JURNAL BELAJAR 6
Nama :
Linda Tri Antika
NIM :
209341417443
Kelas :
AA
Matakuliah :
Belajar dan Pembelajaran
Dosen :
Dr. Hj. Sri Endah Indriwati, M.Pd
Jam/ Ruang : 03
– 04 dan 07 – 08 SPA 307
Hari, Tanggal : Senin-Selasa, 3-4 Oktober 2011
Jurnal ke- :
7
Konsep : Teori Belajar Humanisme dan
Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral Peserta Didik.
1.
EKSPLORASI KONSEP YANG DIPELAJARI DAN INFORMASI/ KONSEP
YANG DITERIMA DARI DOSEN/ HASIL PRESENTASI
a)
26 September 2011
·
Teori Belajar Humanisme
Humanisme mempunyai tujuan untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus
berusaha agar ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori
belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,
bukan dari sudut pandang pengamatnya (Afif, 2010).
Tujuan utama pendidik adalah membantu peserta
didik untuk mengembangkan
dirinya, dengan cara membantu masing-masing individu untuk mengenal diri
mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Tokoh-Tokoh Teori
Humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanisme secara
teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.
1)
Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka
mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti)
adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti
bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak
relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan
karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya
tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu
sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku peserta didik
dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut sehingga apabila
ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan
peserta didik yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa
peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu.
Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa
peserta didik untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi
pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang
seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran
kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah
persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin
berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai
sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
2)
Maslow
1.
suatu usaha yang positif untuk berkembang
2.
kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan
takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi
di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah
keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah
kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima
diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia
menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama,
seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang
terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau
kebutuhan dasar peserta didik belum terpenuhi.
a.
Kebutuhan Jasmaniah
b.
Kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih
c.
Kebutuhan Harga Diri
d.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
e.
Kebutuhan Estetis
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1.
Kognitif (kebermaknaan)
2.
experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungkan pengetahuan akademik
ke dalam pengetahuan terpakai seperti
mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning
menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan peserta didik. Kualitas belajar
experiential learning mencakup : keterlibatan peserta didik secara personal,
berinisiatif, evaluasi oleh peserta didik sendiri, dan adanya efek yang
membekas pada peserta didik.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran
adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran,
yaitu:
1.
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar
untuk belajar. Peserta didik tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada
artinya.
2.
Peserta didik akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi
dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan
ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta didik
3.
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi peserta
didik.
4.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti
belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan
sejumlah prinsip-prinsip dasar humanisme yang penting diantaranya ialah :
a.
Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran
dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi
mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah
dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin
kecil.
e.
Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah,
pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan
terjadilah proses belajar.
f.
Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan
melakukannya.
g.
Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan
dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h.
Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta
didik seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat
memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan,
kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika peserta didik dibiasakan untuk
mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain
merupakan cara kedua yang penting.
j.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia
modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus
menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai
proses perubahan itu.
a.
27 September 2011
·
Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral Peserta Didik
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut
Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2
tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat
Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan
oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol
oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan
tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap
I. Orientasi hukuman dan ketaatan.
Yaitu
: tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas
hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap
II. Individualisme dan Tujuan
Pada
tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan
sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk
kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik
dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat
Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran
Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana
seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka
tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau
aturan-aturan masyarakat.
Tahap
III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu
: dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang
lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tahap
IV. Moralitas Sistem Sosial
Yaitu
: dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial,
hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat
Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas
benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang
lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap
V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu
: nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat
berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap
VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu
: seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada
hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik
antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin
bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia.
Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa
awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung
pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut
kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan
moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan
sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat
Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan
prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial. Yang mana di masa ini anak masih belum menganggap
moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada
tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap
1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan
anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan
kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut
Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman
akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan
penghindaran dari hukuman.
Tahap
2. Memperhatikan Pemuasan Kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan
keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat
Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase
perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial.
Pada
Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap
3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik
·
Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral
agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari
hukuman.
·
Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada
perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada
pendidikan anak. Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma
Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian,
dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan
moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap
4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
·
Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan.
· Hukum harus ditaati oleh semua orang.
· Hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat
Tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu
ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari
mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan
tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan
moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada
perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap
5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
·
Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa
mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan
sosial.
· Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
· Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
·
Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-alasan tertentu.
Tahap
6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika
·
Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial berdasarkan atas
prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras
dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.
·
Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun
sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan
sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri
obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan
kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri
itu sendiri.
2.
HASIL EKSPLORASI
a)
Teori Belajar Humanisme
Model
Humanis Klasik menurut Dr.Engkoswara (1984) dalam
bukunya yang berjudul Dasar-dasar Metodologi Pengajaran.
Pola humanisme merupakan sesuatu yang sangat formal. Broudy (1963)
menggambarkan pola ini sebagai “master method” yang menekankan kepada
penguasaan mengorganisasi bahan pelajaran, metode dan lain-lainnya sebagai
suatu system yang diragam. Manusia terdidik menurut pola ini adalah manusia
berbudaya sebagai manusia yang berbahagia dalam berbagai dunia kehidupan,
misalnya dagang, music, melukis, dan membaca.
Tujuan
instrksional dalam pola ini adalah penguasaan kecakapan yang tinggi, seperti
lancer berbicara, menulis, menganalisa, dan mengkritik.
Sehubungan dengan pola ini, kurikulum merupakan
standar. Seleksi bakat sangat dipentingkan terlepas apakah anak-anak itu
berasal dari golongan kaya, miskin, berkedudukan, atau orang biasa. Pola ini
sangat menekankan pula prosedur mengajar yang baik dengan menggunakan penilaian
yang cermat sehingga siswa benar-benar memiliki kualitas tinggi.
Belajar
Menurut Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus
dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh
sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati
bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang
kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang
dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar humanistik lebih
banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang
dicita-citakan, manusia yang humanis, serta tentang proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan ungkapan lain, teori ini lebih tertarik
pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman
tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji
oleh teori-teori belajar lainnya.
Pembelajaran yang dikembangkan berpijak pada
teori belajar humanistik memiliki ciri-ciri humanis, yaitu untuk mencapai
kemanusiaan transprimordial berupa kemampuan untuk menghormati martabat,
keutuhan dan hak-hak asasi sesama manusia tidak pandang apakah ia termasuk
golongan primordial suku, daerah, agama, bangsa sendiri atau lainnya. Diantara
nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran adalah kemampuan untuk
menerima pluralisme, yaitu kemampuan untuk hidup berdampingan dan tak tertekan
dalam persaudaraan dari budaya, adat-istiadat, agama, dan gaya hidup yang
berbeda. Sikap toleran dan fairness yaitu kesediaan untuk mengukur orang
lain dengan ukuran yang dipakai bagi dirinya sendiri, serta untuk mengukur diri
sendiri dengan ukuran yang digunakan untuk mengukur orang lain. Menghindari
pemecahan konflik dengan cara kekerasan dan berupaya untuk bersikap lebih
santun.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini
antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel.
Pandangannya tentang belajar bermakna atau“Meaningful Learning” yang
juga tergolong dalam aliran kognitif, mengatakan bahwa belajar merupakan
asimilasi nilai-nilai kehidupan yang bermakna. Nilai-nilai kehidupan yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan dan pemahaman yang
telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat
penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak
si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi sikap dan nilai-nilai baru ke
dalam struktur kognitif serta kepribadian yang telah dimilikinya.
Teori humanistik berpendapat bahwa teori
belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia
yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang
yang belajar sebagai manusia yang transprimordial secara optimal. Pemahaman
terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan
teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia secara
transprimordial. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar
tertentu akan ada kebaikan dan
ada pula
kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan
membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya.
Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai
yaitu menjadikan manusia transprimordial.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak
ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang
menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap
ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap
bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai
keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang
belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan
antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul
karena perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan
aksentuasi. Jadi, keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah
keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang berlainan.
Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan
cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk
memanusiakan manusia yang transprimordial bukan saja mungkin untuk dilakukan,
tetapi justru harus dilakukan.
Ciri
Teori Belajar Humanisme
Ciri
humanisme adalah Tuhan sebagai pusat norma tertinggi ditinggalkan orang.
Cita-cita manusia dicari pada manusia sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan,
keindahan, dicari dan didapatkan pada manusia pula.
Ciri-ciri khusus teori
belajar humanisme :
1.
Mementingkan manusia sebagai pribadi
2.
Mementingkan kebulatan pribadi
3.
Mementingkan peranan kognitif dan afektif
4.
Mengutamakan terjadinya aktualisasi diri dan self
concept
5.
Mementingkan persepsual subjektif yang dimiliki tiap
individu
6.
Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah laku
sendiri
7. Mengutamakan insight (pengertian) (Suprayogi, 2005).
Implikasi Teori Belajar
Humanistik
Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru
sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi
kemudahan belajar dan berbagai kualitas si fasilitator. Guru/ pendidik merupakan fasilitator,
pembimbing yang menjadi mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran.
Itulah pedagogik pembebasan (Tilaar, 2000:44), ialah pedagogik yang memberdayakan peserta
didik dalam rangka membangun masyarakat baru, yakni
masyarakat madani. Dalam koteks ini, pendidikan berarti suatu
proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasi manusia.
Anak didik bukanlah robot
tetapi manusia yang harus dibantu
di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Sekaitan dengan itu, proses
pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan
agar potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan
fitrahnya, peserta didik dapat menyumbangkan
kemampuannya untuk pengembangan dirinya, pengembangan masyarakat, dan seterusnya untuk negaranya,
serta kehidupan umat manusia pada
umumnya. Ini
merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk):
a. Fasilitator sebaiknya
memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau
pengalaman kelas
b. Fasilitator membantu untuk
memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga
tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c. Dia mempercayai adanya
keinginan dari masing-masing peserta didik untuk melaksanakan tujuan-tujuan
yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di
dalam belajar yang bermakna tadi.
d. Dia mencoba mengatur dan
menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan
para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e. Dia menempatkan dirinya
sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh
kelompok.
f. Di dalam menanggapi
ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat
intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara
yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
g. Bilamana cuaca penerima
kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai
seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan
turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik
yang lain.
h. Dia mengambil prakarsa
untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak
menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang
boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik
i.
Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang
menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j.
Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan
harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya
sendiri.
Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Peserta
Didik
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta
didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi
peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Peserta
didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai
proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi
diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi
diri yang bersifat negatif.
Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
1.
Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2.
Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui
kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.
3.
Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan
peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri
4.
Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis,
memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5.
Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan
pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan
menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6.
Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami
jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong
peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses
belajarnya.
7.
Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan
kecepatannya
8.
Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan
perolehan prestapeserta didik
9.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk
diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Peserta didik diharapkan menjadi
manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
Pandangan
Humanisme dalam Pendidikan Nilai
Humanisme harus dipahami sebagai suatu
keyakinan etis yang secara langsung mengandung sikap etis praktis yang sesuai,
yaitu suatu keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati sebagai persona,
sebagai manusia dalam arti sepenuhnya. Setiap orang dihormati tidak karena ia pintar
atau bodoh, baik atau buruk, dari mana daerah asal-usulnya, komunitas etnik
atau
umat beragama mana, dan apakah ia seorang laki-laki atau perempuan.
Humanisme berarti menghormati orang lain dalam
identitas personalnya, dengan keyakinan keyakinan, kepercayaan-kepercayaan,
cita-cita, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya. Humanisme berarti
suatu pandangan atau perspektif dimana hormat dasar yang diberikan kepada orang
lain tidak tergantung dari ciri-ciri atau kemampuan-kemampuannya, melainkan semata-mata
dari kenyataan bahwa dia adalah seorang manusia. Oleh sebab itu, tindakan yang
buruk atau kejahatan terhadap orang lain merupakan kekejaman yang jauh dari
nilai humanis.
Tidak bersikap kejam berarti tidak pernah
membuat orang lain merasa sakit, dengan tidak melukai orang lain secara fisik
maupun merendahkannya secara psikis. Yang penting bagi seorang humanis adalah
tidak perlu ada alasan teoretis untuk tidak bersikap kejam (Magnis- Suseno,
2001).
Humanisme juga diartikan sebagai solidaritas
berprinsip dengan orang lain apapun kondisi orang tersebut, dan bahwa orang
lain mudah terluka. Suatu kemampuan untuk melihat dan merasakan kondisi orang
lain tanpa memandang sekat-sekat primordial dan sosialnya. Penolakan terhadap
ketidakadilan, fairness dan cinta keadilan adalah sikap berprinsip yang
mewarnai seseorang dalam seluruh dimensi hidupnya. Ini berarti, humanisme tidak
terikat pada batas-batas ideologi, agama atau legitimasi-legitimasi teoritis
lain (Magnis-Suseno, 2001).
Magnis-Suseno
menggambarkan pribadi yang humanis adalah pribadi yang memiliki sikap-sikap
tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya maka mengambil sikap yang
wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan.
Bersikap positif terhadap sesama, tidak
terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna
kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme, kekerasan,
penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan orang lain.
Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang
lain termasuk jika ia tidak menyetujuinya, dan mampu melihat yang positif di
balik perbedaan.
Di tingkat institusi-institusi, humanisme
menuntut terciptanya lembaga-lembaga yang menjaga dan menghormati sikap-sikap
di atas. Aspek-aspek penting yang perlu diciptakan dalam institusi-institusi
kelembagaan yang humanis adalah; 1) menjunjung persamaan hak dan hak-hak asasi
manusia, 2) sistem hukum yang menjamin
bahwa setiap orang tanpa diskriminasi memiliki akses ke jaminan hukum yang sama
dan diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, 3) sebuah kerangka hukum dan
politik yang terarah pada pencapaian keadilan sosial, solidaritas bagi
anggota-anggota masyarakat yang paling lemah. Dengan ungkapan lain, institusi
yang humanis memiliki kerangka hukum atau aturan serta konstitusional yang
inklusif, yang tidak berdasarkan pada pandangan satu golongan atau kelompok
saja, melainkan yang dapat diterima oleh semua golongan atau kelompok sebagai
anggota institusi, sehingga mereka merasa sejahtera tanpa takut terancam identitas
dan kekhasan masing-masing.
b)
Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral Peserta Didik
Teori
Perkembangan Kepribadian menurut Sullivan
Proses
akulturasi merupakan kerangka dari konsep Sullivan mengenai perkembangan
kepribadian. Sullivan mengemukakan suatu pandangan yang lebih bersifat
psikologi-sosial tentang perkembangan kepribadian yaitu suatu pandangan dimana
pengaruh-pengaruh yang unik dari hubungan-hubungan manusia diberi peran yang
semestinya, yang menempatkan faktor sosial menentukan perkembangan psikologis.
Sullivan
tidak menolak faktor-faktor fisiologis sebagai hal yang menentukan perkembangan
kepribadian, sebab ia berpendapat bahwa kadang-kadang pengaruh-pengaruh sosial
yang berlawanan dengan kebutuhan fisiologis seseorang bisa menyebabkan pengaruh
yang merugikan kepribadiannya.
Tema
sentral teori Sullivan berkisar pada ansietas dan menekankan bahwa masyarakat
sebagai pembentuk kepribadian. Sullivan mengemukakan bahwa setiap pribadi
membutuhkan adanya hubungan antar pribadi. Hubungan antar pribadi ini merupakan
sumber perkembangan pribadi. Maka, salah satu ciri dari kepribadian yang sehat
adalah kemampuannya untuk menjalin hubungan antar pribadi. Ciri lainnya yaitu
kemampuan untuk mengadakan personifikasi diri secara tepat yang dibangun atas dasar
relasi-relasi antar pribadi. Setiap pribadi memiliki konsep diri yang terbentuk
berdasarkan pengalaman-pengalaman khasnya dalam hubungan relasinya dengan
orang-orang atau dengan dirinya sendiri. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah
:
1.
Pengalaman prototasik yaitu rangkaian peristiwa
yang terpisah-pisah yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Contoh : pengalaman pada bayi.
2.
Pengalaman parataksik yaitu pengalaman yang
tampaknya mempunyai hubungan kausal (sebab-akibat) tetapi tidak mengalami
hubungan yang logis. Contoh :
supir yang mengendarai mobil dan menabrak kucik akan mengalami nasib sial.
3.
Pengalaman sintaksik yaitu pengalaman yang
melahirkan bentuk pemikiran tertinggi yang dapat dicapai individu manusia
dengan kesepakatan kelompok orang dan berdasarkan susunan logis melahirkan
sesuatu. Contoh : kesepakatan masyarakat terhadap huruf-huruf dan angka-angka.
Sullivan mengemukakan bahwa diri adalah isi dari
kesadaran pada setiap saat jika orang benar-benar senang dengan perasaan harga
dirinya, prestise yang diperolehnya di antara sesamanya, serta penghargaan dan
hormat yang diberikan mereka kepadanya.
Tahapan
Perkembangan Menurut Sullivan
Menurut
Sullivan, kepribadian berkembang dalam tahap-tahap perkembangan tertentu. Ada
tujuh tahapan perkembangan yaitu :
1.
Infancy (masa kelahiran sampai mampu berbicara, usia 18 bulan)
2.
Childhood (masa kanak-kanak, usia 18 bulan sampai 5 tahun)
3.
Juvenile (usia 5-11 tahun)
4.
Preadolescence (masa pradewasa, antara 11-13 tahun)
5. Early
adolescence (masa dewasa awal, antara 14-17 tahun)
6. Late
adolescence (masa dewasa akhir, antara 18-20 akhir)
7.
Adulthood (masa dewasa / sebagai orang tua, setelah usia 20 sampai 30 tahun).
Makna
Perkembangan Moral
Perkembangan sosial merupakan proses perkembangan kepribadian
siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain.
Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan
merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam
masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya.
Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab
perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku
sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi
apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk
menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan.
Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses
perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar.
Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada
kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah,
keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar
sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang
selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral
yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam dunia psikologi belajar terdapat aneka ragam mazhab
(aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan moral. Diantara ragam
mazhab perkembangan sosial ini paling menonjol dan layak dijadikan rujukan
adalah :
1. Aliran teori Cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean
Piaget dan Lawrence Kohlberg.
2. Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert.
Bandura dan R.H Walters.
Para tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan
penelitian yang mana pada penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak
selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan
buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori
perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg.
Teori
Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral
didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam
Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar
hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun
melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak
diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan
terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2
tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya
teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku
yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara
internal.
3.
HUBUNGAN YANG BERKAITAN DENGAN KONSEP
1)
Tujuan utama pendidik adalah membantu peserta
didik untuk mengembangkan
dirinya, dengan cara membantu masing-masing individu untuk mengenal diri
mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
2)
Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang
harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
3)
Ada tiga tugas pokok remaja
dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1.
Mengganti konsep moral khusus
dengan konsep moral umum.
2.
Merumuskan konsep moral
yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3.
Melakukan pengendalian
terhadap perilaku sendiri.
4)
Nilai-nilai kehidupan itu
beraneka ragam, namun pada dasarnya ia hanya terbagi menjadi dua bagian besar
yaitu nilai kebaikan dan nilai keburukan.
4. MASALAH DAN SOLUSI
A.
MASALAH
1.
Bagaimana strategi pembelajaran nilai yang humanis?
2.
Jika kita akan menggunakan faham humanisme, metode atau
teori apa yang cocok untuk digunakan dalam pembelajaran?
3.
Bagaimana sikap guru terhadap peserta didiknya dalam
humanisme?
4.
Usia remaja adalah usia di mana seseorang mencari
identitas dirinya. Bagaimanakah mengembangkan nilai,moral dan sikap pada remaja?
B.
SOLUSI
1.
Strategi Pembelajaran Nilai yang Humanis
Penggunaan strategi pembelajaran untuk mengembangkan
nilai-nilai kemanusiaan dan /atau kebangsaan, pemilihan materi pembelajaran
supaya dipusatkan pada suatu rangkaian masalah-masalah kemanusiaan yang harus
didiskusikan bersama antara guru dan siswa. Masalah-masalah tersebut dipilih
untuk menimbulkan konflik-konflik kognitif, yakni rasa tidak puas mengenai apa
yang benar dan menimbulkan perbedaan pendapat yang merangsang aktifitas
berfikir di antara siswa. Guru menciptakan diskusi di antara siswa pada
tingkat kemampuan yang berbeda. Guru mendukung dan menjelaskan argumen-argumen
yang dikemukakan oleh siswa, kemudian menjelaskan argumentasi yang berada satu
tahap lebih baik. Guru menantang dengan menggunakan situasi-situasi baru dan
menjelaskan semua argumen dari satu tahap yang melampaui tahap sebelumnya,
demikian seterusnya.
Di
Sekolah, pendekatan humanisme menuntut terciptanya iklim pembelajaran yang
menghormati dan menjunjung persamaan hak, peraturan yang menjamin bahwa setiap
siswa tanpa diskriminasi memiliki akses ke jaminan hukum yang sama dan
diperlakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, ada upaya terarah pada
pencapaian keadilan sosial, solidaritas bagi anggotaanggota masyarakat sekolah
yang paling lemah. Dengan ungkapan lain,
institusi pendidikan yang humanis memiliki kerangka aturan serta konstitusional
yang inklusif, yang tidak berdasarkan pada pandangan satu golongan atau
kelompok saja, melainkan yang dapat diterima oleh semua anggota dari golongan
atau kelompok manapun sebagai anggota institusi, sehingga mereka merasa
sejahtera tanpa takut terancam identitas dan kekhasan masing-masing.
Guru
yang humanis memiliki sikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya
maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, melihat berbagai kemungkinan. Bersikap
positif terhadap siswa, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku,
bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme,
kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan siswa.
Sebaliknya,
ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan siswa walaupun ia
sendiri kurang menyetujuinya, serta mampu melihat yang positif di balik
perbedaan. Pendidikan nilai yang humanis akan tercipta jika sekolah
memfasilitasi tindakan-tindakan kemanusiaan secara nyata bagi seluruh warganya.
Program ini dapat dilakukan secara terjadwal, misalnya dalam semester, bulanan,
maupun mingguan.
Tercapainya
misi pendidikan demikian berkaitan erat dengan kurikulum, penyediaan sarana,
buku teks, media/sumber belajar dan pendekatan pembelajaran. Kurikulum formal
dijabarkan ke dalam kurikulum instruksional berupa seperangkat skenario
pembelajaran pada jam-jam pertemuan sebagai bentuk implementasi kurikulum.
Interaksi pembelajaran yang tergelar dalam sesi-sesi pembelajaran sebagai
kurikulum eksperiensial berkaitan dengan apa yang dikerjakan guru, apa yang
dikerjakan siswa, dan bagaimana interaksi keduanya. Pengalaman belajar tidak
sebatas mengacu pada GBPP, namun lebih pada proses keterbentukan berbagai
pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang tersurat dan tersirat sebagai
tujuan utuh pendidikan (R.Joni,2007). Perspektif perkembangan siswa penting
sebagai kerangka pikir pembelajaran (developmentally appropriate practice)
(Gardner, 1995; R. Joni, 2007).
Untuk
itu, pembelajaran semestinya dilakukan sesuai dengan taraf perkembangan siswa
dengan menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik. Strategi pembelajaran integrated
learning, cooperative learning, pembelajaran berpijak pada konsep awal
siswa, melalui penilaian portofolio, melakukan refleksi, semua ini sangat
dianjurkan dalam strategi pembelajaran yang humanis. Pembelajaran demikian
disamping mampu mencapai tujuan pembelajaran (instructional effects),
tujuan ikutan (nurturants effects) yang berupa pengembangan nilai juga
dapat dicapai (Joyce & Weil, 1992).
Saya
sangat setuju dengan pendapat penulis di atas bahwa seharusnya dalam
pembelajaran haruslah menjunjung tinggi hak asasi manusia, masing-masing
pribadi peserta didik memiliki asasi dan kemauan sendiri-sendiri. Penulisan
jurnal belajar harian sangat penting dalam pembelajaran agar gur dapat
mengetahui perkembangan belajar peserta didiknya, sehingga jika ada siswa yang
di dalam jurnalnya mengatakan bahwa dirinya belum mengerti seharusnya sebagai
seorang guru, harus memberikan pelayanan terhadap siswa untuk menjelaskan hal
yang kurang dimengerti.
2.
Dalam Humanisme, Teori Belajar Apapun Dapat Dimanfaatkan
Teori humanistik
berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk
memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta
realisasi diri orang yang belajar sebagai manusia yang transprimordial secara
optimal. Pemahaman
terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan
teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia secara
transprimordial. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar
tertentu akan ada kebaikan dan
ada pula
kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan
membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya.
Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai
yaitu menjadikan manusia transprimordial.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak
ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang
menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap
ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap
bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai
keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang
belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
3.
Sikap
Guru Terhadap Peserta Didik dalam Humanisme
Guru/penddik merupakan fasilitator,
pembimbing yang menjadi mitra didik peserta didik di dalam kegiatan
pembelajaran. Itulah pedagogik pembebasan
(Tilaar, 2000:44), ialah pedagogik yang
memberdayakan peserta didik dalam rangka membangun masyarakat baru, yakni
masyarakat madani. Dalam koteks ini, pendidikan berarti suatu proses
humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasi manusia. Anak didik
bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya
agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Sekaitan dengan itu, proses
pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan agar potensi yang ada pada peserta
didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan fitrahnya, peserta
didik dapat menyumbangkan kemampuannya untuk pengembangan dirinya, pengembangan
masyarakat, dan seterusnya untuk negaranya, serta kehidupan umat manusia pada
umumnya.
Saya
sependapat dengan solusi di atas bahwa siswa bukanlah robot yang bisa dikontrol
semaunya. Siswa adalah manusia yang memiliki perasaan yang perlu dihargai.
Dalam pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya
sehingga potensi yang dimilikinya membantu dalam proses pendewasaannya
sekaligus.
4.
Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Dalam
(Ardika, dkk. 2009) dijelaskan bahwa perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak
terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu mencapai pengembangan
nilai-nilai hidup, perkembangan moraldan tingkah laku seperti yang diharapkan.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan
sikap remaja adalah berikut:
a)
Menciptakan komunikasi. Dalam komunikasi
didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya
memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif
dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga,
teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya
anak diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak
berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan.
b)
Menciptakan iklim lingkungan yang serasi.
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian
berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu
umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara positif,jujur dan
konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut.
Untuk
remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang
dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari
jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri,kepribadian yang
matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa
ini. Nilai nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur
tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang
lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan akan lebih efektif
daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang
bersifat serba membatasi.
5.
ELEMEN YANG MENARIK
1.
Teori belajar humanisme berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
2.
Teori belajar humanistik lebih banyak berbicara
tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan,
manusia yang humanis, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling
ideal.
3.
Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
4.
Konsep kunci untuk memahami
perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg, ialah internalisasi yakni
perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi
perilaku yang dikendalikan secara internal.
5.
Perkembangan sosial hampir
dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada
umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
6.
REFLEKSI DIRI
Saya sangat menyukai materi minggu ini mengenai teori belajar
humanisme dan perkembangan kepribadian, sosial, dan perkembangan moral. Teori
belajar humanisme yang membuat saya sadar bahwa jika saya menjadi guru,
haruslah memanusiakan peserta didik yang saya ajar, yakni mengakui hak-hak
asasi mereka serta menghargainya karena mereka bukanlah robot ang bisa
dikontrol semaunya. Selain itu, perkembangan kepribadian, sosial, dan moral
juga harus saya pahami betul sebagai seorang pendidik. Hal ini terutama untuk
memberikan tuntunan kepada mereka dalam menjalani proses kedewasaannya. Selain
tiu, pemahaman tersebut juga berguna untuk mengenali perkembangan pribadi,
sosial, dan moralnya, sehingga jika saya menemukan bebrapa siswa saya yang
perkembangan pribadi, sosial, dan moralnya terganggu sudah seyogyanya saya
harus memberikan ”jalan” kepada peserta didik saya dalam proses
perkembangannya tersebut. Hal ini sebagai bekal saya kelak saat menjadi guru/
dosen. Semoga bermanfaat. Amiin.. ^^
Terima kasih.. Semoga bermanfaat yaa.. :)
BalasHapus