Sabtu, 08 Oktober 2011

Teori Belajar Humanisme dan Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral Peserta Didik


JURNAL BELAJAR 6

Nama               : Linda Tri Antika
NIM                : 209341417443
Kelas               : AA
Matakuliah      : Belajar dan Pembelajaran
Dosen              : Dr. Hj. Sri Endah Indriwati, M.Pd
Jam/ Ruang     : 03 – 04 dan 07 – 08 SPA 307
Hari,  Tanggal : Senin-Selasa, 3-4 Oktober 2011
Jurnal ke-         : 7
Konsep            : Teori Belajar Humanisme dan Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral Peserta Didik.

1.        EKSPLORASI KONSEP YANG DIPELAJARI DAN INFORMASI/ KONSEP YANG DITERIMA DARI DOSEN/ HASIL PRESENTASI

a)        26 September 2011
·      Teori Belajar Humanisme
Humanisme mempunyai tujuan untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya (Afif, 2010).
Tujuan utama pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, dengan cara membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.

Tokoh-Tokoh Teori Humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanisme secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.
1)      Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku peserta didik dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan peserta didik yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa  peserta didik untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

2)      Maslow
1.      suatu usaha yang positif untuk berkembang
2.      kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar peserta didik belum terpenuhi.
a.       Kebutuhan Jasmaniah
b.      Kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih
c.       Kebutuhan Harga Diri
d.      Kebutuhan Aktualisasi Diri
e.       Kebutuhan Estetis

Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1.      Kognitif (kebermaknaan)
2.      experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke  dalam pengetahuan terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan peserta didik. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan peserta didik secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh peserta didik sendiri, dan adanya efek yang membekas pada peserta didik.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1.      Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Peserta didik tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2.      Peserta didik akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik
3.      Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik.
4.      Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanisme yang penting diantaranya ialah :
a.       Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.      Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c.       Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.      Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.       Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.       Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.
g.      Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h.      Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.        Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.        Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.

a.        27 September 2011
·      Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral Peserta Didik
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :

Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.

Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan.
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.

Tahap II. Individualisme dan Tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.

Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.

Tahap IV. Moralitas Sistem Sosial
Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.

Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.

Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.

Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :

Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Yang mana di masa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.

Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.

Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan Kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.

Tingkat Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.

Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik
· Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
· Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak. Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.

Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
· Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan.
·    Hukum harus ditaati oleh semua orang.

Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
· Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial.
· Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
· Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-alasan tertentu.

Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika
· Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.
· Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.

2.        HASIL EKSPLORASI
a)   Teori Belajar Humanisme
Model Humanis Klasik menurut Dr.Engkoswara (1984) dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Metodologi Pengajaran.
            Pola humanisme  merupakan sesuatu yang sangat formal. Broudy (1963) menggambarkan pola ini sebagai “master method” yang menekankan kepada penguasaan mengorganisasi bahan pelajaran, metode dan lain-lainnya sebagai suatu system yang diragam. Manusia terdidik menurut pola ini adalah manusia berbudaya sebagai manusia yang berbahagia dalam berbagai dunia kehidupan, misalnya dagang, music, melukis, dan membaca.
Tujuan instrksional dalam pola ini adalah penguasaan kecakapan yang tinggi, seperti lancer berbicara, menulis, menganalisa, dan mengkritik.
Sehubungan dengan pola ini, kurikulum merupakan standar. Seleksi bakat sangat dipentingkan terlepas apakah anak-anak itu berasal dari golongan kaya, miskin, berkedudukan, atau orang biasa. Pola ini sangat menekankan pula prosedur mengajar yang baik dengan menggunakan penilaian yang cermat sehingga siswa benar-benar memiliki kualitas tinggi.

Belajar Menurut Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar humanistik lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, manusia yang humanis, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan ungkapan lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Pembelajaran yang dikembangkan berpijak pada teori belajar humanistik memiliki ciri-ciri humanis, yaitu untuk mencapai kemanusiaan transprimordial berupa kemampuan untuk menghormati martabat, keutuhan dan hak-hak asasi sesama manusia tidak pandang apakah ia termasuk golongan primordial suku, daerah, agama, bangsa sendiri atau lainnya. Diantara nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran adalah kemampuan untuk menerima pluralisme, yaitu kemampuan untuk hidup berdampingan dan tak tertekan dalam persaudaraan dari budaya, adat-istiadat, agama, dan gaya hidup yang berbeda. Sikap toleran dan fairness yaitu kesediaan untuk mengukur orang lain dengan ukuran yang dipakai bagi dirinya sendiri, serta untuk mengukur diri sendiri dengan ukuran yang digunakan untuk mengukur orang lain. Menghindari pemecahan konflik dengan cara kekerasan dan berupaya untuk bersikap lebih santun.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau“Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi nilai-nilai kehidupan yang bermakna. Nilai-nilai kehidupan yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan dan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi sikap dan nilai-nilai baru ke dalam struktur kognitif serta kepribadian yang telah dimilikinya.
Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar sebagai manusia yang transprimordial secara optimal. Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia secara transprimordial. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu akan ada kebaikan dan
ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai yaitu menjadikan manusia transprimordial.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi, keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia yang transprimordial bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.

Ciri Teori Belajar Humanisme
Ciri humanisme adalah Tuhan sebagai pusat norma tertinggi ditinggalkan orang. Cita-cita manusia dicari pada manusia sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan, keindahan, dicari dan didapatkan pada manusia pula.

Ciri-ciri khusus teori belajar humanisme :

1.      Mementingkan manusia sebagai pribadi

2.      Mementingkan kebulatan pribadi

3.      Mementingkan peranan kognitif dan afektif

4.      Mengutamakan terjadinya aktualisasi diri dan self concept

5.      Mementingkan persepsual subjektif yang dimiliki tiap individu

6.      Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah laku sendiri

7.      Mengutamakan insight (pengertian) (Suprayogi, 2005).


Implikasi Teori Belajar Humanistik
Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas si fasilitator.  Guru/ pendidik merupakan fasilitator, pembimbing yang menjadi mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah pedagogik pembebasan (Tilaar, 2000:44),  ialah pedagogik yang memberdayakan peserta didik dalam rangka membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Dalam koteks ini, pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasi manusia.

Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Sekaitan dengan itu, proses pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan agar potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan fitrahnya, peserta didik dapat menyumbangkan kemampuannya untuk pengembangan dirinya, pengembangan masyarakat, dan seterusnya untuk negaranya, serta kehidupan umat manusia pada umumnya. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk):

a.       Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
b.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.       Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d.      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e.       Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.       Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
g.      Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik yang lain.
h.      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik
i.        Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j.        Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Peserta Didik
            Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
            Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
            Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1.      Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2.      Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas,  jujur dan positif.
3.      Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri
4.      Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5.      Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6.      Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7.      Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8.      Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestapeserta didik
9.      Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

Pandangan Humanisme dalam Pendidikan Nilai
Humanisme harus dipahami sebagai suatu keyakinan etis yang secara langsung mengandung sikap etis praktis yang sesuai, yaitu suatu keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati sebagai persona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya. Setiap orang dihormati tidak karena ia pintar atau bodoh, baik atau buruk, dari mana daerah asal-usulnya, komunitas etnik
atau umat beragama mana, dan apakah ia seorang laki-laki atau perempuan.
Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitas personalnya, dengan keyakinan keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya. Humanisme berarti suatu pandangan atau perspektif dimana hormat dasar yang diberikan kepada orang lain tidak tergantung dari ciri-ciri atau kemampuan-kemampuannya, melainkan semata-mata dari kenyataan bahwa dia adalah seorang manusia. Oleh sebab itu, tindakan yang buruk atau kejahatan terhadap orang lain merupakan kekejaman yang jauh dari nilai humanis.
Tidak bersikap kejam berarti tidak pernah membuat orang lain merasa sakit, dengan tidak melukai orang lain secara fisik maupun merendahkannya secara psikis. Yang penting bagi seorang humanis adalah tidak perlu ada alasan teoretis untuk tidak bersikap kejam (Magnis- Suseno, 2001).
Humanisme juga diartikan sebagai solidaritas berprinsip dengan orang lain apapun kondisi orang tersebut, dan bahwa orang lain mudah terluka. Suatu kemampuan untuk melihat dan merasakan kondisi orang lain tanpa memandang sekat-sekat primordial dan sosialnya. Penolakan terhadap ketidakadilan, fairness dan cinta keadilan adalah sikap berprinsip yang mewarnai seseorang dalam seluruh dimensi hidupnya. Ini berarti, humanisme tidak terikat pada batas-batas ideologi, agama atau legitimasi-legitimasi teoritis lain (Magnis-Suseno, 2001).
Magnis-Suseno menggambarkan pribadi yang humanis adalah pribadi yang memiliki sikap-sikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan.
Bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan orang lain. Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak menyetujuinya, dan mampu melihat yang positif di balik perbedaan.
Di tingkat institusi-institusi, humanisme menuntut terciptanya lembaga-lembaga yang menjaga dan menghormati sikap-sikap di atas. Aspek-aspek penting yang perlu diciptakan dalam institusi-institusi kelembagaan yang humanis adalah; 1) menjunjung persamaan hak dan hak-hak asasi manusia, 2) sistem hukum yang  menjamin bahwa setiap orang tanpa diskriminasi memiliki akses ke jaminan hukum yang sama dan diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, 3) sebuah kerangka hukum dan politik yang terarah pada pencapaian keadilan sosial, solidaritas bagi anggota-anggota masyarakat yang paling lemah. Dengan ungkapan lain, institusi yang humanis memiliki kerangka hukum atau aturan serta konstitusional yang inklusif, yang tidak berdasarkan pada pandangan satu golongan atau kelompok saja, melainkan yang dapat diterima oleh semua golongan atau kelompok sebagai anggota institusi, sehingga mereka merasa sejahtera tanpa takut terancam identitas dan kekhasan masing-masing.

b)   Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral Peserta Didik

Teori Perkembangan Kepribadian menurut Sullivan
Proses akulturasi merupakan kerangka dari konsep Sullivan mengenai perkembangan kepribadian. Sullivan mengemukakan suatu pandangan yang lebih bersifat psikologi-sosial tentang perkembangan kepribadian yaitu suatu pandangan dimana pengaruh-pengaruh yang unik dari hubungan-hubungan manusia diberi peran yang semestinya, yang menempatkan faktor sosial menentukan perkembangan psikologis.
Sullivan tidak menolak faktor-faktor fisiologis sebagai hal yang menentukan perkembangan kepribadian, sebab ia berpendapat bahwa kadang-kadang pengaruh-pengaruh sosial yang berlawanan dengan kebutuhan fisiologis seseorang bisa menyebabkan pengaruh yang merugikan kepribadiannya.
Tema sentral teori Sullivan berkisar pada ansietas dan menekankan bahwa masyarakat sebagai pembentuk kepribadian. Sullivan mengemukakan bahwa setiap pribadi membutuhkan adanya hubungan antar pribadi. Hubungan antar pribadi ini merupakan sumber perkembangan pribadi. Maka, salah satu ciri dari kepribadian yang sehat adalah kemampuannya untuk menjalin hubungan antar pribadi. Ciri lainnya yaitu kemampuan untuk mengadakan personifikasi diri secara tepat yang dibangun atas dasar relasi-relasi antar pribadi. Setiap pribadi memiliki konsep diri yang terbentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman khasnya dalam hubungan relasinya dengan orang-orang atau dengan dirinya sendiri. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah :
1.    Pengalaman prototasik yaitu rangkaian peristiwa yang terpisah-pisah yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contoh : pengalaman pada bayi.
2.    Pengalaman parataksik yaitu pengalaman yang tampaknya mempunyai hubungan kausal (sebab-akibat) tetapi tidak mengalami hubungan yang logis. Contoh : supir yang mengendarai mobil dan menabrak kucik akan mengalami nasib sial.
3.    Pengalaman sintaksik yaitu pengalaman yang melahirkan bentuk pemikiran tertinggi yang dapat dicapai individu manusia dengan kesepakatan kelompok orang dan berdasarkan susunan logis melahirkan sesuatu. Contoh : kesepakatan masyarakat terhadap huruf-huruf dan angka-angka.
Sullivan mengemukakan bahwa diri adalah isi dari kesadaran pada setiap saat jika orang benar-benar senang dengan perasaan harga dirinya, prestise yang diperolehnya di antara sesamanya, serta penghargaan dan hormat yang diberikan mereka kepadanya.

Tahapan Perkembangan Menurut Sullivan
Menurut Sullivan, kepribadian berkembang dalam tahap-tahap perkembangan tertentu. Ada tujuh tahapan perkembangan yaitu :
1. Infancy (masa kelahiran sampai mampu berbicara, usia 18 bulan)
2. Childhood (masa kanak-kanak, usia 18 bulan sampai 5 tahun)
3. Juvenile (usia 5-11 tahun)
4. Preadolescence (masa pradewasa, antara 11-13 tahun)
5. Early adolescence (masa dewasa awal, antara 14-17 tahun)
6. Late adolescence (masa dewasa akhir, antara 18-20 akhir)
7. Adulthood (masa dewasa / sebagai orang tua, setelah usia 20 sampai 30 tahun).

Makna Perkembangan Moral
Perkembangan sosial merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan.
Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam dunia psikologi belajar terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan sosial ini paling menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah :
1.    Aliran teori Cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
2.    Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters.
Para tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitian yang mana pada penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg.

Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.

3.        HUBUNGAN YANG BERKAITAN DENGAN KONSEP
1)   Tujuan utama pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, dengan cara membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
2)   Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
3)   Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1.    Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2.    Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3.    Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
4)   Nilai-nilai kehidupan itu beraneka ragam, namun pada dasarnya ia hanya terbagi menjadi dua bagian besar yaitu nilai kebaikan dan nilai keburukan.

4.     MASALAH DAN SOLUSI
A.      MASALAH
1.    Bagaimana strategi pembelajaran nilai yang humanis?
2.    Jika kita akan menggunakan faham humanisme, metode atau teori apa yang cocok untuk digunakan dalam pembelajaran?
3.    Bagaimana sikap guru terhadap peserta didiknya dalam humanisme?
4.    Usia remaja adalah usia di mana seseorang mencari identitas dirinya. Bagaimanakah mengembangkan nilai,moral dan sikap pada remaja?

B.       SOLUSI
1.        Strategi Pembelajaran Nilai yang Humanis
Penggunaan strategi pembelajaran untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan /atau kebangsaan, pemilihan materi pembelajaran supaya dipusatkan pada suatu rangkaian masalah-masalah kemanusiaan yang harus didiskusikan bersama antara guru dan siswa. Masalah-masalah tersebut dipilih untuk menimbulkan konflik-konflik kognitif, yakni rasa tidak puas mengenai apa yang benar dan menimbulkan perbedaan pendapat yang merangsang aktifitas berfikir di antara siswa. Guru menciptakan diskusi di antara siswa pada tingkat kemampuan yang berbeda. Guru mendukung dan menjelaskan argumen-argumen yang dikemukakan oleh siswa, kemudian menjelaskan argumentasi yang berada satu tahap lebih baik. Guru menantang dengan menggunakan situasi-situasi baru dan menjelaskan semua argumen dari satu tahap yang melampaui tahap sebelumnya, demikian seterusnya.
Di Sekolah, pendekatan humanisme menuntut terciptanya iklim pembelajaran yang menghormati dan menjunjung persamaan hak, peraturan yang menjamin bahwa setiap siswa tanpa diskriminasi memiliki akses ke jaminan hukum yang sama dan diperlakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, ada upaya terarah pada pencapaian keadilan sosial, solidaritas bagi anggotaanggota masyarakat sekolah yang paling lemah. Dengan ungkapan  lain, institusi pendidikan yang humanis memiliki kerangka aturan serta konstitusional yang inklusif, yang tidak berdasarkan pada pandangan satu golongan atau kelompok saja, melainkan yang dapat diterima oleh semua anggota dari golongan atau kelompok manapun sebagai anggota institusi, sehingga mereka merasa sejahtera tanpa takut terancam identitas dan kekhasan masing-masing.
Guru yang humanis memiliki sikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, melihat berbagai kemungkinan. Bersikap positif terhadap siswa, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan siswa.
Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan siswa walaupun ia sendiri kurang menyetujuinya, serta mampu melihat yang positif di balik perbedaan. Pendidikan nilai yang humanis akan tercipta jika sekolah memfasilitasi tindakan-tindakan kemanusiaan secara nyata bagi seluruh warganya. Program ini dapat dilakukan secara terjadwal, misalnya dalam semester, bulanan, maupun mingguan.
Tercapainya misi pendidikan demikian berkaitan erat dengan kurikulum, penyediaan sarana, buku teks, media/sumber belajar dan pendekatan pembelajaran. Kurikulum formal dijabarkan ke dalam kurikulum instruksional berupa seperangkat skenario pembelajaran pada jam-jam pertemuan sebagai bentuk implementasi kurikulum. Interaksi pembelajaran yang tergelar dalam sesi-sesi pembelajaran sebagai kurikulum eksperiensial berkaitan dengan apa yang dikerjakan guru, apa yang dikerjakan siswa, dan bagaimana interaksi keduanya. Pengalaman belajar tidak sebatas mengacu pada GBPP, namun lebih pada proses keterbentukan berbagai pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang tersurat dan tersirat sebagai tujuan utuh pendidikan (R.Joni,2007). Perspektif perkembangan siswa penting sebagai kerangka pikir pembelajaran (developmentally appropriate practice) (Gardner, 1995; R. Joni, 2007).
Untuk itu, pembelajaran semestinya dilakukan sesuai dengan taraf perkembangan siswa dengan menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik. Strategi pembelajaran integrated learning, cooperative learning, pembelajaran berpijak pada konsep awal siswa, melalui penilaian portofolio, melakukan refleksi, semua ini sangat dianjurkan dalam strategi pembelajaran yang humanis. Pembelajaran demikian disamping mampu mencapai tujuan pembelajaran (instructional effects), tujuan ikutan (nurturants effects) yang berupa pengembangan nilai juga dapat dicapai (Joyce & Weil, 1992).
Saya sangat setuju dengan pendapat penulis di atas bahwa seharusnya dalam pembelajaran haruslah menjunjung tinggi hak asasi manusia, masing-masing pribadi peserta didik memiliki asasi dan kemauan sendiri-sendiri. Penulisan jurnal belajar harian sangat penting dalam pembelajaran agar gur dapat mengetahui perkembangan belajar peserta didiknya, sehingga jika ada siswa yang di dalam jurnalnya mengatakan bahwa dirinya belum mengerti seharusnya sebagai seorang guru, harus memberikan pelayanan terhadap siswa untuk menjelaskan hal yang kurang dimengerti.

2.        Dalam Humanisme, Teori Belajar Apapun Dapat Dimanfaatkan
Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar sebagai manusia yang transprimordial secara optimal. Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia secara transprimordial. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu akan ada kebaikan dan
ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai yaitu menjadikan manusia transprimordial.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.

3.        Sikap Guru Terhadap Peserta Didik dalam Humanisme
Guru/penddik merupakan fasilitator, pembimbing yang menjadi mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah pedagogik pembebasan
(Tilaar, 2000:44), ialah pedagogik yang memberdayakan peserta didik dalam rangka membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Dalam koteks ini, pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasi manusia. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Sekaitan dengan itu, proses pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan agar potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan fitrahnya, peserta didik dapat menyumbangkan kemampuannya untuk pengembangan dirinya, pengembangan masyarakat, dan seterusnya untuk negaranya, serta kehidupan umat manusia pada umumnya.
            Saya sependapat dengan solusi di atas bahwa siswa bukanlah robot yang bisa dikontrol semaunya. Siswa adalah manusia yang memiliki perasaan yang perlu dihargai. Dalam pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga potensi yang dimilikinya membantu dalam proses pendewasaannya sekaligus.

4.        Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Dalam (Ardika, dkk. 2009) dijelaskan bahwa perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu mencapai pengembangan nilai-nilai hidup, perkembangan moraldan tingkah laku seperti yang diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan sikap remaja adalah berikut:
a)        Menciptakan komunikasi. Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan.
b)        Menciptakan iklim lingkungan yang serasi. Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara positif,jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri,kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini. Nilai nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang bersifat serba membatasi.

5.        ELEMEN YANG MENARIK
1.         Teori belajar humanisme berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
2.         Teori belajar humanistik lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, manusia yang humanis, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
3.         Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
4.         Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg, ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
5.         Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.

6.        REFLEKSI DIRI
Saya sangat menyukai materi minggu ini mengenai teori belajar humanisme dan perkembangan kepribadian, sosial, dan perkembangan moral. Teori belajar humanisme yang membuat saya sadar bahwa jika saya menjadi guru, haruslah memanusiakan peserta didik yang saya ajar, yakni mengakui hak-hak asasi mereka serta menghargainya karena mereka bukanlah robot ang bisa dikontrol semaunya. Selain itu, perkembangan kepribadian, sosial, dan moral juga harus saya pahami betul sebagai seorang pendidik. Hal ini terutama untuk memberikan tuntunan kepada mereka dalam menjalani proses kedewasaannya. Selain tiu, pemahaman tersebut juga berguna untuk mengenali perkembangan pribadi, sosial, dan moralnya, sehingga jika saya menemukan bebrapa siswa saya yang perkembangan pribadi, sosial, dan moralnya terganggu sudah seyogyanya saya harus memberikan ”jalan” kepada peserta didik saya dalam proses perkembangannya tersebut. Hal ini sebagai bekal saya kelak saat menjadi guru/ dosen. Semoga bermanfaat. Amiin.. ^^

1 komentar: