Minggu, 13 Mei 2012

SIKAP-SIKAP KEPRIBADIAN MORAL YANG KUAT


1.  Pengantar

Mari kita melihat sebentar kembali jalan yang sudah kita lalui sampai di sini. Kita bertolak dari kenyataan bahwa kita bebas. Kebebasan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita, kebebasan sosial, hanya merupakan ruang bagi kebebasan untuk menentukan diri kita sendiri, kebebasan eksistensial. Berhadapan dengan pelbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus mempergunakan kebebasan kita ini, kita dalam suara hati menyadari bahwa akhirnya kita sendirilah yang harus mengambil keputusan tentang apa yang harus kita lakukan. Kita sendirilah yang bertanggung jawab atas tindakan kita. Tidak ada orang yang dapat menghapus kenyataan ini. Dalam etika normatif kita melihat prinsip-prinsip dasar objektif terhadapnya kita harus mempertanggungjawabkan kebebasan kita.

Maka akhirnya semuanya jatuh kembali kepada kita: kita ini siapa? Kita ini orang macam apa? Segala pengetahuan tentang pokok-pokok etika, pendekatan yang realistik dan kritis sekali pun (lihat pada akhir bab ini) tidak akan berguna kalau kita sendiri tidak memadai.

Maka pada akhir buku ini sayang ingin bicara tentang sikap-sikap yang perlu kita kembangkan kalau kita ingin memperoleh kekuatan moral. Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar.

Saya akan membahas lima sikap atau keutamaan yang saya anggap mendasari kepribadian yang mantap. Dalam hubungan dengan yang pertama saya akan menyajikan beberapa pikiran tentang arti keaslian atau otentisitas. Saya menutup bab dan buku ini dengan catatan tentang sikap kita yang harus sekaligus realistik dan kritis.


2.  Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Orang yang tidak lurus tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Ia bukan tiang, melainkan bendera yang mengikuti segenap angin.

Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Begitu pula sikap-sikap terpuji seperti sepi ing pamrih dan rame ing gawe menjadi sarana kelicikan dan penipuan apabila tidak berakar dalam kejujuran yang bening. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.

Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua bersikap fair. Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain. Dalam segala sikap dan tindakan kita memang hendaknya tanggap terhadap kebutuhan, kepentingan dan hak orang-orang yang berhadapan dengan kita. Kita tidak bersikap egois belaka. Kita seperlunya bersedia untuk mengorbankan suatu kepentingan kita demi orang lain. Tetapi kita melakukannya bukan sekedar untuk menyesuaikan diri, karena takut atau malu, melainkan sebagai diri kita sendiri, karena kita sendiri dengan sikap moral yang otonom menilai bahwa memang wajar dan tepat kalau kita memberikan pengorbanan itu. Kita tidak lari dan tidak perlu pasang kedok dan kalau perlu kita menolak permintaan orang lain dengan tenang. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini.

Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair: ia memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan kebohongan akan disobeknya.

Tetapi kita hanya bisa bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita pertama-tama harus berhenti membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita sendiri. Kita perlu melawan kecondongan untuk berasionalisasi, menghindari show dan pembawaan berlebih-lebihan. Orang jujur tidak perlu mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain.

Maka amatlah penting agar kita mulai menjadi jujur.

3.  Nilai-nilai otentik

Di sini tempatnya untuk beberapa kata tentang sesuatu yang erat hubungannya dengan hal kejujuran dan juga sangat penting kalau kita mau menjadi orang yang kuat dan matang: Kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa membeo saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam segala-galanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin.

”Otentik” berarti ”asli”. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang sebenarnya. Manusia yang tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang dalam segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri melainkan terbentuk oleh peranan yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.

Manusia dapat juga tidak atau kurang otentik dalam cita-cita dan nilai-nilainya. Itu berarti: apa yang dicintai, dihargai, dicita-citakannya, begitu pula apa yang dibenci dan ditolaknya itu sebenarnya bukan nilai-nilai dan kebencian-kebenciannya sendiri, melainkan apa yang oleh lingkungannya dicintai, dihargai, dicita-citakan, dibenci, ditolak. Seakan-akan ia sendiri tidak mempunyai cita-cita dan nilai-nilai. Jeleknya bahwa yang bersangkutan sendiri tidak sadar akan hal itu. Maka mungkin saja bahwa ia penuh semangat membela cita-cita luhur tertentu, tetapi sebenarnya ia hanya ingin bersatu dengan kelompoknya. Dasar ketidakotentikan itu adalah rasa takut jangan-jangan ia ditinggalkan oleh mereka. Maka ia mau merasa dan bercita-cita seperti kelompoknya. Namun dengan demikian ia tidak dapat mengembangkan identitas dan kepribadiannya sendiri. Ia kehilangan kreativitasnya dan mudah dimanipulasikan.

Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.

Nilai-nilai yang tidak otentik juga dikemukakan di bidang religius. Misalnya orang yang masuk biara. Di biara ia mempelajari cita-cita luhur tokoh-tokoh serikat biara itu. Pimpinan biara dan lingkungan mengharapkan agar ia mengembangkan sikap-sikap tertentu. Maka ia merasa cita-cita seperti tokoh-tokoh itu, ia telah merasa menyenangi cara hidup dan sikap-sikap seorang biarawan. Namun belum tentu cita-cita itu otentik. Bisa juga terjadi bahwa orang itu hanya takut jangan-jangan ia harus meninggalkan kelompok yang memberi rasa aman itu. Maka ia menyakinkan dirinya sendiri (bukan hanya pimpinannya) bahwa ia memang bercita-cita sebagaimana diharapkan dari padanya-padahal sebenarnya cita-cita itu baginya tidak banyak berarti.  Salah satu tanda ketidakotentikan itu ialah kalau orang itu sudah beberapa saat terus menerus merasa lesu, bosan terhadap hal-hal rohani rurtin (kemampuan untuk menghayati rutin merupakan tanda keasliaan: yang sungguh-sungguh disenangi justru yang menggembirakan sebagai rutin), terpisah dari lingkungan biara sifat biarawan cepat menghilang.  Maka untuk menguji lingkungan yang lain, dengan nilai-nilai yang lain; tanggungjawab dan inisiatifnya ditantang; ia diberi kesempatan untuk menunjukkan ”hidungnya” dengan tidak terlalu diatur, dan sebagainya.

Tentu nilai-nilai dapat berkembang. Di bidang estetik pun begitu. Di bawah bimbingan seorang guru apresiasi seni otentik seorang murid dapat menjadi lebih luas dan lebih mendalam: bukannya karena ia mau seperti gurunya saja, melainkan karena guru berhasil untuk menularkan apresiasinya sendiri kepada murid. Begitu pula dalam bidang-bidang lain, cita-cita dan sikap-sikap muridnya. Namun untuk itu cita-cita dan nilai-nilai yang tidak otentik lama-lama harus dibongkar. Artinya, orang harus mengerti apa yang sebenarnya dinilainya tinggi dan apa yang sebenarnya tidak disukainya. Ia harus jujur terhadap dirinya sendiri. Ia harus berani untuk melihat dengan terbuka situasinya, kekuatan dan kelemahannya, apa yang disenangi dan tidak disenangi dengan sebenarnya dan bukan apa yang diharapkannya disenanginya dan tidak disenanginya. Ia harus berani untuk menentukan sikapnya sendiri, sesuai dengan penilaiannya terhadap situasi yang dihadapinya. Dan ia harus berani untuk menunjukkan diri secara otentik kepada lingkungannya. Jadi ia tidak lagi menunjukkan diri sebagaimana ia mengira bahwa lingkungan mengharapkan ia menunjukkan diri, melainkan sesuai dengan kediriannya yang sesungguhnya. Jadi ia berani muncul di panggung masyarakat, ia sendiri, dan bukan jiplakan harapan masyarakat yang sering sekali juga bukan harapan masyarakat, melainkan apa yang dibayangkannya bahwa diharapkan masyarakat dari padanya.

4.  Kesediaan untuk bertanggung jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Itu, pertama, berarti kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada pamrih kita. Karena kita terlibat pada pelaksanannya, perasaan-perasaan seperti malas, wegah, takut, atau malu tidak mempunyai tempat berpijak. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah di mana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita emong, kita pelihara, kita selesaikan dengan baik, bahkan andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

Kedua, dengan demikian sikap bertanggung jawab mengatasi segala etika peraturan. Etika peraturan hanya mempertanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak. Sedangkan sikap bertanggung jawab merasa terikat pada yang memang perlu. Ia terikat pada nilai yang mau dihasilkan. Misalnya seorang pembantu rumah tangga yang berhak untuk pergi sesudah jam 18.00, tetapi tetap menjaga anak tuan rumah sampai mereka pulang meskipun lewat jam 18.00. Orang yang bertanggung jawab seperlunya akan melanggar peraturan kalau kelihatan tidak sesuai dengan tuntutan situasi. Kalau pembantu itu melihat bahwa mobil tuan rumah di garasi masih jalan mesinnya, dan ia tidak dapat masuk ke garasi, ia akan membangunkan dia, meskipun ia dilarang mengganggunya antara jam 16.00-18.00.

Ketiga, dengan demikian wawasan orang yang bersedia untuk bertanggung jawab secara prinsipil tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan. Ia bersedia untuk mengerahkan tenaga dan kemampuan di mana ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif. Apabila tetangganya dirampok, ia tidak bersikap masa bodoh, melainkan segera menghubungi polisi. Apabila ia melihat kecelakaan, ia tidak pergi karena itu ”bukan urusannya”, melainkan mendekati dan memeriksa bagaimana ia dapat menolong.

Keempat, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai atasan ia, dengan hubungan dengan pihak luar, bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atau suatu keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung jawab adalah seorang bawahan.

Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.

5.  Kemandirian modal

Keutamaan ketiga yang perlu kita capai apabila kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian modal. Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam, maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi pendirian kita.

Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat ”beli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

6.  Keberanian moral

Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral. Maka kemandirian terutama merupakan keutamaan intelektual atau kognitif. Sebagai ketekadan dalam bertindak sikap mandiri disebut kemandirian moral.

Kemandirian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibikin merasa malu, dicela, ditentang atau diancam oleh yang banyak, oleh orang yang kuat-kuat dan mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya kita segani. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Keberanian moral kelihatan dalam pegawai perusahaan yang tidak mau ikut berkorupsi, meskipun karena itu ia dukucilkan; dalam keberanian seorang Satpam untuk menolak gubernur kepala daerah untuk wilayah tertutup sebuah pabrik kalau gubernur itu tidak dapat membuktikan identitasnyal; dalam pembelaan terhadap seorang rekan yang difitnah oleh atasan; dalam penolakan seorang insinyur kecil untuk ikut menandatangani laporan pemeriksaan kelaikan mesin pesawat terbang yang oleh pemeriksa-pemeriksa lain dianggap baik, tetapi ia sendiri tahu bahwa pemeriksaan tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan  diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau itu berarti mengkrompomikan kebenaran dan keadilan.

Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mengecewakan dia. Ia merasa lebih mandiri. Ia bagaikan batu karang di tengah-tengah sungai yang tetap kokoh dan tidak ikut arus. Ia memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat kezaliman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa.

7.  Kerendahan hati

Keutamaan terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang mantap adalah kerendahan hati. Barangkali orang akan bertanya mengapa di sini justru mencul kerendahan hati? Kalau kita mendegar kata kerendahan hati, yang biasanya terbayang adalah sikap orang yang tidak berani, cepat-cepat mengalah kalau berhadapan dengan orang yang berkedudukan tinggi, suka menjilat, tidak sanggup mengambil dan membela suatu pendirian, merendahkan diri dan lain sebagainya.

Akan tetapi, sikap-sikap ini tidak ada sangkut pautnya dengan kerendahan hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain padanya bersifat kebetulan saja. Ia sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya terbatas. Tetapi ia telah menerima diri. Ia tidak gugup atau sedih karena ia bukan seorang manusia super. Maka ia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya.

Justru karena itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan yang sulit dipertahankan kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya ”ketahuan”. Ia sendiri sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya.

Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Jadi bahwa penilaian kita masih jauh dari sempurna karena hati kita belum jernih. Oleh karena itu kita tidak akan memutlakkan pendapat moral kita. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala-galanya dan bahwa penilaian moral kita sering digelapkan oleh pengaruh emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita.
Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan dan tidak berani untuk membuka diri dalam dialog kritis. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari pamrih dalam keberanian. Tidak pernah kita menyesuaikan diri dengan suatu desakan atau tekanan untuk melakukan sesuatu yang kita yakini akan merugikan orang lain atau bertentangan dengan tanggung jawab kita. Tetapi kita sadar bahwa penilaian kita terbatas. Maka kita tidak memutlakkannya. Apabila situasinya memang sebenarnya belum begitu jelas, atau dalam hal-hal yang kurang penting atau yang hanya menyangkut diri kita sendiri saja, kita bersedia untuk menerima, menyetujui dan kemudian mendukung pendapat orang lain. Kita tidak merasa kalah, kalau pendapat kita tidak menang.

Justru orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

8.  Realistik dan kritis

Saya mau menutup buku ini dengan mengajukan bahasan dua sikap yang tidak pertama-tama menyangkut hati kita, melainkan pendekatan intelektual. Itu sesuai dengan ciri khas etika sebagai refleksi kritis atas fenomen moralitas. Dua sikap ini adalah sikap realistik dan kritis.

Manusia yang kita hormati dan sesama terhadapnya kita mau bersikap baik bukan ”si manusia”, melainkan pelbagai orang yang berada dalam jangkauan pengaruh tindakan kita, dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuannya, dengan kelemahan-kelemahan dan harapan-harapan mereka. Terhadap mereka itu kita dipanggil untuk bertanggung jawab.

Dan karena orang-orang itu oral real dalam dunia yang real pula, tanggung jawab kita harus real juga. Kita wajib membuka mata lebar-lebar terhadap realitas. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Siapa yang selalu bertindak menurut ”cita-cita luhur” berada dalam bahaya akan mengorbankan orang yang nyata demi cita-citanya. Cita-cita luhur dapat menjadi kedok untuk melarikan diri dari tanggung jawab yang nyata.

Apabila yang menjadi kebutuhan orang dan masyarakat yang real hanya dapat diketahui dari realitas itu sendiri. Teori moral hanya menyediakan tiga prinsip dasar. Segala norma lainnya kurang lebih hanya merupakan contoh bagaimana prinsip-prinsip dasar itu dapat diterapkan kepada realitas. Sebagai cetusan pengalaman masyarakat norma-norma itu perlu diperhatikan tetapi tidak langsung mengikat dengan mutlak. Kewajiban-kewajiban yang konkret tak dapat diketahui hanya dari buku etika, dari daftar kewajiban dalam buku-buku agama, dari perasaan suci kita sendiri, dari penentuan penguasa atau atas dasar ilham-ilham yang khusus. Tak ada jalan lain kecuali membuka mata terhadap orang-orang yang nyata.

Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang dapat lebih bahagia. Prinsip-prinsip moral dasar adalah norma kritis yang kita letakkan pada keadaan.

Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak boleh menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap wewenang harus sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syarat-syarat agar semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia boleh dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis. Peraturan-peraturan itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan mengarahkan hidup masyarakat kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih berfungsi demikian ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang justru tidak adil dan malahan membawa penderitaan?

Tanggung jawab moral yang nyata menuntut sikap realistik dan kritis. Pedomannya ialah untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar dari anggota-anggota untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.


5 komentar:

  1. wooooo.... :O .... menyentuh batin....
    banyak yg jdi hrs sya perbaiki pada diri ini
    tULisan yg Luar Biasa.......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, terima kasih.. Semoga bermanfaat ya.. :)

      Hapus
    2. ini kayaknya dari buku Frans Magnis Suseno... benarkah???

      Hapus