaring berukuran 150 – 500 mikron. Plankton Net untuk ikhtyoplankton berukuran diamater 55 cm.
Sampling menggunakan Centrifuge

Beberapa cara penarikan jaring plankton. A. Kapal berhenti: 1. Penarikan jaring secara vertical. B. Kapal bergerak maju perlahan: 2. Penarikan secara horizontal; 3. Penarikan secara miring (oblique)

Pengawetan Sampel Plankton
Sampel Plankton yang diperoleh menurut Samawi (2009), harus dilengkapi data:
Lokasi pengambilan sampel / stasiun
2. Tanggal dan Jam
3. Kedalaman
4. Cuaca
5. Kecepatan Arus
6. Beberapa parameter fisika dan kimia perairan lain

Menurut Samawi (2009), terdapat beberapa bahan pengawet untuk mengawetkan plankton, yaitu:
• Fitoplankton
• Lugol
• Formalin
• Merthiolate
• M3 fixative
• Gluraraldehida
• Pengawet 6-3-1
• Zooplankton
• Etanol
• Formalin
Menurut Samawi (2009), pengawetan yang paling baik digunakan untuk fitoplankton adalah larutan lugol. Caranya yaitu :
Tambahkan 0,3 ml larutan Lugol ke dalam 100 ml sampel & simpan di tempat gelap. Untuk penyimpanan lama + 0.7 ml ke 100 ml sampel & diberi buffer formaldehida paling sedikit 2,5 % setelah 1 jam. Sedangkan untuk pengawetan sampel zooplankton adalah dengan menggunakan ethanol. Caranya yaitu : awetkan zooplankton dalam 70% ethanol atau 5% buffered formalin.









DAFTAR RUJUKAN

Barnes, D R. 1987. Invertebrate Zoology. USA: college publishing the dryden press.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia ( Indonesian Shells ). Jakarta: PT. Sarana Graha.

Khiatuddin, M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air dengan Teknologi Air dengan Teknologi Rawa Buatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Whitten, T. R.E. Soeriaatmadja dan S. A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta: Prehalindo.
Chusnia, Wilda. 2010. Pengukuran Parameter Kualitas dengan Bentos. (Online). (http://id.shvoong.com/writers/wildachusnia/, diakses 16 Maret 2011).
Arinardi, O. H. 1997. Status Pengetahuan Plankton di Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Puslitbang-LIPI. Jakarta.

Gosari, Benny. 2002. Skripsi Komposisi Jenis Fitoplankton Berbahaya di Sekitar Pelabuhan Soekarno Hatta. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Hutabarat, S. dan S.M, Evans, 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press Jakarta.

Hutagalung, H.P., D. Setiapermana dan S.H. Riyono., 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.

Nontji, Anugrah. 2005. Laut Nusantara Djambatan. Jakarta.

Nontji, Anugrah. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Osenografi. Jakarta.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia Jakarta

Romimohtarto, Kasjian dan Srijuwana. 2001. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.

Sachlan, M. 1972. Planktonologi. Correspondense Course Center. Jakarta.

Sahriany, S. 2001. Studi Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Karbino Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Samawi, Farid. 2008. Bahan Ajar Planktonologi Laut. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Usman, Hanapi. 2006. Modul Kimia Dasar 1. Universitas Hasanuddin. Makassar.

5 komentar: