1.
Pengantar
Mari kita
melihat sebentar kembali jalan yang sudah kita lalui sampai di sini. Kita
bertolak dari kenyataan bahwa kita bebas. Kebebasan yang diberikan oleh
masyarakat kepada kita, kebebasan sosial, hanya merupakan ruang bagi kebebasan
untuk menentukan diri kita sendiri, kebebasan eksistensial. Berhadapan dengan
pelbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus mempergunakan kebebasan
kita ini, kita dalam suara hati menyadari bahwa akhirnya kita sendirilah yang
harus mengambil keputusan tentang apa yang harus kita lakukan. Kita sendirilah
yang bertanggung jawab atas tindakan kita. Tidak ada orang yang dapat menghapus
kenyataan ini. Dalam etika normatif kita melihat prinsip-prinsip dasar objektif
terhadapnya kita harus mempertanggungjawabkan kebebasan kita.
Maka akhirnya
semuanya jatuh kembali kepada kita: kita ini siapa? Kita ini orang macam apa?
Segala pengetahuan tentang pokok-pokok etika, pendekatan yang realistik dan
kritis sekali pun (lihat pada akhir bab ini) tidak akan berguna kalau kita
sendiri tidak memadai.
Maka pada akhir
buku ini sayang ingin bicara tentang sikap-sikap yang perlu kita kembangkan
kalau kita ingin memperoleh kekuatan moral. Kekuatan moral adalah kekuatan
kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai
dengan apa yang diyakininya sebagai benar.
Saya akan
membahas lima sikap atau keutamaan yang saya anggap mendasari kepribadian yang
mantap. Dalam hubungan dengan yang pertama saya akan menyajikan beberapa
pikiran tentang arti keaslian atau otentisitas. Saya menutup bab dan buku ini
dengan catatan tentang sikap kita yang harus sekaligus realistik dan kritis.
2.
Kejujuran
Dasar setiap
usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran
kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani
menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu
berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Orang yang
tidak lurus tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa
yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Ia bukan tiang, melainkan bendera
yang mengikuti segenap angin.
Tanpa kejujuran
keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik
terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering
beracun. Begitu pula sikap-sikap terpuji seperti sepi ing pamrih dan rame ing
gawe menjadi sarana kelicikan dan penipuan apabila tidak berakar dalam
kejujuran yang bening. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas
diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati dengan
tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
Bersikap jujur
terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua bersikap fair. Dengan terbuka tidak dimaksud
bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau
bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita
berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul
sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak
menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Kita tidak menyesuaikan kepribadian
kita dengan harapan orang lain. Dalam segala sikap dan tindakan kita memang
hendaknya tanggap terhadap kebutuhan, kepentingan dan hak orang-orang yang
berhadapan dengan kita. Kita tidak bersikap egois belaka. Kita seperlunya
bersedia untuk mengorbankan suatu kepentingan kita demi orang lain. Tetapi kita
melakukannya bukan sekedar untuk menyesuaikan diri, karena takut atau malu,
melainkan sebagai diri kita sendiri, karena kita sendiri dengan sikap moral
yang otonom menilai bahwa memang wajar dan tepat kalau kita memberikan
pengorbanan itu. Kita tidak
lari dan tidak perlu pasang kedok dan kalau perlu kita menolak permintaan orang
lain dengan tenang. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini.
Kedua, terhadap
orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair:
ia memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya dipergunakan
orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan
memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi
untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara
hati atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan
dan kebohongan akan disobeknya.
Tetapi kita
hanya bisa bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri
kita sendiri. Dengan kata
lain, kita pertama-tama harus berhenti membohongi diri kita sendiri. Kita harus
berani melihat diri seadanya. Kita harus berhenti main sandiwara, bukan hanya
terhadap orang lain, melainkan terhadap kita sendiri. Kita perlu melawan
kecondongan untuk berasionalisasi, menghindari show dan pembawaan berlebih-lebihan. Orang jujur tidak perlu mengkompensasikan perasaan
minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain.
Maka amatlah
penting agar kita mulai menjadi jujur.
3.
Nilai-nilai otentik
Di sini
tempatnya untuk beberapa kata tentang sesuatu yang erat hubungannya dengan hal
kejujuran dan juga sangat penting kalau kita mau menjadi orang yang kuat dan
matang: Kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita
sendiri. Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa
membeo saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam
segala-galanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin.
”Otentik”
berarti ”asli”. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan
diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang sebenarnya. Manusia
yang tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang dalam
segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang
seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri melainkan terbentuk oleh
peranan yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.
Manusia dapat
juga tidak atau kurang otentik dalam cita-cita dan nilai-nilainya. Itu berarti:
apa yang dicintai, dihargai, dicita-citakannya, begitu pula apa yang dibenci
dan ditolaknya itu sebenarnya bukan nilai-nilai dan kebencian-kebenciannya
sendiri, melainkan apa yang oleh lingkungannya dicintai, dihargai,
dicita-citakan, dibenci, ditolak. Seakan-akan ia sendiri tidak mempunyai
cita-cita dan nilai-nilai. Jeleknya bahwa yang bersangkutan sendiri tidak sadar
akan hal itu. Maka mungkin saja bahwa ia penuh semangat membela cita-cita luhur
tertentu, tetapi sebenarnya ia hanya ingin bersatu dengan kelompoknya. Dasar
ketidakotentikan itu adalah rasa takut jangan-jangan ia ditinggalkan oleh
mereka. Maka ia mau merasa dan
bercita-cita seperti kelompoknya. Namun dengan demikian ia tidak dapat
mengembangkan identitas dan kepribadiannya sendiri. Ia kehilangan
kreativitasnya dan mudah dimanipulasikan.
Ketidakotentikan
itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam
segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu
lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak
memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya
suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di
kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di
bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah
gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si
pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.
Nilai-nilai
yang tidak otentik juga dikemukakan di
bidang religius. Misalnya orang yang masuk
biara. Di biara ia mempelajari cita-cita luhur tokoh-tokoh serikat biara
itu. Pimpinan biara dan lingkungan mengharapkan agar ia mengembangkan
sikap-sikap tertentu. Maka ia
merasa cita-cita seperti tokoh-tokoh itu, ia telah merasa menyenangi cara hidup
dan sikap-sikap seorang biarawan. Namun belum tentu cita-cita itu otentik. Bisa
juga terjadi bahwa orang itu hanya takut jangan-jangan ia harus meninggalkan
kelompok yang memberi rasa aman itu. Maka ia menyakinkan dirinya sendiri (bukan
hanya pimpinannya) bahwa ia memang bercita-cita sebagaimana diharapkan dari
padanya-padahal sebenarnya cita-cita itu baginya tidak banyak berarti. Salah satu tanda ketidakotentikan itu ialah
kalau orang itu sudah beberapa saat terus menerus merasa lesu, bosan terhadap
hal-hal rohani rurtin (kemampuan untuk menghayati rutin merupakan tanda
keasliaan: yang sungguh-sungguh disenangi justru yang menggembirakan sebagai
rutin), terpisah dari lingkungan biara sifat biarawan cepat menghilang. Maka untuk menguji lingkungan yang lain,
dengan nilai-nilai yang lain; tanggungjawab dan inisiatifnya ditantang; ia
diberi kesempatan untuk menunjukkan ”hidungnya” dengan tidak terlalu diatur,
dan sebagainya.
Tentu
nilai-nilai dapat berkembang. Di bidang estetik pun begitu. Di bawah bimbingan
seorang guru apresiasi seni otentik seorang murid dapat menjadi lebih luas dan
lebih mendalam: bukannya karena ia mau seperti gurunya saja, melainkan karena
guru berhasil untuk menularkan apresiasinya sendiri kepada murid. Begitu pula
dalam bidang-bidang lain, cita-cita dan sikap-sikap muridnya. Namun untuk itu
cita-cita dan nilai-nilai yang tidak otentik lama-lama harus dibongkar.
Artinya, orang harus mengerti apa yang sebenarnya dinilainya tinggi dan apa
yang sebenarnya tidak disukainya. Ia harus jujur terhadap dirinya sendiri. Ia
harus berani untuk melihat dengan terbuka situasinya, kekuatan dan
kelemahannya, apa yang disenangi dan tidak disenangi dengan sebenarnya dan
bukan apa yang diharapkannya disenanginya dan tidak disenanginya. Ia harus
berani untuk menentukan sikapnya sendiri, sesuai dengan penilaiannya terhadap
situasi yang dihadapinya. Dan ia harus berani untuk menunjukkan diri secara
otentik kepada lingkungannya. Jadi ia tidak lagi menunjukkan diri sebagaimana
ia mengira bahwa lingkungan mengharapkan ia menunjukkan diri, melainkan sesuai
dengan kediriannya yang sesungguhnya. Jadi ia berani muncul di panggung
masyarakat, ia sendiri, dan bukan jiplakan harapan masyarakat yang sering
sekali juga bukan harapan masyarakat, melainkan apa yang dibayangkannya bahwa
diharapkan masyarakat dari padanya.
4.
Kesediaan untuk bertanggung jawab
Kejujuran
sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan
untuk bertanggung jawab. Itu, pertama, berarti kesediaan untuk melakukan apa
yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti suatu
sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk
menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada
pamrih kita. Karena kita terlibat pada pelaksanannya, perasaan-perasaan seperti
malas, wegah, takut, atau malu tidak mempunyai tempat berpijak. Kita akan
melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau
kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar
masalah di mana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan
yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai
sekarang harus kita emong, kita pelihara, kita selesaikan dengan baik, bahkan
andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa
meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu
diselesaikan sampai tuntas.
Kedua, dengan
demikian sikap bertanggung jawab mengatasi segala etika peraturan. Etika
peraturan hanya mempertanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak. Sedangkan sikap
bertanggung jawab merasa terikat pada yang memang perlu. Ia terikat pada nilai
yang mau dihasilkan. Misalnya seorang pembantu rumah tangga yang berhak untuk
pergi sesudah jam 18.00, tetapi tetap menjaga anak tuan rumah sampai mereka
pulang meskipun lewat jam 18.00. Orang yang bertanggung jawab seperlunya akan
melanggar peraturan kalau kelihatan tidak sesuai dengan tuntutan situasi. Kalau
pembantu itu melihat bahwa mobil tuan rumah di garasi masih jalan mesinnya, dan
ia tidak dapat masuk ke garasi, ia akan membangunkan dia, meskipun ia dilarang
mengganggunya antara jam 16.00-18.00.
Ketiga, dengan
demikian wawasan orang yang bersedia untuk bertanggung jawab secara prinsipil
tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan
dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia
diperlukan. Ia bersedia untuk mengerahkan tenaga dan kemampuan di mana ia
ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan
objektif. Apabila tetangganya dirampok, ia tidak bersikap masa bodoh, melainkan
segera menghubungi polisi. Apabila ia melihat kecelakaan, ia tidak pergi karena
itu ”bukan urusannya”, melainkan mendekati dan memeriksa bagaimana ia dapat
menolong.
Keempat,
kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, dan untuk
memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan
tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia
bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab
atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai
atasan ia, dengan hubungan dengan pihak luar, bersedia untuk mengaku
bertanggung jawab atau suatu keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung
jawab adalah seorang bawahan.
Kesediaan untuk
bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.
5.
Kemandirian modal
Keutamaan
ketiga yang perlu kita capai apabila kita ingin mencapai kepribadian moral yang
kuat adalah kemandirian modal. Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah
ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita,
melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai
dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Kita
tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita
dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar:
lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam, maupun
faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi,
pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi
pendirian kita.
Kemandirian
moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk
bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau
berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai
tidak jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa
kita tidak dapat ”beli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun
hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.
6.
Keberanian moral
Sikap mandiri
pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri
terhadap suatu masalah moral. Maka kemandirian terutama merupakan keutamaan
intelektual atau kognitif. Sebagai ketekadan dalam bertindak sikap mandiri
disebut kemandirian moral.
Kemandirian
moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah
diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif
dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari
tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibikin merasa malu,
dicela, ditentang atau diancam oleh yang banyak, oleh orang yang kuat-kuat dan
mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya kita segani.
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri
dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Keberanian moral kelihatan
dalam pegawai perusahaan yang tidak mau ikut berkorupsi, meskipun karena itu ia
dukucilkan; dalam keberanian seorang Satpam untuk menolak gubernur kepala
daerah untuk wilayah tertutup sebuah pabrik kalau gubernur itu tidak dapat
membuktikan identitasnyal; dalam pembelaan terhadap seorang rekan yang difitnah
oleh atasan; dalam penolakan seorang insinyur kecil untuk ikut menandatangani
laporan pemeriksaan kelaikan mesin pesawat terbang yang oleh pemeriksa-pemeriksa
lain dianggap baik, tetapi ia sendiri tahu bahwa pemeriksaan tidak dijalankan
dengan sungguh-sungguh.
Keberanian
moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang
memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau
itu berarti mengkrompomikan kebenaran dan keadilan.
Orang yang
berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani
mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam
hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu
yang sering mengecewakan dia. Ia merasa lebih mandiri. Ia bagaikan batu karang
di tengah-tengah sungai yang tetap kokoh dan tidak ikut arus. Ia memberikan
semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat
kezaliman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa.
7.
Kerendahan hati
Keutamaan
terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang mantap adalah kerendahan hati.
Barangkali orang akan bertanya mengapa di sini justru mencul kerendahan hati?
Kalau kita mendegar kata kerendahan hati, yang biasanya terbayang adalah sikap
orang yang tidak berani, cepat-cepat mengalah kalau berhadapan dengan orang
yang berkedudukan tinggi, suka menjilat, tidak sanggup mengambil dan membela
suatu pendirian, merendahkan diri dan lain sebagainya.
Akan tetapi,
sikap-sikap ini tidak ada sangkut pautnya dengan kerendahan hati. Kerendahan
hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat
diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri
sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat
kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang
dikagumi orang lain padanya bersifat kebetulan saja. Ia sadar bahwa kekuatannya
dan juga kebaikannya terbatas. Tetapi ia telah menerima diri. Ia tidak gugup
atau sedih karena ia bukan seorang manusia super. Maka ia adalah orang yang
tahu diri dalam arti yang sebenarnya.
Justru karena
itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan yang sulit dipertahankan
kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya ”ketahuan”. Ia sendiri
sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya.
Dalam bidang
moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan
kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian
moral terbatas. Jadi bahwa penilaian kita masih jauh dari sempurna karena hati
kita belum jernih. Oleh karena itu kita tidak akan memutlakkan pendapat moral
kita. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan
menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat
kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala-galanya dan bahwa
penilaian moral kita sering digelapkan oleh pengaruh emosi-emosi dan
ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita.
Kerendahan hati
ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat
kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan
atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan
orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan dan tidak berani untuk
membuka diri dalam dialog kritis. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari
pamrih dalam keberanian. Tidak pernah kita menyesuaikan diri dengan suatu
desakan atau tekanan untuk melakukan sesuatu yang kita yakini akan merugikan
orang lain atau bertentangan dengan tanggung jawab kita. Tetapi kita sadar bahwa penilaian kita terbatas.
Maka kita tidak memutlakkannya. Apabila situasinya memang sebenarnya belum
begitu jelas, atau dalam hal-hal yang kurang penting atau yang hanya menyangkut
diri kita sendiri saja, kita bersedia untuk menerima, menyetujui dan kemudian
mendukung pendapat orang lain. Kita tidak merasa kalah, kalau pendapat kita
tidak menang.
Justru orang
yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila
betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa
diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah
meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.
8.
Realistik dan kritis
Saya mau
menutup buku ini dengan mengajukan bahasan dua sikap yang tidak pertama-tama
menyangkut hati kita, melainkan pendekatan intelektual. Itu sesuai dengan ciri
khas etika sebagai refleksi kritis atas fenomen moralitas. Dua sikap ini adalah
sikap realistik dan kritis.
Manusia yang
kita hormati dan sesama terhadapnya kita mau bersikap baik bukan ”si manusia”,
melainkan pelbagai orang yang berada dalam jangkauan pengaruh tindakan kita,
dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuannya, dengan
kelemahan-kelemahan dan harapan-harapan mereka. Terhadap mereka itu kita
dipanggil untuk bertanggung jawab.
Dan karena
orang-orang itu oral real dalam dunia yang real pula, tanggung jawab kita harus
real juga. Kita wajib membuka mata lebar-lebar terhadap realitas. Tanggung
jawab moral menuntut sikap yang realistik. Siapa yang selalu bertindak menurut
”cita-cita luhur” berada dalam bahaya akan mengorbankan orang yang nyata demi
cita-citanya. Cita-cita luhur dapat menjadi kedok untuk melarikan diri dari
tanggung jawab yang nyata.
Apabila yang
menjadi kebutuhan orang dan masyarakat yang real hanya dapat diketahui dari
realitas itu sendiri. Teori moral hanya menyediakan tiga prinsip dasar. Segala
norma lainnya kurang lebih hanya merupakan contoh bagaimana prinsip-prinsip
dasar itu dapat diterapkan kepada realitas. Sebagai cetusan pengalaman
masyarakat norma-norma itu perlu diperhatikan tetapi tidak langsung mengikat
dengan mutlak. Kewajiban-kewajiban yang konkret tak dapat diketahui hanya dari
buku etika, dari daftar kewajiban dalam buku-buku agama, dari perasaan suci
kita sendiri, dari penentuan penguasa atau atas dasar ilham-ilham yang khusus.
Tak ada jalan lain kecuali membuka mata terhadap orang-orang yang nyata.
Tetapi sikap
realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita
mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan
dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistik mesti
berbarengan dengan sikap kritis.
Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada
supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang
dapat lebih bahagia. Prinsip-prinsip moral dasar adalah norma kritis yang kita
letakkan pada keadaan.
Sikap kritis
perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan wewenang dalam
masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak boleh
menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap wewenang harus
sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syarat-syarat agar
semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia boleh
dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala
macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis.
Peraturan-peraturan itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan
mengarahkan hidup masyarakat kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih
berfungsi demikian ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang
justru tidak adil dan malahan membawa penderitaan?
Tanggung jawab
moral yang nyata menuntut sikap realistik dan kritis. Pedomannya ialah untuk
menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka
kemungkinan lebih besar dari anggota-anggota untuk membangun hidup yang lebih
bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.
wooooo.... :O .... menyentuh batin....
BalasHapusbanyak yg jdi hrs sya perbaiki pada diri ini
tULisan yg Luar Biasa.......
Alhamdulillah, terima kasih.. Semoga bermanfaat ya.. :)
Hapusthank you so much
Hapusini kayaknya dari buku Frans Magnis Suseno... benarkah???
HapusBagus mbak
BalasHapus